Selasa, 13 Agustus 2019

IMPLEMENTASI PENYELENGGARAAN PENATAGUNAAN TANAH SEBAGAI INSTRUMEN TATA RUANG

EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN IMPLEMENTASI PENYELENGGARAAN PENATAGUNAAN TANAH SEBAGAI INSTRUMEN TATA RUANG Trie Sakti , Jauhari – Puslitbang BPN 2016 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan Presiden untuk melakukan Penggabungan BPN dan Ditjen Tata Ruang menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 17 tahun 2015 dan Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015 memberikan harapan baru terintegrasinya kebijakan pertanahan dan pemanfaatan ruang dan terwujudnya one map policy. Dengan berada di bawah kementerian yang sama diharapkan kendala dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan kebijakan pertanahan terkait penata gunaan tanah dapat diatasi dengan berkoordinasi sehingga dapat diperoleh keterpaduan dalam system penataan ruang dan penata gunaan tanah. Tanah sebagai salah satu sumber daya alam mempunyai peran penting bagi keperluan pembangunan bangsa Indonesia dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Realisasi dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dituangkan dalam Undang-Undang Pokok-pokok Agraria (UUPA). Pasal 2 ayat (1) dan (2) UUPA pada intinya menentukan bahwa Negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi merupakan organisasi kekuasaan seluruh rakyat mempunyai hak menguasai atas bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dalam mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, maka pemerintah membuat suatu rencana umum mengenai hal tersebut. Pengaturan tentang rencana umum tersebut diatur dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) UUPA. Pasal 14 UUPA menjelaskan untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara tersebut di atas dalam bidang agraria (pertanahan), perlu adanya suatu rencana (planning) mengenai peruntukan, penggunaan, dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara. Pemerintah membuat rencana umum persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Rencana Umum yang meliputi seluruh wilayah Indonesia dan kemudian pemerintah daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah di wilayah sesuai dengan kondisi daerahnya masing-masing dengan peraturan daerah. Ketentuan Pasal 14 UUPA inilah yang merupakan pengaturan hukum dengan tegas mengatur Rencana Tata Guna Tanah di UUPA. Kemudian Pemerintah mengeluarkan PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. Tujuan penatagunaan tanah diatur dalam Pasal 3 PP Nomor 16 Tahun 2004, salah satu tujuan penatagunaan tanah adalah mengatur penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah bagi berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan yang sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah. UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatur satu kesatuan system proses perencanaan tata ruang , pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pasal 1 UU No. 26 Tahun 2007 menentukan bahwa ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidup. Terhadap ruang tersebut harus ada penataan. Adapun Penatagunaan tanah merupakan substansi dari penataan ruang. Selama ini diindikasikan terjadi gesekan dalam pelaksanaan neraca penggunaan tanah dan tata ruang. Permasalahan yang banyak ditemukan antara lain ketidaksesuaian Penggunaan Tanah dengan RTRW, Sengketa Penggunaan dan Peruntukan Tanah yang Sesuai dengan RTRW, Penggunaan tanah aktual yang ada (existing) dalam banyak hal tidak sesuai dengan fungsi kawasan sebagaimana yang ada di RTRW (misal: tempat tinggal berada di sempadan sungai), Ketidaksesuaian Penggunaan Tanah dengan Kemampuan Tanah dan Lingkungan Hidup, misalnya lokasi tempat tinggal berada pada lereng > 40% atau berada pada daerah rawan bencana banjir. Dari berbagai pengamatan terhadap pelaksanaan rencana tata ruang, dirasakan bahwa kebijakan rencana tata ruang belum sepenuhnya berfungsi efektif : 1. Ketimpangan Wilayah Intensitas pemanfaatan ruang antar wilayah sangat bervariasi. Berdasarkan kelompok pulau, intensitas penggunaan tanah di Pulau Jawa dan Bali terlihat sudah sangat tinggi. Dalam hal ini tanah-tanah yang telah dibudidayakan di kedua wilayah tersebut –yaitu sawah, pertanian tanah kering, perkebunan, penggunaan lainnya dan budidaya nonpertanian– mencapai 88,65% atau seluas 11,82 juta hektar. Demikian pula penggunaan tanah untuk budidaya non-pertanian (perumahan, industri dan tambang) mencapai luasan 1,3 juta hektar atau 40,26% dari luas budidaya non-pertanian secara nasional. Padahal luas kedua pulau tersebut hanya 6,97% dari luas wilayah Indonesia. 2. Konversi Tanah Sawah Sebagai bangsa agraris yang sangat besar, Indonesia memiliki tanah sawah yang sangat kecil yakni hanya 4,5% dari luas wilayah daratan Indonesia. Luas sawah Indonesia adalah lebih kurang 8,6 juta ha dan terus menyusut dari waktu ke waktu. Sawah terdiri dari sawah Irigasi seluas 7.314.740 Ha dan sawah Non Irigasi seluas 1.265.304 Ha. Pulau Jawa masih menjadi sentra sawah nasional, yakni seluas lebih kurang 4,2 juta ha. Kemudian disusul Pulau Sumatera seluas 2,3 juta ha.Penyusutan luas sawah terutama di pulau Jawa, disebabkan oleh berbagai faktor yang saling terkait. Salah satu diantaranya adalah faktor perencanaan. Berdasarkan analisa superimpose antara lokasi sawah dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) provinsi diketahui bahwa seluas 5,5 juta Ha atau sekitar 64 % dari total luas sawah nasional berada dalam fungsi kawasan lahan basah atau direncanakan akan tetap dipertahankan sebagai sawah. Sementara sisanya, sekitar 3,1 juta ha sawah, berada dalam fungsi kawasan bukan lahan basah. Dengan kata lain, lebih kurang 36 % dari keberadaan tanah sawah nasional berpotensi dialihfungsikan untuk kegiatan bukan sawah. 3. Ketidaksamaan Fungsi Kawasan Berdasarkan fungsi kawasan dalam RTRW seluruh Provinsi, seluas 138,44 juta hektar atau 72,37%, wilayah daratan diperuntukkan sebagai Kawasan Budidaya, sisanya seluas 52,84 juta hektar atau sekitar 27,63% diperuntukkan sebagai Kawasan Lindung. Kawasan Budidaya masih didominasi oleh hutan (hutan lebat, hutan sejenis, dan hutan belukar) yaitu seluas 80,13 juta hektar atau sekitar 57,88%. Dengan kata lain, Kawasan Budidaya yang telah dimanfaatkan adalah seluas 42,12%. Sebaliknya, dalam Kawasan Lindung telah terdapat banyak penggunaan tanah oleh rakyat seperti permukiman, perkebunan, tegalan dan penggunaan tanah lainnya, yakni seluas 8,75 juta hektar. 4. Kesesuaian Penggunaan Tanah Secara nasional penggunaan tanah yang sesuai dengan RTRW Provinsi adalah seluas 130,66 juta hektar atau 68,31%. Kategori sesuai adalah apabila dalam lokasi yang sama, jenis penggunaan tanahnya sesuai dengan rencana fungsi kawasan sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah. Contoh: penggunaan tanahnya adalah sawah dan rencana fungsi kawasannya adalah pengembangan lahan basah. Seluas 59,03 juta hektar (31,30%) penggunaan tanah saat ini tidak sesuai dengan arahan fungsi kawasan rencana tata ruang provinsi. Kategori tidak sesuai adalah apabila dalam lokasi yang sama, jenis penggunaan tanahnya memang tidak sesuai dengan rencana fungsi kawasan sebagaimana ditetapkan dalam RTRW. Contoh: penggunaan tanah sebagai perkampungan sementara fungsi kawasan dan RTR adalah hutan lindung. Berdasarkan fenomena dan kondisi tersebut di atas, maka penelitian ini bermaksud untuk memperoleh gambaran seberapa jauh pemanfaatan ruang telah dilaksanakan dan kesesuaiannya dengan penggunaan tanah serta penyebab kebijakan rencana tata ruang belum sepenuhnya berfungsi efektif. 1.2. Permasalahan a) Bagaimana gambaran kesesuaian penggunaan tanah dengan tata ruang ? b) Bagaimana efektifitas implementasi kebijakan penataan ruang? c) Apa saja kendala dan upaya yang diperlukan untuk harmonisasi kebijakan penatagunaan tanah dengan tata ruang ? 1.3. Tujuan a) Tersusunnya gambaran kesesuaian penggunaan tanah dengan tata ruang b) Mengetahui efektifitas pelaksanaan kebijakan penataan ruang. c) Mengetahui kendala dan upaya yang diperlukan untuk mengharmonisasikan kebijakan penatagunaan tanah dengan tata ruang. 1.4. Output Tersedianya laporan akhir penelitian yang memuat : a) Deskripsi kesesuaian penggunaan tanah dengan penataan ruang yang dilampirkan dalam peta b) Deskripsi efektifitas pelaksanaan kebijakan penataan ruang c) Deskripsi kendala dan upaya yang diperlukan untuk mengharmonisasikan kebijakan penatagunaan tanah dengan tata ruang. 1.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pimpinan dalam merumuskan kebijakan pengendalian penataan ruang dan pertanahan sebagai kebijakan yang utuh, bersinergi dan saling mendukung. 2. METODE PENELITIAN 2.1 Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penilaian deskriptif dilakukan untuk mempelajari masalah yang ditemukan dalam proses penataan ruang dikaitkan dengan kondisi eksisting dari penggunaan tanah dan akibat serta fenomena yang ditimbulkan dari permasalahan itu. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Pemahaman penelitian secara kualitatif dalam penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan terjadinya fenomena tersebut. 2.2 Lokasi Penelitian Penelitian akan dilaksanakan pada 5 Provinsi yang diasumsikan mempunyai perubahan penggunaan tanah dan Rencana Tata Ruang yang dinamis, antara lain : 1. Jawa Barat 2. Jawa Timur 3. Kalimantan Barat 4. Jambi 5. Sulawesi Tengah Untuk setiap provinsi akan dipilih dua kabupaten/kota secara purposive yaitu : a. ditentukan pada daerah-daerah yang mempunyai karakteristik wilayah yang kompleks dan dinamis. b. didasarkan pada keberadaan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Peta Penggunaan Tanah (Neraca Penatagunaan Tanah) 2.3 Responden Penelitian Sesuai dengan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini maka responden/informan yang ditetapkan sebagai berikut : 1. Kantor Wilayah : • Kepala Kantor Wilayah • Kepala Bidang III • Kepala Bidang II • Kepala Bidang I • Kepala Seksi di bidang III, II dan I 2. Kantor Pertanahan : • Kepala Kantor Pertanahan • Kepala Seksi III • Kepala Seksi II • Kepala Seksi I • Kasubsi 3. Pemerintah Daerah (Dinas Tata Ruang, BAPPEDA) 4. Stake Holder 2.4 Sumber data : Data Primer Melihat langsung ke titik-titik adanya ketidaksesuaian antara Rencana Tata Ruang dengan Penggunaan Tanah saat ini, disertai dengan wawancara dengan pihak-pihak terkait baik dari Kantor Pertanahan maupun Pemerintah Daerah (Dinas Tata Ruang). Data Sekunder - Peta Rencana Pola Ruang - Peta Penggunaan Tanah Data Pendukung - Peta Administrasi 2.5 Pengolahan dan Analisa Data Mengetahui Kesesuaian Penggunaan Tanah terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah. Dengan melakukan overlay (tumpang-susun) dan Analisa Peta Panggunaan Tanah dengan Peta Rencana Pola Ruang, maka akan diperoleh Peta Kesesuaian Penggunaan Tanah terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah. Mengetahui Persebaran Kesesuaian Penggunaan Tanah terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah. Dengan melakukan overlay (tumpang-susun) antara Peta Kesesuaian Penggunaan Tanah terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah dengan Peta Administrasi akan diketahui Persebaran pada satuan wilayah administrasi. 3. HASIL PENGUMPULAN DATA DAN PEMBAHASAN 3.1 Analisa Kesesuaian Secara umum sebagian besar penggunaan tanah sudah sesuai dengan arahan fungsi kawasan menurut RTRW. Namun demikian pada beberapa kasus ditemukan adanya ketidaksesuaian antara penggunaan tanah dengan RTRW. Belum sesuainya penggunaan tanah dengan RTRW secara fisik dapat dilihat di wilayah yang menjadi sampel penelitian. Dari beberapa area yang tidak sesuai, sebenarnya masih dapat dikategorikan lagi ke dalam dua kategori yaitu belum sesuai dan akan disesuaikan. Sebagai contoh untuk yang belum sesuai misalnya di dalam RTRW disebutkan penggunaan tanahnya untuk industry namun fisiknya atau eksisting sekarang ini masih digunakan untuk semak belukar atau kebun campuran. Dan untuk contoh yang akan disesuaikan misalnya bangunan untuk komersiil/perdagangan yang berada di sempadan sungai atau di kawasan hutan. Pada Tabel 1. menunjukkan prosesentase tingkat kesesuaian penggunaan tanah terhadap arahan fungsi kawasan dalam RTRW. Dari data yang disajikan menunjukkan bahwa kota Jambi mempunyai tingkat kesesuaian yang paling tinggi antara penggunaan tanah dengan RTRW sebesar 97,49 persen, kedua kabupaten Muaro jambi sebesar 94,76 persen, dan ketiga Kabupaten Sigi sebesar 80,01 persen. Keempat, berimbang untuk kabupaten banyuwangi dan Kabupaten Jember sebesar 75,93 persen. Sedangkan ketidaksesuaian tertinggi antara penggunaan terhadap RTRW berada di Kota Singkawang yaitu sebesar 51,69 persen, kedua adalah Kabupaten Bandung sebesar 48,21 persen, ketiga Kota Palu sebesar 39,99 persen dan keempat Kota Bandung sebesar 38,58 persen. Tabel 1. Kesesuaian Penggunaan Tanah terhadap RTRW masing-masing lokasi sampel No KABUPATEN/KOTA KESESUAIAN PENGGUNAAN TANAH TERHADAP RTRW Sesuai % TOTAL Tidak Sesuai % TOTAL 1 KOTA JAMBI 16.793,14 97,49 432,83 2,51 2 KAB MUARO JAMBI 504.276,11 94,76 27.891,08 5,24 3 KOTA BANDUNG 9.482,87 61,47 5.944,08 38,53 4 KAB BANDUNG 89.024,90 51,79 82.876,40 48,21 5 KAB BANYUWANGI 274.189,32 75,93 86.912,92 24,07 6 KAB JEMBER 274.189,32 75,93 86.912,92 24,07 7 KOTA PALU 23.265,31 60,01 15.506,51 39,99 8 KAB SIGI 433.711,59 80,01 108.328,03 19,99 9 KOTA SINGKAWANG 26.298,19 48,31 28.133,93 51,69 10 KAB MEMPAWAH 131.935,48 63,26 76.626,15 36,74 Sumber : Hasil Pengolahan Data Faktor yang menjadikan adanya ketidaksesuaian antara penggunaan tanah dengan RTRW yaitu : 1. Dari segi implementasi a) Adanya kepentingan Pemerintah daerah dalam rangka pembangunan, namun sampai saat ini masih belum terlaksana. b) Ketidaktahuan masyarakat terhadap adanya perubahan kawasan dalam RTRW pada lokasi yang dimanfaatkan. Ketidaktahuan ini bisa disebabkan karena kurangnya sosialisasi atau memang dari masyarakat yang tidak mau tahu. c) Ketersediaan sarana dan prasaranan disekitar kawasan untuk suatu arahan kawasan tertentu (contoh :industry/perdagangan, dan jasa mengikuti fungsi jalan tertentu (arteri/kolektor). d) Lemahnya fungsi kontrol dan pemberlakuan peraturan oleh lembaga terkait. 2. Dari segi Penyusunan Peta RTRW a) penggunaan peta dasar tidak dari satu sumber, sehingga penarikan polygon yang dilakukan berulang akan menimbulkan ketidak sesuaian pola garis. Perlunya kebijakan satu sumber data supaya tidak menimbulkan perbedaan posisi obyek pada peta. b) sumber data peta penggunaan tanah yang dilakukan dalam proses pembuatan perencanaan RTRW tidak menggunakan peta/data penggunaan tanah dalam Neraca Penatagunaan Tanah. c) pembuatan perencanaan RTRW dilakukan oleh pihak ke 3 yang tidak berada di wilayah kerja, sehingga data dan informasi yang terus berkembang tidak dapat dikumpulkan secara maksimal bahkan dalam rapat pembahasan laporan pelaksanaan RTRW masukan-masukan yang sifatnya koreksi/perbaikan fakta lapangan tidak dilakukan perbaikan lagi hingga laporan akhir diterbitkan. 3. Faktor Kebijakan a) aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan. Kelemahan pada aspek regulasi atau peraturan itu sendiri terutama terkait dengan masalah kekuatan hukum, sanksi pelanggaran, dan akurasi objek lahan yang dilarang dikonversi. b) Semakin meningkatnya keinginan Pemda untuk memperbesar pendapatan asli daerah (PAD) tanpa mempertimbangkan kelestarian (sustainability) sumberdaya alam di era otonomi. 3.1.1 Kota Jambi Secara umum sebagian besar penggunaan tanah sudah sesuai dengan arahan fungsi kawasan menurut RTRW yaitu seluas 16,793.14 ha ( 97.49 %). Namun demikian, luasnya tingkat kesesuaian penggunaan tanah yang mendukung serta masih adanya luasan yang tidak sesuai mencerminkan perlunya langkah-langkah dari semua pihak terkait untuk mengimplementasikan Rencana Tata Ruang Wilayah. Hasil analisis dapat dilihat pada peta. Terdapat ketidak sesuaian antara penggunaan tanah dengan RTRW seluas 432.83 ha ( 2.51 %). Dari ketidak sesuaian tersebut, setelah dilakukan cek lapangan ditemukan beberapa kasus antara lain : a. kasus WTC terdapat ada mall Matahari dan Hotel Wiltop yang berada di sempadan sungai, bangunan ini sudah ada pada waktu Perda RTRW disusun, rencananya Perda RTRW akan disesuaikan(direvisi) b. kasus ruko di kawasan perdagangan yang berubah fungsi menjadi sarang wallet c. kasus Hotel Rumah Kito di Mayong, berada di kawasan permukiman d. Tanah pertanian kering dan permukiman yang berada di kawasan eksplorasi tambang minyak bumi. e. Kasus pergudangan di kenali asam yang arahan fungsinya sebagai permukiman Tabel 2. Kesesuaian Penggunaan Tanah dengan RTRW Berdasarkan Kecamatan Kota Jambi No KECAMATAN KESESUAIAN PENGGUNAAN TANAH TERHADAP RTRW Sesuai % TOTAL Tidak Sesuai % TOTAL 1 Danau Teluk 1.514,47 97,68 35,90 2,32 2 Jambi Selatan 2.770,29 96,76 92,67 3,24 3 Jambi Timur 1.709,29 97,09 51,19 2,91 4 Jelutung 754,46 97,97 15,59 2,03 5 Kotabaru 6.385,91 98,92 69,96 1,08 6 Pasar Jambi 161,52 96,3 6,21 3,7 7 Pelayangan 959,71 93,14 70,73 6,86 8 Telanaipura 2.537,50 96,55 90,58 3,45 JUMLAH 16.793,14 97,49 432,83 2,51 Sumber Hasil Pengolahan Data 2016 Dari tabel di atas menunjukkan kesesuaian paling tinggi ada di kecamatan Kota baru (98,92 %), kedua kecamatan Jelutung (97,97 %) dan ketiga kecamatan Danau Teluk (97,68 %). Sedangkan kecamatan yang ke tidaksesuaiannya paling tinggi ada di kecamatan Pelayangan (96,68 %), kedua adalah kecamatan Pasar Jambi (3,7 %) dan ketiga di kecamatan Telanaipura (3,45 %). 3.1.2. Kabupaten Muaro Jambi Dari hasil analisis didapatkan 94,76% penggunaan tanah yang ada di Kabupaten Muaro Jambi sesuai dengan arahan penggunaan tanah menurut RTRW dan 5,24% tidak sesuai dengan RTRW. Penggunaan tanah yang paling tinggi tingkat ketidaksesuaiannya adalah Hutan Produksi. Pada arahan penggunaan tanah untuk Hutan Produksi terdapat penggunaan tanah berupa perkampungan, kebun campuran, perkebunan, dan emplasemen. Di area yang diperuntukan untuk sempadan sungai juga terdapat penggunaan tanah yang tidak sesuai yaitu perkebunan, kampung, dan emplasemen. Secara umum sebagian besar penggunaan tanah sudah sesuai dengan arahan penggunaan tanah menurut RTRW. Namun demikian, luasnya tingkat kesesuaian penggunaan tanah yang mendukung serta masih adanya luasan yang tidak sesuai mencerminkan perlunya langkah-langkah dari semua pihak terkait untuk mengimplementasikan Rencana Tata Ruang Wilayah. Pada Tabel 3. menunjukkan ketidaksesuaian antara penggunaan tanah dengan RTRW seluas 27891.08 ha (5.24 %). Dari ketidak sesuaian tersebut, setelah dilakukan cek lapangan ditemukan beberapa kasus antara lain : a. Kasus Pelepasan kawasan hutan di Tanjung Lajur, dinyatakan sebagai APL oleh Tim Terpadu dideliniasi lagi jadi HP , padahal sudah ada sertipikat. Perubahan sampai 4 kali, sebagai TGHK tahun 1987, HP 1999, APL 2012 kembali HP 2014. b. Rumah terbangun di Sempadan pantai . c. Antara kawasan dengan zona tidak sesuai, yaitu kawasan industry di Mendana Laut di plot untuk batu bara tapi ternyata tidak ada yang investasi karena daerahnya landai. Tabel 3. Kesesuaian Penggunaan Tanah dengan RTRW Berdasarkan Kecamatan Kabupaten Muaro Jambi No KECAMATAN KESESUAIAN PENGGUNAAN TANAH TERHADAP RTRW Sesuai % TOTAL Tidak Sesuai % TOTAL 1 BAHAR SELATAN 19.523,47 99,85 30,09 0,15 2 BAHAR UTARA 16.722,20 100,00 - 0,00 3 JAMBI LUAR KOTA 27.923,18 99,68 89,47 0,32 4 KUMPEH 163.356,65 95,36 7.946,42 4,64 5 KUMPEH ULU 38.664,75 100,00 - 0,00 6 MARO SEBO 21.904,89 83,98 4.179,95 16,02 7 MESTONG 47.492,88 100,00 - 0,00 8 SEKERNAN 56.312,46 83,85 10.845,58 16,15 9 SUNGAI BAHAR 16.056,25 100,00 - 0,00 10 SUNGAI GELAM 63.608,85 97,13 1.878,19 2,87 11 TAMAN RAJO 32.710,54 91,80 2.921,40 8,20 JUMLAH 504.276,11 94,76 27.891,08 5,24 Sumber : hasil Pengolahan Data 2016 Ketidaksesuaian yang paling tinggi berada di kecamatan Sekernan. 3.1.3. Kota Bandung Berdasarkan analisis kesesuaian tanah antara kondisi faktual penggunaan tanah dan rencana fungsi kawasan dari rencana tata ruang wilayah, maka dapat diperoleh gambaran bahwa penggunaan tanah yang sesuai dengan rencana fungsi kawasan sebesar 61,47% dan yang belum sesuai sebesar 38,53%. Tabel 4. Kesesuaian Penggunaan Tanah Dengan RTRW Kota Bandung No KECAMATAN KESESUAIAN PENGGUNAAN TANAH TERHADAP RTRW Sesuai % TOTAL Tidak Sesuai % TOTAL 1 Andir 184,323 50,61 179,912 49,39 2 Antapani 321,844 81,92 71,053 18,08 3 Arcamanik 459,085 65,64 240,269 34,36 4 Astanaanyar 143,519 61,41 90,175 38,59 5 Babakan Ciparay 404,253 62,33 244,352 37,67 6 Bandung Kidul 303,003 62,15 184,552 37,85 7 Bandung Kulon 372,325 58,26 266,763 41,74 8 Bandung Wetan 191,514 60,94 122,746 39,06 9 Batununggal 216,987 49,25 223,641 50,75 10 Bojongloa Kaler 217,778 68,44 100,414 31,56 11 Bojongloa Kidul 312,805 74,45 107,366 25,55 12 Buahbatu 424,713 63,47 244,470 36,53 13 Cibeunying Kaler 249,695 62,31 151,051 37,69 14 Cibeunying Kidul 242,838 62,55 145,373 37,45 15 Cibiru 488,851 73,14 179,487 26,86 16 Cicendo 460,816 65,8 239,560 34,2 17 Cidadap 453,948 63,46 261,429 36,54 18 Cinambo 192,540 48,63 203,383 51,37 19 Coblong 448,225 65,56 235,475 34,44 20 Gedebage 310,147 30,93 692,691 69,07 21 Kiaracondong 365,791 71,49 145,851 28,51 22 Lengkong 322,289 64,83 174,825 35,17 23 Mandalajati 249,156 54,69 206,463 45,31 24 Panyileukan 247,329 52,61 222,775 47,39 25 Rancasari 364,459 60,66 236,341 39,34 26 Regol 234,400 57,78 171,243 42,22 27 Sukajadi 378,548 80,65 90,813 19,35 28 Sukasari 383,283 65,95 197,914 34,05 29 Sumur Bandung 146,205 48,89 152,836 51,11 30 Ujungberung 392,203 70,92 160,855 29,08 JUMLAH 9.482,870 61,47 5.944,077 38,53 Sumber : Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional RI Provinsi Jawa Barat (tahun 2014) Tabel di atas menunjukkan kesesuaian penggunaan tanah berdasarkan kecamatan yang tertinggi di kecamatan Antapani sebesar 81,92 persen, kedua terdapat di kecamatan Sukajadi sebesar 80,65 persen, ketiga Bojongloa Kidul sebesar 74,45 persen, keempat kecamatan Cibiru. Sedangkan kecamatan yang tertinggi ketidak sesuaian penggunaan tanah dengan RTRW ada di kecamatan Gedebage sebesar 69,07 persen, kedua kecamatan Cinambo sebesar 51,37 persen, ketiga adalah kecamatan Sumur Bandung sebesar 51,11 persen dan keempat kecamatan batununggal sebesar 50,75 persen. 3.1.4. Kabupaten Bandung Diperoleh data selama dalam kurun waktu 9 tahun dari 2004-2013 terjadi perubahan penggunaan tanah terhadap arahan fungsi kawasan di Kabupaten Bandung. Kawasan lindung dialokasi seluas 44.832,12 hektar atau 25,43 persen, sedangkan kawasan budidaya dialokasi seluas 127.091,19 hektar atau 72,10 persen dari luas wilayah Kabupaten Bandung. Terhadap kawasan lindung, baik penggunaan tanah tahun 2004 maupun penggunaan tanah tahun 2013 yang tidak sesuai dengan arahan fungsi lindung seluas 29.109,42 hektar atau 64,93 persen dari luas fungsi kawasan lindung, sedangkan penggunaan tanah yang sesuai dengan arahan fungsi lindung adalah seluas 15.772,70 hektar atau 35,07 persen dari fungsi kawasan lindung. Jenis penggunaan tanah budaya pada kawasan lindung yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan lindung namun mengalami peningkatan luas yang cukup siknifikan dalam kurun waktu 9 tahun adalah sebagai berikut : 1. Perkebunan besar bertambah 14.236,70 hektar; 2. Kuburan/Pemakaman hamper seluruh area kuburan baru tidak sesuai dengan fungsi kawasan yaitu seluas 4.479,58 hektar; 3. Kampung bertambah 455,91 hektar; 4. Sawah tadah hujan bertambah 143,30 hektar; Dari hasil super impose diperoleh ketidaksesuaian antara penggunaan tanah dengan arahan kawasan dalam RTRW dihasilkan Peta Kesesuaian Penggunaan tanah terhadap RTRW, sebagaimana disajikan pada gambar 9.. Berdasarkan data pada tabel di atas dapat dilihat bahwa persentase kesesuaian dengan arahan fungsi kawasan mencapai 51,79 % sedangkan yang belum sesuai mencapai 48,21 %. Tabel 5. Kesesuaian Penggunaan Tanah dengan RTRW Berdasarkan Kecamatan Kabupaten Bandung No KECAMATAN KESESUAIAN PENGGUNAAN TANAH TERHADAP RTRW Sesuai (Ha) % TOTAL Tidak Sesuai (Ha) % TOTAL 1 Arjasari 2.976,33 46,38 3.441,04 53,62 2 Baleendah 2.366,92 58,84 1.655,38 41,16 3 Banjaran 2.636,50 62,39 1.589,57 37,61 4 Bojongsoang 832,47 31,10 1.844,17 68,90 5 Cangkuang 1.186,04 49,22 1.223,39 50,78 6 Cicalengka 1.890,83 53,47 1.645,39 46,53 7 Cikancung 1.858,95 46,96 2.099,78 53,04 8 Cilengkrang 1.180,36 40,16 1.759,03 59,84 9 Cileunyi 1.222,51 40,10 1.826,35 59,90 10 Cimaung 3.179,63 58,81 2.227,33 41,19 11 Cimenyan 1.976,77 38,21 3.197,06 61,79 12 Ciparay 3.188,37 70,18 1.354,82 29,82 13 Ciwidey 1.934,58 40,44 2.849,48 59,56 14 Dayeuhkolot 599,91 57,42 444,96 42,58 15 Ibun 3.087,65 58,10 2.226,78 41,90 16 Katapang 768,85 50,85 743,09 49,15 17 Kertasari 10.052,25 67,62 4.814,00 32,38 18 Kutawaringin 2.485,61 53,61 2.150,52 46,39 19 Majalaya 1.386,62 56,16 1.082,61 43,84 20 Margaasih 779,12 44,48 972,33 55,52 21 Margahayu 561,18 58,06 405,36 41,94 22 Nagreg 1.797,89 36,91 3.073,19 63,09 23 Pacet 4.706,88 51,88 4.365,76 48,12 24 Pameungpeuk 980,59 68,99 440,85 31,01 25 Pangalengan 11.742,33 62,78 6.962,26 37,22 26 Paseh 2.784,15 55,48 2.234,58 44,52 27 Pasirjambu 9.770,81 41,52 13.761,46 58,48 28 Rancabali 7.113,56 49,52 7.252,64 50,48 29 Rancaekek 1.915,92 43,39 2.499,60 56,61 30 Solokanjeruk 966,58 41,41 1.367,35 58,59 31 Soreang 1.094,75 44,48 1.366,28 55,52 JUMLAH 89.024,90 51,79 82.876,40 48,21 Sumber : Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional RI Provinsi Jawa Barat (tahun 2013) 3.1.5. Kabupaten Banyuwangi Berdasarkan hasil overlay peta penggunaan tanah dengan RTRW Kabupaten Banyuwangi tahun 2009-2029 diketahui kesesuaian penggunaan tanah dengan arahan fungsi kawasan dalam RTRW menunjukkan persentase kawasan yang sesuai adalah 75,9 % dengan luasan terbesar yakni penggunaan tanah kawasan pertanian beririgasi seluas 64.902 (18%), kawasan perkebunan seluas 58.214 ha (16,2%) dan taman nasional seluas 58.336,3 (16,2%). Sedangkan kawasan yang tidak sesuai dengan RTRW terluas adalah kawasan hutan produksi yaitu 11,7 % dengan luas 42.180 ha dan kawasan hutan lindung sebesar 4,2 % atau 15.293 ha. Pada beberapa penggunaan tanah eksisting dengan yang ditetapkan sebagai arahan RTRW mengalami penurunan fungsi yaitu : 1) Kecamatan bangorejo, Banyuwangi, Cluring, Genteng, Giri, Glagah, Glenmore, Kabat, Kalipuro, Muncar, Pesanggrahan, Purwoharjo, Rogojampi, Sempu, Singojuruh, Songgon, Srono, Tegaldlimo dan Wongsorejo terdapat lahan eksisting berupa pemukiman dan diarahkan RTRW Kabupaten Banyuwangi sebagai kawasan hutan produksi. 2) Pada seluruh kecamatan terdapat lahan eksistingberupa sawah tadah hujan dan arahan fungsi kawasan pada RTRW adalah sebagai kawasan perkebunan, perlu kajian teknis mengenai penetapan ini mengingat Pemerintah sedang menggalakkan penyediaan lahan pertanian pangan berkelanjutan. 3) Pada seluruh kecamatan terdapat lahan eksisting berupa kolam air tawar dan arahan fungsi kawasan pada RTRW adalah sebagai taman nasional, perlu kajian teknis mengenai penetapan pola ruang, hal ini terkait dengan aspek potensi wilayah dan lingkungan. 4) Pada seluruh kecamatan terdapat lahan eksisting berupa perkebunan, dan arahan fungsi kawasan pada RTRW adalah sebagai kawasan industry. Perlu kajian mengenai hal ini terkait dengan hampir seluruh wilayah terdapat rencana kawasan industry. Tabel 6. Kesesuaian Penggunaan Tanah dengan RTRW Berdasarkan Kecamatan di Kabupaten Banyuwangi No KECAMATAN KESESUAIAN PENGGUNAAN TANAH TERHADAP RTRW Sesuai % TOTAL Tidak Sesuai % TOTAL 1 BANGOREJO 7.122,09 58,96 4.957,74 41,04 2 BANYUWANGI 1.962,99 76,55 601,29 23,45 3 CLURING 6.641,66 94,27 404,06 5,73 4 GAMBIRAN 8.928,93 90,16 974,13 9,84 5 GENTENG 4.531,73 86,4 713,52 13,6 6 GIRI 1.690,70 83,74 328,26 16,26 7 GLAGAH 14.535,64 84,26 2.715,14 15,74 8 GLENMORE 21.977,07 77,23 6.480,31 22,77 9 KABAT 7.622,06 93,03 570,67 6,97 10 KALIBARU 23.275,96 80,85 5.513,28 19,15 11 KALIPURO 13.181,34 66,38 6.676,32 33,62 12 MUNCAR 7.994,91 94,07 503,67 5,93 13 PESANGGARAN 36.481,35 67,77 17.347,09 32,23 14 PURWOHARJO 7.072,82 62,17 4.303,25 37,83 15 ROGOJAMPI 6.773,05 89,24 816,58 10,76 16 SEMPU 5.853,03 50,85 5.657,73 49,15 17 SINGOJURUH 4.248,11 96,44 156,90 3,56 18 SONGGON 19.109,50 82,33 4.102,37 17,67 19 SRONO 7.014,37 92,96 531,35 7,04 20 TEGALDLIMO 47.176,09 85,87 8.325,82 14,13 21 WONGSOREJO 18.916,25 55,33 15.272,79 44,67 JUMLAH 272.109,66 75,78 86.952,25 24,22 Sumber ; hasil Olah data Tabel di atas menunjukkan kecamatan yang paling tinggi kesesuaian penggunaan tanah dengan RTRW adalah Kecamatan kecamatan Singojuruh sebesar 96,44, kedua kecamatan Cluring sebesar 94,27 %, ketiga kecamatan Muncar sebesar 94,07 %, keempat kecamatan Kabat sebesar 93,03 %. Sedangkan persentase kecamatan yang paling tidak sesuai pertama adalah kecamatan Sempu sebesar 49,15 %, kedua kecamatan Wongsorejo sebesar 44,67 %, ketiga kecamatan Bangorejo sebesar 41,04 %, dan keempat kecamatan Purwoharjo sebesar 37,83 %. Di kecamatan wongsorejo, terjadi sengketa tanah berawal saat pemberian izin hak guna usaha (HGU) Kebun Randu seluas 603 ha sejak 1980 kepada PT Wongsorejo. Hak guna usaha tersebut telah berakhir pada tahun 2012, kemudian diperpanjang menjadi hak guna bangunan (HGB) untuk kawasan industri. Didalam HGB terdapat 287 keluarga petani yang menetap sejak 1950-an. Mereka meminta hak tanahnya seluas 220 ha sebagai permukiman dan pertanian. Akan tetapi, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan PT Wongsorejo hanya bersedia memberikan lahan seluas 60 ha. Dusun Pancer, salah satu wilayah di Banyuwangi yang porak poranda ketika tsunami menghantam sekitar 22 tahun lalu, Dengan adanya pertambangan emas di Tumpang Pitu berpotensi meningkatkan risiko bencana bagi warga sekitar karena terjadi penurunan kualitas ekosistim. Kondisi eksisting menunjukkan pantai Pancer sebagai daerah wisata dan terdapat permukiman yang akan dijadikan obyek konsolidasi tanah. Kondisi ini perlu ditinjau kembali mengingat wilayah ini merupakan potensi bencana, sebagaimana gambar di bawah ini. Ketidak sesuaian kondisi existing penggunaan tanah dengan RTRW juga ditemukan di Kecamatan Cluring, tata ruangnya sawah irigasi namun secara eksisting sebagian besar merupakan perumahan dan perdagangan (jalan jember-Banyuwangi), yang terletak dipinggir jalan demikian pula di kecamatan rogojampi. 3.1.6. Kabupaten Jember Berdasarkan hasil overlay peta penggunaan tanah dengan RTRW Kabupaten Jember tahun 2010-2030 maka diketahui bahwa kesesuaian penggunaan tanah pada tahun 2011 dengan arahan fungsi kawasan dalam RTRW menunjukkan presentase kawasan yang sesuai adalah 74 %, dengan luasan terbesar yaitu penggunaan tanah kawasan pertanian lahan basah seluas 65.110,9 ha (18,68 %) dan kawasan pertanian lahan kering seluas 51.279 ha (15,5 %) sedangkan kawasan yang tidak sesuai dengan RTRW seluas 87.605,2 ha (26 %) dengan luasan terbesar adalah kawasan pertanian lahan basah seluas 52.437,8 ha (15,8 %) dan kawasan pertanian lahan kering seluas 22.300,13 ha (6,7 %). Gambaran tentang kesesuaian Penggunaan Tanah terhadap RTRW disajikan pada gambar 15. Sedangkan untu luasan dan prosesntase disajikan pada Tabel 57. Tabel 7. Kesesuaian Penggunaan Tanah dengan RTRW Kabupaten Jember No Arahan Fungsi Kawasan dalam RTRW Kesesuaian Penggunaan Tanah dengan RTRW Sesuai Tidak Sesuai Luas (ha) % Kawasan Luas (ha) % kawasan 1 Kawasan lindung 6,86 0,00 - - 2 Kawasan hutan produksi 14.057,34 3,90 42.180,10 11,71 3 Kawasan pertanian beririgasi 64.750,05 17,97 6.729,20 1,87 4 Cagar alam 1.542,56 0,43 23,89 0,01 5 Kawasan pertanian hortikultura 4.863,68 1,35 6.554,73 1,82 6 Kawasan perkebunan 58.214,89 16,16 5.161,01 1,43 7 Kawasan hutan Lindung 35.313,27 9,80 15.293,30 4,25 8 Kawasan tambak 1.339,21 0,37 441,45 0,12 9 Permukiman 32.638,25 9,06 5.871,88 1,63 10 Taman wisata alam 5,56 0,00 46,76 0,01 11 Taman nasional 58.336,32 16,19 3.941,01 1,09 12 Rawa 668,18 0,19 31,32 0,01 13 Kawasan industri 225,93 0,06 129,66 0,04 14 Kawah farung - - 103,80 0,03 15 Sempadan Sungai 1,34 0,00 23,41 0,01 16 Sungai/Danau 2.223,60 0,62 - - 17 Pengembangan BU 2,28 0,00 381,42 0,11 Total 274.189,32 76,11 86.912,92 24,13 Sumber : Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Timur, 2011 Tabel di atas menunjukkan kesesuaian penggunaan tanah terhadap RTRW sebesar 76,11 persen sedangkan ketidak sesuaian mencapai 24,13 persen. Beberapa penggunaan tanah secara eksisting terdapat ketidaksesuaian dengan RTRW yaitu : 1) Kecamatan Ajung, Ambulu, Arjasa, Balung, Bangsalsari, Gumukmas, Jelbuk, Jenggawah, Jombang, kalisat, kaliwates, KIencong, Ledokombo.Mayang, Mumbulsari, Pakusari, Panti, Patrang, Puger, Rambiji, Semboro, Silo, Sukorambi, Sukowono, Sumberbaru, Sumberjambe, Sumbersari, Tanggul, Tempurejo, Umbulsari, Wuluhan, terdapat lahan eksisting berupa pemukiman dan diarahkan RTRW Kabupaten Jember 2010-2030 sebagai nkawasan pertanian lahan kering. Berdasarkan kondisi tersebut perlu sinkronisasi rencana tata ruang wilayah, mana yang akan dikembangkan sesuai karakter wilayahnya sehingga perlu pertimbangan dan kajian khusus terkait mengalih fungsikan kawasan budidaya non pertanian menjadi kawasan pertanian. 2) Kecamatan Ajung, Ambulu, Arjasa, balung, Bangsalsari, gumukmas, Jelbuk, Jenggawah, Jombang, Kalisat, Kaliwates, kencong, Ledokombo, mayang, Mumbulsari, Pakusari, Panti, Patrang, Puger, Rambiji, Semboro, Silo, Sukorambi, Sukowono, Sumberbaru, Sumberjambe, Sumbersari, Tanggul, Tempurejo, Umbulsari, Wuluhan, pada kondisi eksisting merupakan kawasan industry. Penetapan ini perlu dievaluasi ulang mengingat wilayah ini telah berkembang sebagai kawasan terbangun. Mengarahkannya sebagai hutan suaka alam memiliki pengertian bahwa dimasa mendatang memungkinkan adanya kegiatan relokasi lahan dan hal ini tidak efisien. 3) Pada seluruh kecamatan terdapat lahan eksisting berupa pergudangan dan arahan fungsi kawasan pada RTRW adalah hutan rakyat. Bandara Notohadinegoro menggunakan tanah bekas PTP XII seluas 120 ha disebut bandara pengumpan namun letaknya berada ditengah perkebunan PTP. Dikawasan Silo merupakan daerah pertambangan, dalam RTRW termasuk kawasan peruntukan pertambangan mineral logam namun keberadaan tambang emas tidak disetujui oleh banyak pihak terutama DPR yang melarang penambahan lokasi penambangan. 3.1.7. Kota Palu Dari hasil overlay peta penggunaan tanah eksisting tahun 2013 dengan peta RTRW Kota Palu dan dengan mengacu pada matriks kesesuaian, maka didapatkan bahwa secara umum di wilayah Kota Palu penggunaan tanah didalam berbagai fungsi kawasan yang diarahkan di dalam RTRW pada saat ini dapat dikatakan relatif sudah baik yang dapat dilihat dari luasan secara kumulatif penggunaan tanahnya sudah sesuai dengan RTRW yaitu seluas 23.265,31 Ha atau 60,01% dari luas wilayah Kota Palu. Sedangkan penggunaan tanah yang tidak sesuai dengan RTRW seluas 15.506,51 Ha (39,99%). Fungsi kawasan dimana penggunaan tanahnya telah sesuai, dari hasil analisa menunjukkan bahwa didominasi di wilayah kawasan kehutanan yaitu pada fungsi kawasan hutan lindung yang sesuai penggunaan tanahnya seluas 6.209,72 Ha atau sebesar 85,58% dari kawasan hutan lindung tersebar di Kecamatan Mantikulore dan Kecamatan Ulujadi. Disusul pada fungsi kawasan suaka alam dan hutan wisata, dimana penggunaan tanahnya yang sesuai seluas 5.357,74 (95,22%) dan tersebar di Kecamatan Mantikulore dan Kecamatan Tawaeli. Pada kawasan hutan produksi terbatas dimana penggunaan tanah yang sesuai seluas 3.189,37 Ha (98,72%) di Kecamatan Mantikulore, Tawaeli dan Kecamatan Palu Barat. Pada kawasan Industri dan Perumahan dimana masing-masing penggunaan tanah yang sesuai seluas 1.556,77 Ha (99,74%) dan perumahan seluas 2.815,74 ha atau 30,98 %. Dan tersebar diseluruh wilayah kecamatan. Untuk kesesuaian penggunaan tanah lainnya dapat dilihat pada peta dan tabel berikut ini. Tabel 8. Kesesuaian Penggunaan Tanah Dengan RTRW Kota Palu No. Arahan Fungsi Kawasan Luas (ha) Kesesuaian Penggunaan Tanah dengan RTRW Sesuai Tidak Sesuai Luas (ha) % Luas (ha) % 1 Hutan Lindung 7.256,08 6.209,72 85,58 1.046,36 14,42 2 Hutan Produksi Terbatas 3.230,87 3.189,37 98,72 41,50 1,28 3 Kawasan Industri 1.560,85 1.556,77 99,74 4,08 0,26 4 Kawasan Pariwisata 288,49 88,25 30,59 200,24 69,41 5 Kawasan Perdagangan & Jasa 448,94 373,25 83,14 75,69 16,86 6 Kawasan Perkantoran 198,13 158,89 80,19 39,24 19,81 7 Kawasan Perlindungan Setempat 772,55 45,96 5,95 726,59 94,05 8 Kawasan Perumahan 9.090,19 2.815,74 30,98 6.274,45 69,02 9 Kawasan Peruntukan Lainnya 6.689,43 1.941,72 29,03 4.747,71 70,97 10 Kawasan Rawan Bencana Alam 2.060,41 674,28 32,73 1.386,13 67,27 11 Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya 5.626,98 5.357,74 95,22 269,24 4,78 12 Ruang Terbuka Hijau Kota 1.548,90 853,62 55,11 695,28 44,89 Jumlah 38.771,82 23.265,31 60,00 15.506,51 40,00 Sumber : Kanwil BPN Prov. Sulteng (2013) Terdapat ketidak sesuaian antara penggunaan tanah dengan RTRW seluas 38.771,82 ha (%). Dari ketidak sesuaian tersebut, yang paling dominan adalah kawasan perlindungan setempat (94,05 %), kawasan peruntukan lainnya seluas 4.747,71 ha ( 70,97 %) dan kawasan pariwisata seluas 200,24 ha ( 69,41 %). Temuan di Kota Palu terkait tata ruang, adanya hotel di bibir pantai (swissbel) yang termasuk daerah rawan bencana karena wilayah tersebut pernah diterjang tsunami pada tahun 2007 setelah peristiwa tsunami aceh. 3.1.8. Kabupaten Sigi Hasil super-impose antara peta penggunaan tanah tahun 2012 dengan peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sigi menunjukan bahwa secara umum penggunaan tanah di wilayah itu yang sesuai dengan arahan peruntukan penggunaan tanah yang ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) seluas 433.711,59 Ha atau 80,01%, sedangkan yang tidak sesuai seluas 108.328,03 Ha atau 19,99%. Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar penggunaan tanah di wilayah Kabupaten Sigi telah memenuhi atau mematuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam rencana tata ruang wilayah. Meskipun demikian ternyata di beberapa tempat juga masih dijumpai penggunaan tanah yang tidak atau belum sesuai dengan arahan peruntukan penggunaan tanah dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW), yang luasnya masih mencapai 108.328,03 Ha (19,99%). Sejumlah penggunaan tanah budi daya non kehutanan masih ditemukan dalam fungsi kawasan lindung, serta fungsi kawasan kehutanan, baik hutan lindung maupun hutan produksi. Menurut ketentuan penggunaan tanah semacam ini seharusnya diusahakan pada fungsi kawasan budi daya non kehutanan. Gambaran ini mengindikasikan bahwa fungsi koordinasi antar pihak terkait dalam rangkan pengendalian dan pengawasan pemanfaatan ruang belum berjalan efektif. Apabila hasil analisis kesesuaian antara penggunaan tanah dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) ditinjau menurut arahan fungsi kawasan, terlihat bahwa presentase kesesuaian penggunaan tanah dalam fungsi kawasan hutan lindung adalah yang sebesar 131.992,76 Ha (94,49 %) tersebar di 11 wilayah Kecamatan yaitu Kecamatan Dolo Barat, Kecamatan Dolo Selatan, Kecamatan Gumbasa, Kecamatan Kinovaro, Kecamatan Kulawi, Kecamatan Kulawi Selatan, Kecamatan Marawola, Kecamatan Marawola Barat, Kecamatan Palolo, Kecamatan Pipikoro dan Kecamatan Sigi Biromaru. Pada fungsi kawasan hutan produksi penggunaan tanah yang sesuai seluas 1.416,64 Ha (90,63 %), tersebar di Kecamatan Kulawi dan Kecamatan Pipikoro. Pada fungsi kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi penggunaan tanahnya yang sesuai seluas 9.485,27 Ha (91,69 %) tersebar di empat wilayah Kecamatan yaitu Kecamatan Kulawi, Kecamatan Kulawi Selatan, Kecamatan Palolo, dan Kecamatan Pipikoro. Pada fungsi kawasan hutan produksi terbatas penggunaan tanah yang sesuai seluas 126.743,93 Ha (90,19 %) tersebar di Kecamatan Dolo Barat, Kecamatan Dolo Selatan, Kecamatan Kulawi, Kecamatan Kulawi Selatan, Kecamatan Marawola Barat, Kecamatan Palolo, Kecamatan Pipikoro, dan Kecamatan Sigi Biromaru. Pada Fungsi Kawasan Pengelolaan Alam penggunaan tanah yang sesuai seluas 105.118,01 Ha (90,61%) tersebar di Kecamatan Gumbasa, Kecamatan Kulawi, Kecamatan Kulawi Selatan, Kecamatan Lindu, Kecamatan Nokilalaki, Kecamatan Palolo, Kecamatan Pipikoro, Kecamatan Sigi Biromaru dan Kecamatan Tanambulava. Sebaliknya dalam fungsi kawasan budi daya non kehutanan seperti fungsi kawasan permukiman penggunaan tanah yang sesuai hanya seluas 2.555,83 Ha (23,70 %), sedangkan penggunaan tanah yang tidak sesuai seluas 8.226,13 Ha (76,30 %). Penggunaan tanah yang sesuai dengan fungsi kawasan permukiman tersebar di Kecamatan Dolo, Kecamatan Dolo Barat, Kecamatan Dolo Selatan, Kecamatan Gumbasa, Kecamatan Kinovaro, Kecamatan Kulawi, Kecamatan Kulawi Selatan, Kecamatan Marawola, Kecamatan Marawola Barat, Kecamatan Nokilalaki, Kecamatan Palolo, Kecamatan Pipikoro, Kecamatan Sigi Biromaru dan Kecamatan Tanambulava. Penggunaan tanah berupa pemukiman yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan permukiman dijumpai di hampir seluruh Kecamatan di Kabupaten Sigi kecuali Kecamatan Lindu. Dalam fungsi kawasan pertanian lahan basah penggunaan tanah yang sesuai seluas 24.870,74 Ha (82,41 %), yang tidak sesuai seluas 5.309,97 Ha (17,59 %). Penggunaan tanah yang sesuai dengan fungsi kawasan pertanian lahan basah dijumpai di sepuluh wilayah Kecamatan yaitu Kecamatan Dolo, Kecamatan Dolo Barat, Kecamatan Dolo Selatan, Kecamatan Gumbasa, Kecamatan Lindu, Kecamatan Marawola, Kecamatan Nokilalaki, Kecamatan Palolo, Kecamatan Sigi Biromaru dan Kecamatan Tanambulava, sedangkan penggunaan tanah yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan pertanian lahan basah dijumpai di Kecamatan Dolo, Kecamatan Dolo Barat, Kecamatan Dolo Selatan, Kecamatan Gumbasa, Kecamatan Kulawi, Kecamatan Lindu, Kecamatan Marawola, Kecamatan Nokilalaki, Kecamatan Palolo, Kecamatan Sigi Biromaru dan Kecamatan Tanambulava. Dalam fungsi kawasan pertanian lahan kering penggunaan tanah yang sesuai seluas 28.308,11 Ha atau 31,64 %, tersebar di Kecamatan Dolo Barat, Kecamatan Dolo Selatan, Kecamatan Gumbasa, Kecamatan Kinovaro, Kecamatan Kulawi, Kecamatan Kulawi Selatan, Kecamatan Marawola, Kecamatan Marawola Barat, Kecamatan Nokilalaki, Kecamatan Palolo, Kecamatan Pipikoro, Kecamatan Sigi Biromaru dan Kecamatan Tanambulava. Sedangkan penggunaan tanah yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan pertanian lahan kering seluas 61.171,25 Ha (68,36%), dijumpai di Kecamatan Dolo Barat, Kecamatan Dolo Selatan, Kecamatan Gumbasa, Kecamatan Kinovaro, Kecamatan Kulawi, Kecamatan Kulawi Selatan, Kecamatan Marawola, Kecamatan Marawola Barat, Kecamatan Nokilalaki, Kecamatan Palolo, Kecamatan Pipikoro, Kecamatan Sigi Biromaru dan Kecamatan Tanambulava. Dalam fungsi kawasan sungai, penggunaan yang sesuai seluas 3.220,31 Ha (92,87%) yang tersebar di dua wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Kulawi Selatan dan Kecamatan Lindu. Sementara penggunaan tanah yang tidak sesuai seluas 247,27 Ha (7,13 %) yang tersebar di seluruh wilayah Kecamatan yang ada di Kabupaten Sigi. Rincian mengenai tingkat kesesuaian penggunaan dengan RTRW Kabupaten Sigi dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 9. Kesesuaian Penggunaan Tanah Dengan RTRW Kabupaten Sigi No Arahan Fungsi Kawasan Dalam RTRW Kesesuaian Penggunaan Tanah dengan RTRW Sesuai Tidak Sesuai Luas (Ha) % Kawasan Luas (Ha) % Kawasan 1 Hutan lindung 131.992,76 94,49 7.690,37 5,51 2 Hutan produksi 1.416,64 90,63 146,54 9,37 3 Hutan produksi konversi 9.485,27 91,69 859,75 8,31 4 Hutan produksi terbatas 126.743,93 90,19 13.787,24 9,81 5 Kawasan permukiman 2.555,83 23,70 8.226,13 76,30 6 Pertanian lahan basah 24.870,74 82,41 5.309,97 17,59 7 Pertanian lahan kering 28.308,11 31,64 61.171,25 68,36 8 Kawasan Pengelolaan Alam (KPA) 105.118,01 90,61 10.889,51 9,39 9 Sungai/danau/situ/telaga 3.220,31 92,87 247,27 7,13 Total 433.711,59 80,01 108.328,03 19,99 Sumber : Kanwil BPN Prov. Sulteng (2012) Adanya temuan dimana terdapat kesesuaian antara fungsi kawasan dengan RTRW namun ternyata RTRW kurang tepat, dalam arahan fungsi kawasan merupakan daerah perkantoran tetapi ternyata wilayahnya rawan bencana seperti Kantor BPN Kabupaten Sigi yang berada dalam kompleks kantor Pemerintah Daerah di kecamatan Bora, tanahnya sering bergeser sehingga bangunan kantor di atasnya retak-retak dan tidak bisa digunakan. 3.1.9. Kabupaten Mempawah Hasil super-impose antara peta penggunaan tanah tahun 2014 dengan peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Mempawah menunjukkan prosentase tingkat kesesuaian cukup besar yaitu sebesar 63,26 %. Untuk tingkat kesesuaian paling tinggi berada di Kecamatan Mempawah Hilir, sebesar 73,17 %, kedua kecamatan Sungai Pinyuh ( 67,82 %) dan Toho ( 67,46 %). Selengkapnya terdapat dalam tabel 10. Tabel 10. Kesesuaian Penggunaan Tanah terhadap RTRW Berdasarkan Kecamatan Kabupaten Mempawah No KECAMATAN KESESUAIAN PENGGUNAAN TANAH TERHADAP RTRW Sesuai % TOTAL Tidak Sesuai % TOTAL 1 ANJONGAN 8750.15 62.83 5176.02 37.17 2 MEMPAWAH HILIR 13527.17 73.17 4959.1 26.83 3 MEMPAWAH TIMUR 5498.68 57.8 4014.82 42.2 4 SADANIANG 21211.58 48.8 22251.22 51.2 5 SEGEDONG 21227.8 76.3 6595.33 23.7 6 SIANTAN 15459.75 57.04 11643.2 42.96 7 SUNGAI KUNYIT 13362.08 68.21 6227.61 31.79 8 SUNGAI PINYUH 13936.58 67.82 6613.55 32.18 9 TOHO 18961.69 67.46 9145.3 32.54 JUMLAH 131935.48 63.26 76626.15 36.74 Sumber : Hasil Pengolahan Data 2016 Belum sesuainya penggunaan tanah terhadap arahan fungsi kawasan dalam RTRW didominasi pada kawasan pertanian lahan kering atau kawasan perkebunan, yang penggunaan tanahnya masih berupa hutan belukar yang berada di Kecamatan Sadaniang. Sebaliknya, ada arahan kawasan sebagai kawasan hutan tetapi penggunaan tanahnya berupa perkebunan masyarakat. Pada areal lain ada juga yang arahan fungsi kawasannya untuk industry tetapi kondisi fisiknya masih berupa lahan pertanian. 3.1.10. Kota Singkawang Dari hasil overlay peta penggunaan tanah eksisting tahun 2013 dengan peta RTRW Kota Singkawang menunjukkan prosentase tingkat kesesuaian cukup rendah yaitu sebesar 48,31 %. Untuk tingkat kesesuaian paling tinggi berada di Kecamatan singkawang Selatan, sebesar 54,68 %. Luasan dan prosentase pada masing-masing kecamatan dapat dilihat pada Tabel 11. Dari Tabel 11. menunjukkan tingkat kesesuaian penggunaan tanah terhadap RTRW di Kota Singkawang mencapai 48,31 % dan ketidak sesuaian sebesar 51,69 %. Tabel 11. Kesesuaian Penggunaan Tanah Terhadap RTRW berdasarkan kecamatan Kota Singkawang No KECAMATAN KESESUAIAN PENGGUNAAN TANAH TERHADAP RTRW Sesuai % TOTAL Tidak Sesuai % TOTAL 1 SINGKAWANG BARAT 751,67 36,88 1.286,45 63,12 2 SINGKAWANG SELATAN 10.850,98 54,68 8.993,70 45,32 3 SINGKAWANG TENGAH 764,77 38,72 1.210,53 61,28 4 SINGKAWANG TIMUR 10.217,02 45,42 12.277,49 54,58 5 SINGKAWANG UTARA 3.713,75 45,97 4.365,76 54,03 KOTA SINGKAWANG 26.298,19 48,31 28.133,93 51,69 Sumber Kantor Wilayah BPN Provinsi Kalimantan Barat, 2014 Banyaknya penggunaan tanah yang belum sesuai terhadap RTRW disebabkan antara lain ; banyak bangunan-bangunan baru di wilayah tersebut yang belum berizin. Ada kecenderungan dari masyarakat yang mendirikan bangunan terlebih dahulu, kemudian baru mengurus perizinannya, yang ternyata tidak sesuai dengan arahan fungsi kawasan dalam RTRW. Di samping itu ada juga arahan fungsi kawasan sebagai kawasan pertanian lahan kering atau kawasan perkebunan, padahal penggunaan tanahnya masih berupa hutan belukar. Untuk di bagian selatan terdapat kawasan rencana Bandar Udara, yang mana penggunaan tanahnya berupa perkebunan besar. Menurut responden dari Bappeda Kota Singkawang, akan dilakukan revisi RTRW untuk menggeser kawasan Bandar Udara Lebih ke arah barat. 3.2 Efektifitas kebijakan Penataan Ruang Secara normatif telah diatur dalam PP Nomor 15 tahun 2010 pasal 182 bahwa setiap orang yang melakukan pelanggaran di bidang penataan ruang yang berkenaan dengan : a. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang; b. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang yang diberikan oleh pejabat berwenang; c. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan persyaratan izin yang diberikan oleh pejabat yang berwenang;dan/atau d. menghalangi akses terhadap kawasan yang dinyatakan oleh peraturan perundang-undangan sebagai milik umum. akan dikenakan sanksi administratif. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dapat berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara kegiatan; c. penghentian sementara pelayanan umum; d. penutupan lokasi; e. pencabutan izin; f. pembatalan izin; g. pembongkaran bangunan; h. pemulihan fungsi ruang; dan/atau i. denda administratif. Disamping sanksi administrative, UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang juga mengenakan sanksi pidana terhadap pelanggaran tata ruang yang dimuat dalam beberapa pasal, namun belum diketahui apakah sudah pernah dikenakan terhadap perorangan atau korporasi yang melakukan pelanggaran tata ruang. Tabel 12. Pasal pidana dalam UU Penataan Ruang Pasal Bentuk Pelanggaran Unsur Pelanggaran Contoh Sanksi Perse-orangan Korporasi 69ay(1) Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang a. memanfaatkan ruang dengan izin pemanfaatan ruang dilokasi yang tidak sesuai dengan peruntukkannya b. memanfaatkan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang di lokasi yang sesuai peruntukannya; dan c. memanfaatkan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang di lokasi yang tidak sesuai peruntukannya. a. Pembangunan rumah dengan IMB di RTH. b. Membangunrumah tanpa IMB di kawasan perumahan c. Membangun Rumah tanpa IMB di RTH. Berubahya fungsi ruang RTH menjadi perumahan • Pidana penjara paling lama 3 tahun; dan • denda paling banyak Rp500.000.000 pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali 71 Setiap orang yang tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang a. melanggar batas sempadan yang telah ditentukan; b. melanggar ketentuan koefisien lantai bangunan yang telah ditentukan; c. melanggar ketentuan koefisien dasar bangunan dan koefisien dasar hijau; d. melakukan perubahan sebagian atau keseluruhan fungsi bangunan; e. melakukan perubahan sebagian atau keseluruhan fungsi lahan; dan f. tidak menyediakan fasilitas sosial atau fasilitas umum sesuai dengan persyaratan dalam izin pemanfaatan ruang. a. Membangun rumah melanggar garis sempadan bangunan. b. Membangun apartemen melanggar koefisien lantai bangunan. Administratif 1. pidana penjara paling lama 3 tahun • denda paling banyak Rp 500.000.000 pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali 72 Setiap orang yang Tidak memberikan akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundangundangan dinyatakan sebagai milik umum a. menutup akses ke pesisir pantai, sungai, danau, situ, dan sumber daya alam serta prasarana publik b. menutup akses terhadap sumber air; c. menutup akses terhadap taman dan ruang terbuka hijau; d. menutup akses terhadap fasilitas pejalan kaki; e. menutup akses terhadap lokasi dan jalur evakuasi bencana; dan f. menutup akses terhadap jalan umum tanpa izin yang berwenang. Membangun hotel dengan menutupi akses umum ke pantai. Administratif • pidana penjara paling lama 1 tahun • denda paling banyak Rp 100.000.000 pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali Mekanisme perijinan tidak sama di seluruh lokasi penelitian, seperti ijin lokasi tidak ditemukan di Kabupaten Banyuwangi sehingga pembangunan perumahan kurang terkendali. Tabel 13. Mekanisme perijinan sebagai alat pengendali tata ruang di lokasi sampel No. Lokasi Sampel Jenis Perijinan 1. Kota Jambi • izin prinsip; • izin lokasi; • izin penggunaan pemanfaatan ruang; • izin mendirikan bangunan; 2. Kabupaten Muaro Jambi • pemberian rekomendasi kesesuaian tata ruang, dari lebih kurang 10 permohonan sekitar 10 persen ditolak , • dibentuk tim pengendali di tata kota, • ijin lokasi (ke Pelayanan Terpadu Satu Pintu) • ijin lingkungan. 3. Kota Bandung • Ijin Perubahan Penggunaan Tanah, • Ijin Lokasi, • Penetapan lokasi. 4. Kabupaten Bandung • Ijin lokasi • Site plan 5. Kabupaten Banyuwangi • advice planning oleh Badan Perencanaan Kabupaten dan • izin mendirikan bangunan (IMB) oleh Badan Pelayanan Perizinan Terpadu 6. Kabupaten Jember • Ijin penggunaan pemanfaatan tanah • Ijin lokasi • Rekomendasi informasi kesesuaian pemanfaatan ruang • IMB 7. Kota Palu • Rekomendasi kesesuaian tata ruang • Rekomendasi alih fungsi dari tanah pertanian ke non pertanian • Ijin lokasi di PTSP • IMB 8. Kabupaten Sigi • Ijin lokasi di PTSP • izin penggunaan pemanfaatan tanah • IMB 9. Kabupaten Mempawah • Ijin lokasi, • Ijin penggunaan Pemanfaatan Tanah • IMB di Kantor Pelayanan Terpadu 10. Kota Singkawang • Ijin penggunaan Pemanfaatan Tanah • Advis planning Kebijakan penataan ruang belum cukup efektif dalam mengendalikan pemanfaatan ruang meskipun perangkat pengendalian pemanfaatan ruang telah diselenggarakan melalui kegiatan perijinan, pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang. Perijinan yang terkait langsung dengan pemanfaatan ruang adalah Izin Lokasi, Izin Perencanaan, Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Jenis izin dan/atau pertimbangan kelayakan berdasarkan analisis rencana lingkungan yang masih erat kaitannya adalah Izin Undang-Undang Gangguan (IUUG) dan/atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Efektivitas penyelenggaraan penataan ruang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan perangkat regulasi rencana tata ruang (RTR) serta konsistensi dalam pelaksanaan regulasi tata ruang tersebut. Namun sampai saat ini belum semua wilayah kabupaten memiliki RTRW dikarenakan masih dalam proses penyusunan. Disamping itu, Efektifitas kebijakan penataan ruang yang dibuat Pusat terkendala dengan kebijakan tata ruang daerah yang terkadang lebih memprioritaskan kepentingan ekonomi yang dapat memberikan tambahan penghasilan ekonomi daerah, sehingga walaupun ada perijinan yang harus dilalui oleh investor namun jika dampak ekonomi usaha tersebut lebih menjanjikan maka akan terjadi penyesuaian tata ruang oleh daerah. Kondisi ini merupakan salah satu penyumbang terjadinya bencana banjir, longsor dan sebagainya. Yang menjadi permasalahan adalah konsistensi dengan Tata Ruang Pusat terutama tata ruang untuk daerah rawan bencana, seperti di Kabupaten Banyuwangi diwilayah pinggir pantai Pancer menjadi daerah wisata dan terdapat permukiman disekitarnya yang rencananya akan dilakukan Konsolidasi tanah, padahal wilayah tersebut pada tahun 1994 pernah terkena tsunami yang mengakibatkan ribuan orang meninggal. Maka perlu ada pengawasan dari Pusat sehingga daerah rawan bencana tidak dimanfaatkan untuk perumahan. Demikian pula terhadap daerah yang menjadi langganan banjir dan longsor, pengawasan terhadap setiap pembangunan harus dikawal tidak hanya di awal pembangunan tetapi sampai selesai dibangun. Mengintegrasikan upaya pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang harus menjadi prioritas Pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat. RTRW sebaiknya disusun berdasarkan perspektif mitigasi bencana, yang sangat berguna dalam meminimalisir terjadinya bencana yang akan merugikan masyarakat secara sosial, ekonomi, dan sarana prasarana. Selama ini ada BKPRD yang mempunyai peran penting untuk mengawal konsistensi antara RTRW dan pemanfaatan ruang. Terutama yang menyangkut tata ruang atau tempat strategis, agar tidak terjadi kesalahan ketika mengeluarkan rekomendasi izin. BKPRD merupakan pelimpahan kewenangan pemerintahan provinsi sebagai wakil pemerintah di daerah melalui mekanisme dekonsentrasi. Pelimpahan kewenangan ini juga dimaksudkan untuk mendukung tercapainya efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan dan pelayanan terhadap kepentingan umum masyarakat khususnya dibidang penataan ruang. Namun demikian fungsi BKPRD kurang berjalan karena lebih mengedepankan terlaksananya program pemerintah daerah sehingga dalam beberapa kasus rekomendasi atau ijin tetap dikeluarkan walaupun tidak sesuai dengan RTRW dengan cara merubah dalam RDTR atau merevisi RTRW yang ada. Dengan dihapuskannya BKPRD maka pengendalian harus lebih ditingkatkan tidak hanya melalui perijinan tetapi juga perlu ada pendampingan dari pusat untuk tetap mengawal tersusunnya RTRW provinsi dan Kabupaten/Kota. Peran PPNS juga penting untuk mengawasi pelanggaran RTRW. Adapun kegiatan pengawasan pemanfaatan ruang terdiri dari pemantauan, pelaporan dan evaluasi. Pengawasan yang dilakukan berupa pengawasan umum terhadap pemanfaatan ruang dan penyimpangan/pelanggaran rencana tata ruang harus dilakukan oleh aparat pada unit terkecil, yaitu kecamatan, kelurahan, RW dan RT, serta oleh masyarakat umum serta pengawasan khusus terhadap penyimpangan atau pelanggaran rencana tata ruang yang harus dilakukan oleh instansi pemberi ijin dan instansi lain yang terkait. Selain itu mengintensifkan upaya penertiban secara tegas dan konsisten terhadap kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan atau tidak berijin secara bertahap. Pengendalian pemanfaatan ruang oleh pemerintah tidak akan berhasil bila tanpa didukung oleh masyarakat dan semua pihak yang berperan dalam pembangunan. Instrumen pengendalian hanyalah alat, alat akan berfungsi sebagaimana mestinya bila semua pihak berkeinginan menggunakannya dengan benar. Pemerintah dengan komitmen penuh harus mengawal setiap kegiatan agar sesuai dengan rencana yang ada. Masyarakat juga bisa membantu pemerintah dalam mengontrol pemanfaatan ruang, yaitu dengan mengadukan kepada pemerintah setiap kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Pemerintah pun harus mengambil tindakan tegas terhadap setiap kegiatan yang melanggar. Bila semua pihak telah berperan positif dalam pemanfaatan ruang di Indonesia, tentunya akan terwujud wajah kota dan wilayah yang mempunyai estetika dan menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi warganya. Kendala yang paling utama dalam pengendalian RTRW adalah tidak adanya control dari Pusat Ke daerah dalam penyusunan RTRW, karena Penataan Ruang sudah di otonomikan sehingga terlepas dari kontrol Pusat. Dengan terjadinya berbagai bencana di berbagai kota baik karena banjir, longsor dan sebagainya harus disikapi oleh Pemerintah dengan melakukan evaluasi terhadap RTRW yang sudah di Perdakan. Pemerintah Pusat yang diwakili oleh Kementerian ATR/BPN harus mampu mengendalikan dan mengarahkan provinsi dan daerah dalam penyusunan RTRW sehingga tidak terjadi pelanggaran dalam tata ruang seperti rencana pemanfaatan ruang di wilayah rawan bencana, daerah resapan serta mendukung pemenuhan RTH minimal 30 % disetiap wilayah. 3.3 Kendala Dan Upaya Yang Diperlukan Untuk Mengharmonisasikan Kebijakan Penatagunaan Tanah Dengan Tata Ruang Penatagunaan tanah memiliki dua peran utama dalam mewujudkan rencana tata ruang guna kepentingan masyarakat secara adil. Pertama, peran secara makro, penatagunaan tanah bersama-sama dengan instansi lain baik pusat maupun daerah, bekerja sama untuk merumuskan kebijakan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional sebagai instansi vertical melakukan koordinasi antara penatagunaan tanah nasional maupun daerah melalui penyusunan neraca penggunaan tanah. Di dalam neraca tersebut terdapat evalusai kesesuaian RTRW dengan penggunaan tanah saat ini, serta ketersediaan tanah untuk pembangunan didasarkan pada RTRW, penggunaan, dan penguasaan tanah. Neraca penggunaan tanah sangat berguna dalam revisi dan evaluasi RTRW. Peran penatagunaan tanah di level mikro adalah implementing penatagunaan tanah dalam administrasi pertanahan. Di sini peran penatagunaan tanah semakin jelas, dimana secara langsung dalam administrasi pertanahan, penatagunaan tanah dapat terlibat langsung dalam proses administrasi pertanahan. Proses-proses administrasi pertanahan mulai dari penerbitan hak, pemindahan hak, pelepasan hak, dan lain-lain, kesemuanya harus mengacu pada rencana tata ruang wilayah. Instrumen yang digunakan dalam penyusunan neraca penggunaan tanah adalah peta penggunaan tanah dan peta RTRW, data yang disajikan dalam Neraca Penatagunaan Tanah menggambarkan penggunaan, penguasaan dan pemanfaatan tanah, sedangkan instrument dalam penyusunan RTRW seharusnya digunakan data dan informasi bidang pertanahan sebagaimana termuat dalam Neraca Penatagunaan tanah. Tidak digunakannya neraca penggunaan tanah sebagai instrument penyusunan RTRW menurut responden karena kurang terbukanya informasi dari Kementerian ATR/BPN sehingga sulit mendapatkan akses data untuk menyusun RTRW. Sebagai lembaga yang mempunyai fungsi mengatur tata ruang maka data dan informasi yang diperlukan dalam penyusunan RTRW seharusnya lebih terbuka sehingga tidak ditemukan lagi adanya ketidak sesuaian antara kondisi exsisting dengan RTRW. Sebagai subsistem penataan ruang, penatagunaan tanah memiliki fungsi yang unik yaitu mewujudkan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang sesuai fungsi kawasan pada RTRW. Dalam perjalanan dari waktu ke waktu pada periode penataan ruang, penatagunaan tanah meletakkan fungsinya sebagai pemberi informasi terhadap perlu tidaknya RTRW disempurnakan atau direvisi. Dalam kedudukan yang strategis itu, maka penatagunaan tanah menyusun suatu rekomendasi untuk dipakai sebagai pedoman dalam mewujudkan dan memberi masukan untuk RTRW. Ke depannya Kementerian ATR/BPN harus lebih terbuka dalam memberikan informasi penggunaan tanah kepada Daerah sehingga dapat dijadikan referensi dalam penyusunan RTRW agar diperoleh kesesuaian dalam informasi peta penggunaan tanah dan RTRW walaupun skala yang digunakan berbeda. 4. KESIMPULAN 1. Prosentase Ketidaksesuaian Penggunaan Tanah terhadap RTRW paling tinggi terdapat di Kota Singkawang sebesar 51,69 %, kedua Kabupaten Bandung sebesar 48,21 %, dan ketiga Kota Palu sebesar 39,99 %. Sedangkan prosentase ketidaksesuaian yang terendah terdapat di Kota Jambi sebesar 2,51 %, dan Kabupaten Muaro Jambi sebesar 5.24 %. Faktor yang mempengaruhi ketidaksesuaian antara lain : lemahnya fungsi pengawasan ketika terjadi pelanggaran, adanya perbedaan peta dasar sebagai sumber data, dan keinginan Pemerintah Daerah dalam pembangunan. 2. Kebijakan penataan ruang belum cukup efektif dalam mengendalikan pemanfaatan ruang meskipun perangkat pengendalian pemanfaatan ruang telah diselenggarakan melalui kegiatan perijinan, pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang. Hal ini terjadi karena kebijakan penataan ruang yang dibuat Pemerintah Pusat terkendala dengan kebijakan tata ruang daerah yang terkadang lebih memprioritaskan kepentingan ekonomi untuk memberikan tambahan pendapatan asli daerah (PAD). Dari kebijakan penatagunaan tanah, pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan melalui penerbitan pertimbangan teknis pertanahan yang mengacu pada arahan fungsi kawasan dalam RTRW. 3. Neraca penggunaan tanah belum sepenuhnya dimanfaatkan sebagai instrument penyusunan RTRW, karena kurangnya koordinasi antara Kementerian ATR/BPN dengan Dinas Tata Ruang di daerah dan kurang terbukanya informasi dari Kementerian ATR/BPN sehingga sulit mendapatkan akses data dalam menyusun RTRW.

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP INDIKATOR EKONOMI TANAH

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP INDIKATOR EKONOMI TANAH Trie Sakti, Suryalita dan Robin T.H. Sijabat [*] Abstrak Tanah merupakan sa...