Selasa, 30 April 2019

HAK ULAYAT DI KALIMANTAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pasal 18 B ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945, mengamanatkan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara KesatuanRepublik. Ketentuan Pasal 18B UUD 1945 diperkuat dengan ketentuan Pasal 28 ayat(3) UUD45, yang menyebutkan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zamandan peradaban. Pengakuan dan penghormatan serta perlindungan juga tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral, antara lain UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 41 Tahun 1999, UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas, UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Selain dalam hukum nasional, Deklarasi Rio de Janeiro menyatakan semua Negara agar memberikan penghargaan terhadap nilai-nilai budaya masyarakat asli (indigenous people) termasuk hak-hak atas tanah, hutan, dan sumber daya alamnya. Undang-Undang Po9kok Agraria secara jelas mengakui keberadaan hak ulayat, yaitu pasal 3 dan pasal 5, yang mengamanatkan bahwa Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Masyarakat adat menganggap bahwa Pemerintah kurang mengakui dan menghormati hak-hak mereka yang kemudian menimbulkan gejolak politik sejak dimulainya era reformasi, sehingga banyak terjadi tuntutan atau gugatan atas tanah yang telah dipakai untuk berbagai kegiatan usaha atau untuk pembangunan dengan dalih bahwa perolehan tanah itu dulu secara tidak sah. Menanggapi fenomena tersebut, maka pada tahun 1999 telah dikeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 5/1999 yang berisi Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Masyarakat Hukum Adat. Peraturan ini antara lain mengatur bahwa 1)Penetapan apakah sesuatu wilayah merupakan tanah ulayat atau bukan, dilakukan oleh Pemerintah Daerah, 2) Hak Ulayat dianggap ada bila a) ada masyarakat hukum adat yang telah lama eksis, b) Ada wilayah yang jelas mereka kuasai, c)ada tatanan hukum adat mengenai pengaturan penguasaan dan pemanfaatan tanah yang ditaati oleh masyarakat hukum adat itu. Adapun keberadaan tanah ulayat tersebut dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan menggambarkan batas-batasnya. Terkait dengan PMNA No. 5 tahun 1999, maka Pemda Provinsi Kalimantan Tengah telah mengeluarkan Peraturan Daerah No. 16 tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah yang di tindak lanjuti dengan Peraturan Gubernur No 13 tahun 2009 tentang Tanah Adat Dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah Di Provinsi Kalimantan Tengah yang kemudian diperbarui dengan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Perubahan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 13 Tahun 2009 Tentang Tanah Adat Dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah. Dalam Pergub No. 13 tahun 2009 disebutkan bahwa terhadap seluruh tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah akan ditertibkan. Penertiban akan diselesaikan paling lambat selama 6 (enam) tahun sejak ditetapkan. Penertiban akan meliputi kegiatan inventarisasi tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah, penerbitan Surat Keterangan Tanah Adat (SKT-A), sertifikasi dan atau pemutihan kepemilikan tanah adat. Bila tidak dilakukan upaya inventarisasi selama waktu 6 tahun tersebut, maka hak kepemilikan atau penguasaan dan pemanfaatan atas tanah adat tidak diakui dan akan dikenakan sanksi sesuai adat yang berlaku. Tataran pelaksanaan Peraturan Daerah maupun Peraturan Gubernur tersebut di atas belum memberikan implikasi yang berdampak pada penentuan hak ulayat dan pendaftarannya sebagaimana yang dimaksudkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria No. 5 tahun 1999. Kondisi ini juga di pengaruhi oleh ketentuan dalam UU Kehutanan yang tidak mengakui adanya hutan adat, walau fakta menunjukkan bahwa hutan adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat yang menghuninya. Terhadap UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan di ajukan judicial review dan dikeluarkan Putusan MKNo. 35/PUU-X/2012, para pemohon terdiri dari 1) aliansi masyarakat adat nusantara (aman), 2) kesatuan masyarakat hukum adat kenegerian kuntu, 3) kesatuan masyarakat hukum adat kasepuhan cisitu, sehingga beberapa pasal mengalami perubahan antara lain pasal 1 angka 6 menjadi berbunyi hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat, pasal 4 ayat 3 dimaknai penguasaan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam undang-undang. Selanjutnya pasal 5 ayat 1 dimaknai hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a tidak termasuk hutan adat. Putusan tersebut menjadi momen penting bagi masyarakat adat karena dengan putusan ini maka masyarakat adat dapat menuntut pengakuan terhadap wilayah adatnya, masyarakat Hukum Adat yang wilayah adatnya dikategorikan sebagai kawasan hutan dapat mengklaim wilayahnya sebagai hutan adat. Tidak dapat dipungkiri keberadaan masyarakat adat dalam kawasan hutan adalah nyata, dan telah lama ada sebelum adanya penunjukan kawasan hutan melalui TGHK maupun RTRW. Hutan mempunyai arti sangat penting bagi masyarakat adat, terutama bagi masyarakat adat di daerah Kalimantan, hutan tidak hanya mempunyai fungsi sebagai sumber kehidupan dan mata pencaharian, tetapi juga mempunyai nilai magis sebagai tempat keramat.Alam adalah ruang hidup bagi masyarakat dayak dan hutan adalah napas. Begitu lekatnya hubungan manusia Dayak dengan alamnya sehingga alam juga dipandang layaknya seorang ibu yang harus dihormati, dimuliakan dan dirawat dengan penuh kasih. Perspektif masyarakat dayak dalam memperlakukan alam sangat kontras dengan perspektif ekonomis. Masyarakat dayak berpandangan bahwa alam beserta isinya bukanlah sebuah benda mati semata. Didalam perspektif etnoreligi Kaharingan, semua benda alam memiliki semacam roh, yang disebut ‘gana”, ‘gana” ini tidak terbatas pada sesuatu yang bergerak atau bernapas. Secara historis, suku bangsa yang terdapat di Kalimantan Indonesia dikelompokkan menjadi tiga yaitu suku Banjar, suku Dayak Indonesia (268 suku bangsa) dan suku asal Kalimantan lainnya (non Dayak dan non Banjar). Dahulu, budaya masyarakat Dayak adalah Budaya maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya. Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun Klemantanalias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan. Namun secara ilmiah, para linguis melihat 5 kelompok bahasa yang dituturkan di pulau Kalimantan dan masing-masing memiliki kerabat di luar pulau Kalimantan. Adat Dayak mengakui kepemilikan tanah adat yang terdiri atas 1) kepemilikan seko menyeko atau kepemilikan perseorangan, 2) kepemilikan parene’ant, yang merupakan tanah warisan yang dengan segala isinya menjadi milik dari beberapa keluarga dalam satu garis keturunan, 3) kepemilikan saradangan, merupakan kepemilikan oleh suatu kampung dan 4) kepemilikan binua, yaitu kepemilikan atas tanah oleh beberapa kampung satuan wilayah adat Ketemanggungan. Penguasaan tanah di Kalimantan menarik dikaji sebab penguasaan original suku dayak memiliki ciri dan kharakter yang sesuai dengan kearifan lokal. Secara konseptual, Van Vallenhoeven mengemukakan cici-ciri keberadaan tanah ulayat sebagai berikut) : 1. hanya persekutuan hukum yang bersangkutan dan para anggotanya yang dapat bebas mengerjakan tanah yang belum dijamah oleh orang lain untuk macam-macam keperluan, boleh membuka tanah untuk pertanian (clearing it for agricultural), mendirikan kampung(founding a village), dan mengambil hasil hutan(gathering forest produce or toexploit any virgin land); 2. orang boleh melakukan hal tersebut, hanya dengan ijin persekutuan; 3. orang luar dan kadang-kadang para anggota persekutuan harus membayar sewa bumi, supaya diberi izin melakukan tindakan tersebut (rekcoqnisi); 4. persekutuan hukum adat tetap mempunyai hak pengawasan terhadap cultivated lands; 5. persekutuan bertanggung jawab dalam hal unaccountable delict within the area (misalnya yang bersalah tidak diketahui atau tidak dapat ditangkap); 6. hak ulayat can not be permanently alienated atau tidak dapat dilepaskan untuk selama-lamanya. Uraian di atas, menunjukkan bahwa penentuan karakteristik hak ulayat (das solen) masyarakat atas tanahsangat bergantung kepada: 1. Obyek, dengan tanda-tanda/ciri-ciri khas keberadaan tanah ulayat (Voorkeursrecht) , penguasaan fisik (Ontginningsrecht), pemanfaatan tanah dengan cara memungut hasil (Genon recht); 2. Subyek (Gemeenschapen) yang terdiri dari struktur masyarakat hukum adat didasari hubungan kekerabadan (genologis), prinsip teritorial dan gabungan antara 1 dan 2; dan 3. Struktur Lembaga Hukum Adat dan Perangkat Tatanan Hukum dan Anggota Masyarakat Ada. H.M. Koesnoe menyatakan ada tidaknya hak ulayat dapat dijawab dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Apakah dalam territoir yang bersangkutan ada kelompok yang merupakan suatu kesatuan yang terorganisir? b. Sebagai kelompok yang demikian apakah organisasinya itu diurus oleh pengurus yang ditaati oleh para anggotanya? c. Sejak kapankah kelompok itu ada di dalam lingkungan tanah yang bersangkutan (jelas sudah berapa generasi)? d. Apakah kelompok itu mengikuti suatu tradisi yang homogen dalam kehidupannya, sehingga kelompok itu dapat dikatakan sebagai satu persekutuan hukum? e. Bagaimana menurut tradisinya asal-usul kelompok itu sehingga merupakan suatu kesatuan dalam lingkungan tanahnya? Menentukan keberadaan hak ulayat baik mengenai obyek dan subyeknya, wilayah hukum adat dan penetapan batasnya dalam rangka penataan pertanahan perlu diadakan penelitian mengenai Keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah di Kalimantan. 1.2. Permasalahan Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : 1) Bagaimana menetapkan karakteristik keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Kalimantan 2) Bagaimana mengatur tata laksana administrasi Hak Ulayat atas tanah masyarakat hukum adat Dayak. 3) Bagaimana kearifan lokal masyarakat hukum adat setempat 1.3. Tujuan 1) Untuk menetapkan karakteristik keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Kalimantan 2) Untuk mengatur tata laksana administrasi Hak Ulayat atas tanah masyarakat hukum adat Dayak tersebut. 3) Mengetahui Gambaran kearifan lokal masyarakat adat setempat dalam kehidupan sehari-hari. 1.4. Kegunaan Hasil Penelitian Penelitian ini mempunyai kegunaan/bermanfaat dalam rangka merumuskan peluang dan metode pemetaan hak-hak ulayat masyarakat hukum adat dayak di Kalimantan sebagai dasar bagi Bupati/Walikota atau Gubernur dalam menentukan tanah ulayat masyarakat hukum adat. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Untuk menggali karakteristik keberadaan hak ulayat ditentukan oleh beberapa karakteristik, yang sekaligus merupakan ruang lingkup dari penelitian, sebagai berikut: 1. Karakteristik keberadaan Hak Adat adalah penentuan obyek dan subyek hak adat masyarakat hukum adat tentang struktur masyarakat adat dan lembaga adat, sumber hukum adat, susunan lembaga adat, wilayah pemberlakuan hukum adat dan peradilan atas tanah hak adat masyarakat hukum adat dayak 2. Hak adat Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atau suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidupnya yang meliputi hak untuk untuk memanfaatkan tanah beserta segala isinya. 3. Obyek hak adat masyarakat hukum adat adalah wilayah pemberlakuan hukum adat dan peradilan atas tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang di akui masyarakat dayak 4. Subyek hak adat masyarakat hukum adat adalah masyarakat dan atau lembaga adat yang tunduk pada hukum dan peradilan adat atas tanah hak ulayat dalam ligkup wilayah adat tertentu di suku dayak. 5. Lembaga masyarakat hukum adat adalah struktur organsasi kepemimpinan tradisionil pada wilayah masyarakat hukum adat. 6. Anggota Masyarakat Hukum Adat adalah warga yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidupnya. 7. Wilayah Masyarakat Hukum Adat adalah wilayah teritorial dan atau geneologi warga yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidupnya yang meliputi hak untuk untuk memanfaatakan tanah beserta segala isinya sesuai dengan pertaturan perundang-undangan. 8. Tatanan Hukum Adat adalah hukum adat dalam wilayah masyarakat hukum adat tertentu yang dipatuhi, ditaati dan mengikat dan mengikat pada adat masyarakat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya. 9. Bagaimana mensinergikan antara hukum adat masyarakat yang merupakan salah satu pendukung berlakunya hukum tanah nasional dan peraturan perundang-undangan yang lain BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah suku-suku di Pulau Kalimantan Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan. Kelompok Suku Dayak, terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka. Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan. Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni: Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Ot Danum-Ngaju, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Rumpun Dayak Punan merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami pulau Kalimantan, sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil asimilasi antara Dayak punan dan kelompok Proto Melayu (moyang Dayak yang berasal dari Yunnan). Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub-etnis. Meskipun terbagi dalam ratusan sub-etnis, semua etnis Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu apakah suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak atau tidak. Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit, beliong (kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata pencaharian (sistem perladangan), dan seni tari. Perkampungan Dayak rumpun Ot Danum-Ngaju biasanya disebut lewu/lebu dan pada Dayak lain sering disebutbanua/benua/binua/benuo. Di kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau dua suku Dayak yang berbeda . Berdasarkan kajian lingusitik yang sempat dilakukan di pulau Kalimantan oleh Daryona dapat dikategorikan bahwa persebaran sub suku dayak meliputi Language Families: G - Greater Barito, L - Land Dayak, M - Malayic, N - North Borneo, S - South Sulawesi, persebarannya menarik dikaji dimana setiap subsuku memiliki kharakteristik yang berbeda disisi lain secara dialektika linguistik ditemukan adanya padanan kata yang mirip meski pengucapan dan maknanya sudah berbeda untuk lebih jelas lihat peta bahasa berikut: Hukum Adat di negara kita oleh segolongan orang masih kurang mendapat penghargaan, jika di bandingkan dengan Hukum Barat. Sementara orang menganggap Hukum Adat itu sudah ketinggalan zaman. Hal ini mengingatkan bahwa Hukum Adat merupakan hukum masyarakat yang tumbuh dan berkembang secara turun menurun. Dasar berlakunya Hukum Adat yang merupakan salah satu sumber Hukum Nasional tersebut adalah sebagai berikut: 1. Undang-undang Dasar 1945 pasal 18b (2) “Negara mengakui kesatuan-kesatuan masyarakat Hukum Adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. 2. Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut, memang tidak menyebut tentang Hukum Adat. Akan tetapi menurut pasal 17 ayat 2 Undang-undan Nomor 19 tahun 1964 serta sesuai dengan penjelasan pasal 10 telah menyatakan adanya hukum yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Maka hukum yang tidak tertulis disini mempunyai arti adalah Hukum Adat. Selain pasal diatas, walaupun telah dicabut sekarang dan diganti dengan Undang-undang nomor 14 tahun 1970 dalam penjelasan umum bagian 7, telah menyebutkan pula Hukum Adat yang tidak tertulis yang maksudnya adalah Hukum Adat Salah satu inti dari Hukum Adat adalah Hukum Tanah Adat, oleh karenanya bahan Hukum Tanah Adat perlu diperkaya dengan penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan, untuk mengetahui apakah dari berbagai sistem dan asas hukum Tanah Adat yang ada di Indonesia ini dapat dicari titik temu dan kesesuaiannya dengan kesadaran Hukum Nasional. Hukum Adat sebenarnya meliputi aturan hukum yang bertalian dengan proses dari abad ke abad. Satu hal yang sangat menarik perhatian keanekaragaman dari satu suku terhadap suku lainnya. Hukum Tanah Adat sebagai bagian dari Hukum Adat mengalami beberapa perkembangan sehingga sering timbul masalah karena adanya perbedaan pendapat atau adanya persengketaan mengenai Tanah Adat. Persengketaan biasanya terjadi diantara sesama masyarakat Hukum Adat ataupun antara masyarakat Hukum Adat dengan pihak perusahaan. Pendapat dari Prof.Van Vollenhoven, apabila kita kaji dapat diambil kesimpulan bahwa fungsi (kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas) hak ulayat atau adat atas tanah tampak adanya 2 fungsi yaitu : 1. Fungsi kedalam daerah-daerah persekutuan hukum dapat penjelmaannya antara lain : • Anggota-anggota persekutuan hukum mempunyai hak-hak tertentu atas objek hak ulayat yaitu : • Hak atas tanah : hak membuka tanah, hak memungut hasil, mendirikan tempat tinggal, hak mengembala. • Hak atas air : memakai air, menangkap ikan dan lain-lain • Hak atas hutan : hak berburu, hak-hak mengambil hutan dan sebagainya. • Kembalinya hak ulayat atas tanah-tanah dalam hal pemiliknya pergi tak tentu rimbanya, meninggal tanpa waris atau tandatanda membuka tanah telah punah. • Persekutuan menyediakan tanah untuk keperluan persekutuan umpamanya tanah perkuburan, jembatan dan lainnya. • Bantuan kepada persekutuan dalam hal transaksi-transaksi tanah dalam hal ini dapat dikatakan kepada persekutuan bertindak sebagai pengatur. 2. Fungsi ke luar daerah-daerah persekutuan hukum tampak penjelmaannya antara lain: • melarang untuk membeli atau menerima gadai tanah (terutama dimana tanah ulayat itu masih kuat) • Untuk mendapat hak memungut hasil atas tanah memerlukan izin serta membayar restribusi. • Tanggung jawab persekutuan atas reaksi adat, dalam hal-hal terjadinya suatu delik dalam wilayahnya yang sipembuatnya tidak diketahui. Dalam persoalan menyangkut kepemilikan hak atas tanah tersebut, seringkali pula terjadi sengketa tanah. Untuk pola penyelesaian sengketa tanah tersebut ada beberapa mekanisme yang beranjak dari kearifan kultural yang mengedepankan aspek kekeluargaan. 2.2. Masyarakat (Hukum) Adat di Indonesia : Suatu Konsepsi Masyarakat adat merupakan unsur esensial masyarakat nasional dalam lingkup negara Republik Indonesia. Merupakan bagian dari keberadaan Indonesia sebagai bangsa. Indonesia sebagai bangsa yang majemuk (plural) terdiri atas ratusan suku bangsa, bahasa, dan lingkungan masyarakat adat yang tersebar di ribuan pulau besar dan kecil. Pada sebaran pulau besar dan kecil inilah hidup masyarakat adat yang memiliki norma hukum tersendiri. Masyarakat adat yang merupakan lingkungan masyarakat yang masih sederhana dan melekat dengan alam menjadi bagian penting dari keberadaan bangsa Indonesia di samping masyarakat perkotaan yang telah memiliki teknologi tinggi . Sandra Moniaga dengan kritis menyebutkanIstilah masyarakat adat tidaklah populer di Indonesia, orang lebih sering menyebut masyarakat adat sebagai masyarakat terasing, suku terpencil, masyarakat hukum adat, orang asli, peladang berpindah, peladang liar atau bahkan yang lebih ekstrem ialah sebagai penghambat pembangunan. Hal ini berbeda jika pada tingkat lokal mereka menyebut dirinya dan dikenal oleh masyarakat sekitarnya sesuai nama suku mereka masing-masing. Istilah ini populer sejak beberapa aktivis Ornop dan masyarakat melakukan sebuah pertemuan yang diorganisir oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di Tanah Toraja pada tahun 1993. Pertemuan menyepakati sebutan masyarakat adat sebagai terjemahan dari indigenous peoples. Pertemuan ini menyebutkan masyarakat adat adalah : “kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur secara turun-temurun di wilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri”. Sejak itu, dalam perkembangannya, istilah ini menjadi sebutan baku di dalam percakapan Ornop Indonesia. Bahkan telah diterima luas oleh kelompok kelompok masyarakat yang diberi cap sebagai masyarakat adat sendiri. Lebih lanjut menurutnya penyebutan masyarakat adat masih harus dipahami dari dua segi. Pertama, sebutan ini merupakan suatu abstraksi yang bersifat umum karena berbagai komunitas masyarakat adat sendiri tidak akrab dengan istilahini. Masyarakat adat Lindu di Sulawesi Tengah lebih akrab menyebutkan diri mereka dengan To Lindu (Orang Lindu), bukan masyarakat adat Lindu. Sebutan masyarakat adat lebih tepat digunakan dalam komunikasi yang lebih luas. Kedua, sebutan masyarakat adat digunakan sebagai kontra wacana terhadap berbagai sebutan yang penuh dengan prasangka, seperti “suku terasing” atau “masyarakat terasing”, masyarakat terkebelakang, masyarakat primitif, peladang berpindah dan sebagainya. Sebutan-sebutan yang mencerminkan penjajahan pengetahuan, budaya, dan kemudian penjajahan pembangunan. Cornelis van Vollenhoven membagi masyarakat hukum adat (adat rechtsgemeenschappen) di Indonesia ke dalam 19 (sembilan belas) lingkaran hukum (rechtskring), salah satunya yaitu Kalimantan (Tanah Dayak). Tiap-tiap lingkaran hukum tersebut dapat dibagi-bagi dalam kukuban-kukuban hukum (rechtsgouw). Antara kukuban-hukum satu dan lainnya adalah terdapat perbedaan corak hukum adat, tetapi perbedaan itu tidak begitu besar, jika dibandingkan dengan perbedaan antara lingkaran hukum satu dan lainnya. Sementara itu, M. Jaspan dengan menggunakan kriteria bahasa, daerah kebudayaan, dan susunan masyarakat menemukan adanya 49 suku di Sumatera, 7 di Jawa, 73 di Kalimantan, 117 di Sulawesi, 30 di Nusa Tenggara, 41 di Ambon Maluku, dan 49 di Irian Jaya. Dengan ragam masyarakat hukum adat yang begitu kaya maka tidak salah apabila sudah seyogianya pemerintah dan publik luas memberikan perhatian tinggi terhadap masyarakat adat. Pada umumnya konsepsi tentang masyarakat adat dilekatkan dengan penggabungan dari konsep antropologi hukum dan hukum nasional Indonesia. Dalam bukunya Hukum Adat Indonesia, Soerjono Soekanto merujuk rumusan masyarakat hukum adat dari ter Haar dan Hazairin, sebagai berikut: “…geordende gropen van blijvend karakter met eigen bewind en eigen materieel en immaterieel vermogen (terjemahan bebas: …kelompok-kelompok teratur yang sifatnya ajek dengan pemerintahan sendiri yang memiliki benda-benda meteril maupun immaterial)” (B ter Haar Bzn 1950:16). “Masyarakat-masyarakat Hukum Adat seperti desa di Jawa, marga di Sumatera Selatan, nagari di Minangkabau, kuria di Tapabuli, wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatuan-kesatuan kemasyara-katan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya…” (Hazairin 1970:44). Dengan mengutip Soepomo, Soerjono Soekanto kemudian membagi masyarakat-masyarakat adat di Indonesia menjadi beberapa golongan menurut dasar susunannya, yaitu yang berdasarkan pertalian suatu keturunan (geneologi) dan yang berdasar lingkungan (territorial), serta susunan yang didasarkan pada penggabungan dari kedua hal tersebut. Sementara dari bentuknya, masyarakat hukum adat dibagi menjadi tunggal, bertingkat, dan berangkai. Sementara itu secara teroritis, Kusumadi Pudjosewojo membedakan pengertian antara masyarakat hukum dengan masyarakat adat. Menurutnya, masyarakat hukum adalah suatu masyarakat yang menetapkan, terikat, dan tunduk pada tata hukumnya sendiri. Sedangkan masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya dengan rasa solidaritas yang sangat besar di antara para anggotanya, yang memandang bukan anggota masyarakat sebagai anggota luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya. Aliansi Masyarakat adat Nusantara (AMAN) pada Kongres pertamanya di Jakarta tahun 1999 mulai mempopulerkan istilah “Masyarakat hukum adat” yang merupakan arti terjemahan kata “Indigenous People” yang terdapat dalam sejumlah perjanjian internasional, salah satunya adalah Konvensi ILO No.169. Karena dipopulerkan dengan istilah Masyarakat hukum adat, kemudian dalam salinan terjemahan Konvensi ILO 169 bahasa Indonesia, selanjutnya istilah Indigenous People di artikan dengan menggunakan kata masyarakat hukum adat . Pengertian mendalam tentang masyarakat adat perlu dihayati pada dua faktor, yaitu: teritorial dan genealogis yang menjadi dasar pembentukan dan kesinambungan hidup masyarakat hukum adat (Syahmunir, 2005:6). Contoh masyarakat adat yang terikat pokok secara territorial (Dorpsgemeenschap) adalah desa di Jawa dan masyarakat hukum adat yang terikat secara genealogis sekaligus territorial adalah Nagari di Minangkabau (Sumatera Barat). Khususnya Nagari terbentuk dari tatanan masyarakat berdasarkan garis keturunan genealogis matrilineal. Tatanan tersebut dimulai dari paruik yang merupakan keluarga luas yang terdiri dari beberapa keluarga inti, pengembangan paruik-paruik yang menjadi kaum dan gabungan dari kaum-kaum akan menjadi suku (Kurniawarman, 2012: 41). Suku merupakan ikatan pertalian darah (genealogis) yang tidak mesti terikat, dan dibatasi oleh teritorial. Himpunan beberapa suku akan membentuk satu Nagari dalam bentuk satuan organisasi pemukinan (territorial), Menurut Ter Haar, masyarakat adat itu merupakan golongan-golongan masyarakat yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan batin. Golongan-golongan ini mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal, orang-orang segolongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan sebagai hal yang sewajarnya, hal itu merupakan kodrat alam. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mempunyai pikiran akan memungkinkan pembubaran golongan itu. Golongan itu mempunyai pengurus dan harta benda, milik keduniaan dan milik gaib . Pendapat Ter Haar tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut : 1). Kesatuan manusia yang hidup teratur (memiliki tata susunan) ; 2). Menetap di suatu wilayah tertentu; 3). Memiliki pimpinan/penguasa sendiri; 4). Mempunyai harta kekayaan sendiri, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud; 5). Berkumpul dalam jangka waktu yang lama. Pelapor Khusus PBB kepada Sub Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kelompok Minoritas, Martinas Cobo . memberikan batasan masyarakat hukum adat sebagai berikut: Masyarakat hukum adat adalah mereka yang secara historis baik pada masa sebelum invasi ataupun masa penjajahan telah mengelola sebuah wilayah, menganggap diri berbeda dengan kelompok-kelompok masyarakat lain yang ada di wilayahnya atau merupakan bagian dari mereka. Mereka yang terbentuk bukan dari masyarakat pada umumnya ini memutuskan untuk melestarikan, mengembangkan dan mentransfer-nya kepada generasi selanjutnya tentang wilayah dan identitas adat etnisnya sebagai dasar untuk tetap eksis sebagai masyarakat, sesuai dengan pola kebudayaan, lembaga-lembaga sosial, dan sistem hukum mereka sendiri. Sementara Erica Irene Deas, seorang ahli tentang Mekanisme Hak Hak Masyarakat adat, memberikan pengertian lebih komprehensif tentang Masyarakat Hukum Adat, yakni bahwa Masyarakat Hukum Adat dapat dikenali dari sejumlah kriteria yang meliputi: (a) Pekerjaan dan wilayah yang dikerjakannya, (b) secara sukarela melestarikan kekhasan budayanya, (c) mengidentifikasi diri sebagai kelompok yang berbeda dari kelompok lain, dan mendapatkan pengakuan dari kelompok lain, (d) memiliki pengalaman pernah dijajah,dipinggirkan, dikucilkan, atau didiskriminasi . Kemudian Forum Permanen PBB untuk Masyarakat Hukum Adat, mengembangkan definisi masyarakat hukum adat secara modern dengan berbasis pada data sebagai berikut: (a) mengidentifikasi diri sebagai masyarakat hukum adat sebagai individu dan diakui oleh masyarakat sebagai anggotanya, (b) memiliki sejarah yang terhubung baik dengan masa sebelum penjajahan dan setelah pra pemukiman, (c)memiliki hubungan yang kuat dengan sumber daya alam sekitarnya, (d) Memiliki perbedaan sistem ekonomi, sosial, dan politik dengan kelompok pada umumnya, (e) memiliki keyakinan dan budaya yang berbeda, f) memutuskan untuk memilih menggunakan tradisi turun temurun.Masyarakat adat merupakan masyarakat dengan bentuk komunal. Masyarakat komunal merupakan masyarakat di mana segala bidang kehidupan diliputi oleh kebersamaan. Masyarakat adat menunjukkan hubungan yang erat dalam hubungan antarpersonal dan proses interaksi sosial yang terjadi antarmanusia tersebut menimbulkan pola-pola tertentu yang disebut dengan cara (a uniform or customary of behaving within a social group). 2.3. Eksistensi Masyarakat Hukum Adat di Indonesia. Keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia merupakan sebuah hal keniscayaan yang tidak terbantahkan. Van Vollenhoven sebagai pemerhati hukum adat Indonesia pernah memetakan lingkungan hukum adat dalam 19 lingkungan hukum adat Indonesia. R.Z Titahelu , menyatakan diperlukan konsep yang jelas mengenai masyarakat adat, menurutnya secara sederhana dapat dikatakan bahwa masyarakat adat adalah masyarakat yang masih menggunakan hukum adat di dalam pergaulan hidup sehari-hari tidak saja di dalam lapangan keagamaan, akan tetapi juga di dalam lapangan pemerintahan, sosial, ekonomi maupun budaya. Lebih lanjut dikemukakan oleh Titahelu, ada tiga kriteria untuk dapat membantu menetapkan ada tidaknya masyarakat hukum adat yaitu: (1) Adanya sebuah masyarakat yang langsung menyebut dirinya sebagai masyarakat adat; (2) Adanya susunan khas dan turun temurun dalam lingkup sosial maupun pemerintahan masyarakat itu; (3) Adanya wewenang dalam hal penyelenggaraan pemerintahan (umumnya sangat berpengaruh), maupun dalam penyelenggaraan di bidang sosial, politik, budaya maupun ekonomi masyarakat secara keseluruhan di atas wilayah tertentu yang cukup luas bukan sekedar suatu wilayah pemukiman dan sumber kehidupan seadanya. Untuk memastikan adanya masyarakat adat ada 4 (empat) indikator yang menentukannya, yaitu: 1). Adanya satu kesatuan manusia yang teratur; 2). Menetap di suatu daerah tertentu; 3) mempunyaipenguasa; dan 4) mempunyai kekayaan berwujud dan tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang sewajarnya menurut kodrat alam, dan tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu, atau meninggalkannya, dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya. Berdasarkan asal-usulnya masyarakat adat menurut Soepomo dibagi atas dua golongan, yaitu: (1) pertalian keturunan (genealogi) dan (2) lingkungan daerah (teritorial). Menurut Soepomo, ada lima jenis masyarakat hukum adat: 1. Suatu daerah atau kampong yang dipakai sebagai tempat kediaman oleh hanya satu bagian golongan (clandeel). Tidak ada golongan lain yang tinggal dalam daerah itu. Daerah atau kampong-kampong yang berdekatan juga dipakai sebagai tempat tinggal oleh hanya satu bagian klan. Ter Haar menulis bahwa susunan masyarakat semacam itu barangkali terdapat di daerah pedalaman di Pulau-pulau Enggano, Buru, Seram, dan Flores. Di tepi-tepi laut dari pulau-pulau adalah kampong-kampong terbaur yang penduduknya terdiri atas beberapa famili yang telah memisahkan diri dari golongan-golongan (klan) di pedalaman. Terdapat pula pada tepi-tepi laut tersebut penduduk orang-orang Indonesia yang berasal dari seberang lautan. Di daerah pedalaman di Irian Barat adalah klan-klan yang masing-masing mendiami daerah sendiri-sendiri, tetapi dekat tepi laut terdapat beberapa golongan kecil, bernama keret yang berdiri sendiri dan masing-masing mendiami tanah tertentu. Tempat-tempat kediaman para famili tersebut berada dalam daerah kampong yang dikepalai oleh seorang kepala kampong (korano). Kepala kampong ini hanya memiliki sedikit kekuasaan terhadap orang-orang di luar golongannya sendiri. 2. Di Tapanuli terdapat tata susunan rakyat sebagai berikut: bagian-bagian klan (marga) masing-masing mempunyai daerah sendiri; tetapi di dalam daerah tertentu dari suatu marga, di dalam huta-huta yang didirikan oleh marga itu, ada juga terdapat satu atau beberapa marga lain yang masuk menjadi anggota badan persekutuan huta di daerah itu. Marga yang semula mendiami huta-huta di daerah tersebut disebut marga asal, marga raja atau marga tanah, yaitu marga yang menguasai tanah-tanah di dalam daerah itu, sedangkan marga-marga tertentu yang kemudian masuk ke daerah itu disebut marga rakyat. Kedudukan marga rakyat di dalam suatu huta berada di bawah marga raja. Antara marga asal dan marga rakyat ada hubungan perkawinan yang erat. 3. Jenis ketiga dari susunan rakyat yang bersifat genealogi-teritorial kita dapati di Sumba Tengah dan Sumba Timur. Di sana terdapat suatu klan yang mula-mula mendiami suatu daerah yang tertentu dan berkuasa di daerah itu. Namun, kekuasaan itu kemudian dipindahkan kepada klan lain yang masuk ke daerah tersebut dan merebut kekuasaan pemerintah dari klan yang asli itu. Kedua klan itu kemudian berdamai dan bersama-sama, dan merupakan kesatuan badan persekutuan daerah. Kekuasaan pemerintah dipegang oleh klan yang datang kemudian, sedangkan klan yang asli tetap menguasai tanah-tanah di daerah itu sebagai wali tanah. 4. Jenis keempat dari susunan rakyat yang bersifat geneologi-teritorial kita dapati di beberapa nagari di Minangkabau dan di beberapa marga (dorp) di Bengkulu. Di sana tidak ada golongan yang menumpang ataupun golongan yang menguasai tanah, melainkan segala golongan suku yang bertempat tinggal di dalam daerah nagari berkedudukan sama (setingkat) dan bersama-sama merupakan suatu badan persekutuan teritorial (nagari), sedangkan daerah nagari bagi dalam daerah-daerah golongan (daerah suku) di mana tiap-tiap golongan mempunyai daerah sendiri-sendiri. 5. Jenis yang kelima dari susunan rakyat yang bersifat geneologi-teritorial adalah terdapat di nagari-nagari lain di Minangkabau dan pada dusun di daerah Rejang (Bengkulen), di mana dalam satu nagari atau dusun berdiam beberapa bagian klan yang satu sama lain tidak bertalian famili. Seluruh daerah-daerah nagari atau dusun menjadi daerah bersama (yang tidak dibagi-bagi) dan segala bagian-klan pada badan persekutuan nagari (dusun) itu. Dalam perkembangannya, keberadaan masyarakat hukum adat dewasa ini, juga perlu mendapatkan perhatian secara optimal, mengingat bahwa keberadaan masyarakat adat beserta hukum adatnya mengalami degradasi pengakuan. Beberapa aturan hukum yang ada di Indonesia seperti UUPA, serta beberapa perundangan lainnya membatasi eksistensi masyarakat adat beserta hukumnya. Pasal 3 ayat (1) UUPA menyatakan: “mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu, dari masyarakat-masyarakat Hukum adat, sepanjang kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.” Pasal tersebut di atas menunjukkan adanya pengakuan, tetapi sekaligus membatasi pengakuan tersebut. Pada satu sisi keberadaan masyarakat hukum adat diakui, tetapi masyarakat hukum adat juga dibatasi, yaitu dengan adanya klausul “…sepanjang menurut kenyataannya masih ada….” Kalimat tersebut mengandung makna bahwa eksistensi suatu keberadaan masyarakat hukum adat akan diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Pembuat hukum tampaknya melihat bahwa keberadaan masyarakat hukum adat pada suatu saat akan mengalami kepunahan (asumsi kuat), sehingga pada saat tersebut secara hukum masyarakat adat tidak akan diakui keberadaannya. hal ini dapat dilihat dari masuknya investor asing di bidang sumber daya alam yang banyak bersinggungan dengan hak-hak ulayat masyarakat adat. Tak dapat dipungkiri, otonomi daerah yang diberikan oleh pemerintah yang seharusnya memberikan ruang untuk hidup bagi keanekaragaman sosial dan budaya (hukum adat) justru menimbulkan implikasi terjadinya pemusnahan hak-hak yang dimiliki masyarakat adat. oleh sebab itu, hukum nasional yang berlaku sering kali mengabaikan prinsip-prinsip hukum lokal (adat). Eksistensi Masyarakat adat dan hukum adat di Indonesia setidak-tidaknya dapat dilihat dari dua argumen, yaitu: 1. Argumen Sosiologis. Hukum adat sampai saat ini masih relevan untuk dipertahankan sebagai hukum yang berlaku di Indonesia. Hukum adat adalah hukum yang berasal dari budaya asli bangsa Indonesia, ia tumbuh dan berkembang bersama nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Masyarakat berpikir, bertindak dan berbuat sesuai dengan tataran nilai yang membedakan ia dengan masyarakat dengan budaya Barat. Masyarakat Indonesia merupakan pula masyarakat yang majemuk (plural) yang dalam hal ini terdiri atas berbagai macam suku bangsa yang menurut Theodorson diartiakan sebagai berikut: “cultural heterogeneity, with ethnic and order minority group maintaining their identity within a society.” Bentuk masyarakat majemuk menunjukkan bentuk kebudayaan yang heterogen yang dalam hal ini mencirikan identitas tertentu dalam kelompok masyarakat. Bentuk sosiologis masyarakat hukum adat yang majemuk menjadikan hukum yang berlaku tentu saja bersifat majemuk pula, dan hukum yang majemuk tersebut menunjukkan kepribadian asli bangsa Indonesia yang multikultur. Nilai dan kepribadian bangsa Indonesia yang dicerminkan dalam hukum adat telah menunjukkan kesesuaian dan keselarasan. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai konflik yang terjadi pada masyarakat bahwa masyarakat cenderung untuk menggunakan hukum adat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi karena sesuai dengan nilai dan kultur bangsa. 2. Argumen Yuridis. Pengakuan terhadap pemberlakuan hukum adat secara normatif telah diatur sejak dari masa Hindia Belanda dalam Pasal 131 ayat (2) sub b Indische Staatsregering yang menyatakan, bagi golongan bumi putera (pribumi) berlaku hukum adatnya. pada masa kini, pengakuan atas keberlakuan hukum adat secara konstitusional tertuang dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.” Pengakuan secara yuridis terhadap keberlakuan masyarakat hukum adat dalam Amandemen Kedua UUD 1945 menjadikan keberadaan hukum adat di Indonesia semakin kukuh, karena telah dianggap sebagai hak konstitusional warga negara yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat. Keberlakuan hukum adat dengan demikian tidak menjadi hal yang bersifat ambivalen yaitu dalam hal ini mengakui, tetapi pengakuan tersebut secara nyata-nyata dibatasi. Selanjutnya berdasarkan studi kolaboratif antara AMAN , ICRAF dan Forest People Programe pada tahun 2002-2003, menemukan beberapa persoalan penting dalam hal hubungan antara masyarakat adat, khususnya yang terkait dengan tanah dan pengelolaan sumber daya alam, temuan dalam studi tersebut dapat dikelompokan kedalam beberapa bagian: (1) Dalam soal pengakuan oleh Negara terhadap keberadaan masyarakat adat ditekankan perlunya pengakuan atas wilayah adat; (2) Adanya self-governance bagi komunitas-komunitas masyarakat adat, dalam konteks perluasan Otonomi komunitas khususnya berkaitan dengan sistem pemerintahan dan peradilan; (3) Otonomi komunitas ini tetap berada dalam kerangka Negara kesatuan republik Indonesia (4) Perlunya perluasan otonomi dalam beberapa sektor seperti pendidikan yang perlu membert ruang yang lebih luas bagi penerapan sistem pendidikan lokal dengan segala muatan kearifan lokalnya. Memperhatikan temuan-temuan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa konsep teori otonomi dalam prinsip hukum perlindungan hak-hak masyarakat adat, pada hakikatnya juga dapat merunjuk pada pandangan Leopold pospisil yang mengatakan bahwa hukum positif yang baik (dan karenanya efektif) adalah hukum yang sesuai dengan living law yang sebagai inner order dari masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Eigen eirlich mengawali tinjaunnya tentang ‘’the living law’’ hukum dari aspek sejarah dan kebudayaan masyarakat masa lalu mematuhi, aturan-aturan, yang kebiasaan, tradisi dan daya ikat tanpa tertulis tetapi ia hidup dalam masyarakat. Penegasan ini menunjukan bahwa pembentuk hukum (termasuk di dalamnya adalah UU) diwajibkan untuk senantiasa memandang hukum yang hidup didalam masyarakat sebagai referensi utama. Hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, bersumber pada yang dikemukakan oleh von savignij, filsuf aliran hukum historis dengan sebutan volksgeist (jiwa bangsa) yang dimanifestasikan dalam nilai-nilai yang berlaku dan dianut oleh masyarakat bangsa itu sendiri. Jika pandangan ini diterapkan dalam konteks otonomi masyarakat adat di Indonesia, maka volksgeist itu jelas berbeda antara kelompok masyarakat adat yang satu dengan yang lainya. Pencerminan volksgeist ini, tampak jelas dalam hukum adat sebagai perwujudan kristalisasi nilai-nilai kebudayaan (asli) penduduk Indonesia. Dengan demikian, seharusnya pembentukan sistem hukum Indonesia tentu bersumber dari roh otonomi masyarakat adat tersebut. Seiring dengan itu, pandangan von scholten menjadi relevan untuk dijadikan tolok ukur pemikiran hukum di Indonesia. Sebab, hukum bukan sekedar hasil karya logika semata, tetapi juga ada unsur-unsur ruhaniyah yang menentukan kepatuhan masyarak terhadap hukum. Tujuan dari otonomi pada komunitas masyarakat adat, paling tidak dapat dibaca pada keputusan kongres masyarakat adat No: 2/kman/1999 tentang deklarasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), yang antara lain menyatakan: (1) Adat dalam sesuatu yang bersifat luhur dan menjadi landasan kehidupan masyarakat adat yang utama; (2) Adat nusantara ini sangat majemuk, karena itu tidak ada tempat bagi kebijakan Negara yang berlaku seragam bersifat; (3) Jauh sebelum negara berdiri, masyarakat adat di nusantara telah terlebih dahulu mampu mengembangkan suatu system kehidupan sebagaimana yang diinginkan dan dipahami sendiri, oleh sebab itu Negara harus menghormati kedaulatan masyarakat adat, sebab: (a) Masyarakat adat pada dasarnya terdiri dari makhluk manusia, oleh sebab itu warga masyarakat adat juga berhak atas kehidupan yang layak dan pantas menurut nilai-nilai sosial yang berlaku. Untuk itu seluruh tindakan Negara yang keluar dari kepatutan kemanusiaan universal dan tidak sesuai dengan rasa keadilan yang dipahami oleh masyarakat adat harus segera diakhiri; (b) Atas dasar rasa kebersaman senasib sepenanggungan, masyarakat adat nusantara wajib untuk saling bahu membahu demi terwujudnya kehidupan masyarakat adat yang layak dan berdaulat. Dengan demikian, otonomi komunitas yang dimaksud dalam konteks kehidupan masyarakat adat tidak lain adalah agar terciptanya kedaulatan dan kemandirian dalam mengelola suatu sistem kehidupan sebagaimana yang diinginkan dan dipahami sendiri oleh suatu komunitas masyarakat adat. Menurut penelusuran azmi siradjudin , jika ditinjau dari realitas sosial-budaya yang ada di Indonesia, secara garis besar entitas masyarakat adat dapat dikelompokan ke dalam 4 (empat) tipologi: pertama adalah kelompok masyarakat local yang masih kukuh berpegang pada prinsip ‘’pertama bumi’’ dengan sama sekali tidak mengubah cara hidup seperti adat bertani, berpakaian, pola konsumsi, dan lain-lainnya. Bahkan mereka tetap eksis dengan tidak berhubungan dengan pihak luar, dan mereka memilih menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungannya dengan kearifan tradisional mereka, seperti komunitas Kajang di Bulukumba dan Kanekes di Banten. Kedua, adalah masyarakat lokalyang masih ketat dalam memelihara dan menerapkan adat istiadat, tetapi masih membuka ruang yang cukup bagi adanya hubungan komersial dengan pihak luar, kelompok seperti ini bisa dijumpai, pada komunitas Kasepuhan Banten Kidul dan Suku Naga di Jawa Barat; Ketiga, entitas masyarakat adat yang hidup yang tergantung dari alam (hutan, sungai, gunung, laut dan lain-lain), dan mengembangkan sistem pengelolaan sumber daya alam yang unik, tetapi tidak mengembangkan adat yang ketat untuk perumahan maupun pemilihan jenis tanaman, jika dibandingkan dengan masyarakat pada komunitas pertama dan kedua komunitas masyarakat adat yang tergolong dalam tipologi ini antara lain: Dayak Punan di Kalimantan, Pakya dan Lindu di Sulawesi Tengah, Krui di Lampung, Dani di Papua, dan Haruku di Maluku; Keempat, entitas masyarakat adat yang sudah tercerabut dari tatanan pengelolaan sumber daya alam yang asli sebagai akibat dari penjajahan yang telah berkembang ratusan tahun, masuk dalam katagori ini adalah Melayu Deli di Sumtera Utara. Dalam Konteks ini masyarakat dayak di dataran Pulau Kalimantan khususnya Kalimantan Barat merupakan contoh yang relevan tentang tatanan kehidupan masyarakat suku Dayak yang harmonis antara lain karena mereka mengandalkan pola hidup mereka pada hutan, air, dan sungai. Sehingga pemikiran mereka masih menggunakan pola peladang yang yang sebagian masih berpindah-pindah. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat adat dipimpin oleh seorang kepala desa/kepala adat. Segala aktivitas masyarakat hukum desa dipusatkan kepada kepala desa yang menjadi bapak masyarakat desa dan yang dianggap mengetahui segala peraturan-peraturan adat dan hukum adat masyarakat hukum adat yang dipimpinnya itu. Oleh karena itu, aktivitas kepala adat umumnya dapat menjadi 3 (tiga) bidang: (1) Urusan tanah; (2) Penyelenggaraan tata-tertib sosial dan tata tertib hukum supaya kehidupan dalam masyarakat hukum desa berjalan sebagaimana mestinya supaya mencegah adanya pelanggaran hukum (preventif); (3) Usaha yang tergolong penyelenggaraan hukum untuk mengembalikan (memulihkan) tata tertib sosial dan tata-tertib hukum serta keseimbangan (evenwicht) menurut ukuran-ukuran yang bersumber pada pandangan religio-magis (represif). 2.4. Tanah dan Konsepsi Welfare State Menurut konsep negara kesejahteraan, tujuan negara adalah untuk kesejahteraan umum. Negara dipandang hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan bersama kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat tersebut . Pemerintah dalam negara kesejahteraan diberi tugas membangun kesejahteraan umum dalam berbagai lapangan (bestuurzorg) dengan konsekuensi pemberian kemerdekaan kepada administrasi negara dalam perjalanannya . Tugas pemerintah bukan hanya lagi sebagai penjaga malam (nachtwakkersstaat) dan tidak boleh berdiam diri secara pasif, tetapi harus turut serta secara aktif dalam kegiatan masyarakat sehingga kesejahteraan bagi semua orang dapat lebih terjamin . Mengenai negara kesejahteraan ini, Utrecht menyebutkan : Campur tangan pemerintah untuk mengatur kehidupan masyarakat di negara kesejahteraan tidak dapat dipersamakan dengan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa di sebuah monarkhi absolut. Pemerintahan raja-raja yang absolut di Eropa Barat pada abad ke-18 menganut kekuasaan tanpa batas dimana kekuasaan membuat, menjalankan, serta mempertahankan undang-undang berada di bawah satu tangan. Dengan demikian tidak terdapat pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang ada, dan pemerintahan berjalan menurut kemauan yang berkuasa. Sebaliknya, penyelenggaraan tugas-tugas bestuurszorg di negara kesejahteraan mengacu adanya pemisahan diantara ketiga kekuasaan yang ada . Indonesia menetapkan diri sebagai negara kesejahteraan berdasarkan nilai-nilai luhur yang dikandung dan hidup di tengah-tengah masyarakat, walaupun terdapat pendapat yang menyebutkan bahwa negara kesejahteraan Indonesia lebih diwarnai oleh konsep negara Eropa Barat . Rudolf Stammler menyatakan bahwa hukum adalah kebutuhan manusia. Menurut Konrad Zweigert dalam buku Introduction to Comparative Law, hal seperti itu adalah; "the primary task of a legal sistem is to protect the freedom of the individual and safeguard his power of self-determination" . Kerangka pemikiran yang meletakkan gagasan pada kepemilikan tanah oleh negara berawal dari konsep penguasaan untuk kepentingan publik. Menurut pemikiran Aristoteles bahwa mendeskripsikan perbedaan antara ekonomi rumah tangga yang berorientasi kebutuhan dan ekonomi penumpukan harta . Dasarnya Aristoteles menganggap "oikonomia " itu tidak lain dan tidak bukan adalah ekonomi rumah tangga (kepentingan bersama) yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan pokok anggota rumah tangga dan masyarakat secara keseluruhan (koinonia, polis). Ini berarti tujuan utama dari ekonomi yang wajar adalah untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia. Dengan kata lain, harta benda dan tanah dapat dianggap sebagai sarana penunjang hidup untuk digunakan secara praktis. Guna menanggapi pemikiran Aristoteles kemudian Karl Polanyi menulis : “Aristoteles bersikeras pada produksi untuk digunakan, bukan produksi untuk mencapai keuntungan, sebagai inti dari kewajaran berumah tangga. Namun ia berkata bahwa produksi tambahan untuk pasar tidak perlu merusak pemenuhan kebutuhan rumah tangga selama hasil bumi dan ternak diperbanyak untuk bertahan hidup. Hanya orang jenius yang tahu bahwa keuntungan adalah motif untuk menaikkan produksi pasar, dan diperkenankannya uang memberi unsur baru dalam situasi ini. Namun demikian, selama pasar dan uang tetap digunakan hanya sebagai pelengkap untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, prinsip produksi untuk digunakan akan tetap berjalan".Pembedaan dua model ekonomi seperti dikemukakan Aristoteles adalah cikal bakal lahirnya ide penguasaan negara terhadap barang-barang yang digunakan untuk kepentingan umum. Konsep penguasaan negara sangat erat hubungannya dengan ide res publicae yang diwariskan oleh sistem hukum Romawi. Akan tetapi, dewasa ini konsep kepemilikan yang berbasis komunal itu ternyata berkembang secara revolusioner lalu terbelah menjadi konsep imperium versus dominium. Terminoiogi imperium mengindikasikan adanya kapasitas penguasa untuk mengatur penggunaan barang-barang yang dikuasai perorangan; oleh Montesquieu persoalan ini disebut the rule over individual by the prince; kemudian ia mengintrodusir ide penguasaan benda oleh perorangan yang disebut dominium atau the rule over things by the individual . Asas domeinverklaring yang menjadi dasar kebijakan pemerintah Hindia Belanda di bidang Pertanahan termuat dalam Pasal 1 "'Agrarische Besluit" (S. 1870-118) yang terjemahannya sebagai berikut: "Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Ayat (2) dan (3) Agrarische Wet, maka tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan, bahwa tanah itu tanah eigendomnya, adalah domein negara". Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia asas domeinverklaring banyak itinggalkan, dengan asas hak menguasai tanah oleh negara sebagaimana ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. 2.4.1. Negara Kesejahteraan: Implementasi Kebijakan dan Pemberdayaan Masyarakat Negara kesejahteraan atau kebijakan pro-kesejahteraan rakyat penting dikembangkan untuk mengatasi berbagai masalah pembangunan sosial-ekonomi dan meningkatkan kualitas hidup sebagian besar rakyat Indonesia. Tantangan dihadapi tidak sedikit dalam soal ini ditengah berkembangnya liberalisasi ekonomi pasar melanda Indonesia sekarang. Logika ekonomi pasar berkembang mendorong peran negara dalam intervensi ekonomi perlu dikurangi untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Namun, logika pertumbuhan ekonomi ini mendapat penolakan dari logika ekonomi kesejahteraan. Pengurangan peran negara dalam intervensi ekonomi harus dilakukan karena akan mendorong kesenjangan sosial-ekonomi mengingat peningkatan kesejahteraan rakyat tidak bisa sepenuh-nya diserahkan pada bekerjanya ekonomi pasar tetapi harus mendapatkan pengendalian dari negara terhadap ekonomi pasar sedang berlangsung. Dalam garis besarnya, negara kesejahteraan menunjuk pada sebuah model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya. Spicker , misalnya, menyatakan bahwa negara kesejahteraan “… stands for a developed ideal in which welfare is provided comprehensively by the state to the best possible standards.” Di Inggris, konsep welfare state difahami sebagai alternatif terhadap the Poor Law yang kerap menimbulkan stigma, karena hanya ditujukan untuk memberi bantuan bagi orang-orang miskin. Berbeda dengan sistem dalam the Poor Law, negara kesejahteraan difokuskan pada penyelenggaraan sistem perlindungan sosial yang melembaga bagi setiap orang sebagai cerminan dari adanya hak kewarganegaraan (right of citizenship), di satu pihak, dan kewajiban negara (state obligation). Negara kesejahteraan ditujukan untuk menyediakan pelayanan-pelayanan sosial bagi seluruh penduduk – orang tua dan anak-anak, pria dan wanita, kaya dan miskin. sebaik dan sedapat mungkin. Ia berupaya untuk mengintegrasikan sistem sumber dan menyelenggarakan jaringan pelayanan yang dapat memelihara dan meningkatkan kesejahteraan (well-being) warga negara secara adil dan berkelanjutan. Negara kesejahteraan sangat erat kaitannya dengan kebijakan sosial (social policy) yang di banyak negara mencakup strategi dan upaya-upaya pemerintah dalam mening-katkan kesejahteraan warganya, terutama melalui perlindungan sosial (social protection) yang mencakup jaminan sosial (berbentuk bantuan sosial dan asuransi sosial), maupun jaring pengaman sosial (social safety nets). Di Indonesia, konsep kesejahteraan merujuk pada konsep pem-bangunan kesejahteraan sosial, yakni serangkaian aktivitas yang terencana dan melembaga yang ditujukan untuk meningkatkan standar dan kualitas kehidupan manusia. Sebagai sebuah proses untuk meningkatkan kondisi sejahtera, istilah ‘kesejahteraan’ sejatinya tidak perlu pakai kata ‘sosial’ lagi, karena sudah jelas menunjuk pada sektor atau bidang yang termasuk dalam wilayah pembangunan sosial. Sektor ‘pendidikan’ dan ‘kesehatan’ juga termasuk dalam wilayah pembangunan sosial dan tidak memakai embel-embel ‘sosial’ atau ‘manusia’. Di negara lain, istilah yang banyak digunakan adalah ‘welfare’ (kesejahteraan) yang secara konseptual mencakup segenap proses dan aktivitas mensejahterakan warga negara dan menerangkan sistem pelayanan sosial dan skema perlindungan sosial bagi kelompok yang kurang beruntung . Dalam konteks pembangunan nasional, maka pembangunan kesejahteraan dapat didefinisikan sebagai segenap kebijakan dan program yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan civil society untuk mengatasi masalah sosial dan memenuhi kebutuhan manusia. Meskipun pembangunan kesejahteraan dirancang guna memenuhi kebutuhan publik yang luas, target utamanya terpenuhinya kebutuhan hidup yang paling mendasar. Fungsi dan peran utama pembangunan kesejahteraan adalah: (1) Mendorong investasi sosial (social investment) melalui penyiapan dan penyediaan SDM atau angkatan kerja yang berkualitas; (2) Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui kebijakan dan pelayanan sosial yang berdampak langsung pada peningkatan keberdayaan rakyat dalam mengakses sumber dan pelayanan sosial, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. (3) Mempertegas peran dan mandat ‘kewajiban negara’ (state obligation) dalam mewujudkan kemerataan kehidupan secara nyata melalui sistem perlindungan sosial . Dalam otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki peran yang menentukan dalam mewujudkan kesejahteraan. Karena Pemerintah daerah memiliki potensi yang sangat besar untuk mempengaruhi kemiskinan, melalui regulasi dan kebijaknnya. Tetapi mereka sering kesulitan dalam menentukan prioritas, menetapkan strategi dan mengambil tindakan. Hal tersebut dipengaruhi oleh kerangka hukum yang disediakan oleh proses desentralisasi, sumber daya yang tersedia dan keputusan yang dibuat untuk menggunakan hak-hak dan sumber daya tersebut. 2.4.2. Pemberdayaan Masyarakat Adat. Secara etimologis pemberdayaan berasal pada kata dasar “daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu ”proses” menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh daya/kekuatan/kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya . Pengertian “proses” menunjuk pada serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan secara kronologis sistematis yang men-cerminkan pentahapan upaya mengubah masyarakat yang kurang atau belum berdaya menuju keberdayaan. Proses akan merujuk pada suatu tindakan nyata yang dilakukan secara bertahap untuk mengubah kondisi masyarakat yang lemah, baik knowledge, attitude, maupun practice (KAP) menuju pada penguasaan pengetahuan, sikap-perilaku sadar dan keca-kapan-ketrampilan yang baik . Makna “memperoleh” daya/kekuatan/kemampuan menunjuk pada sumber inisiatif dalam rangka mendapatkan atau meningkatkan daya, kekuatan atau kemampuan sehingga memiliki keberdayaan. Kata “memperoleh” mengindikasikan bahwa yang menjadi sumber inisiatif untuk berdaya berasal dari masyarakat itu sendiri. Dengan demikian masyarakat yang mencari, mengusahakan, melakukan, menciptakan situasi atau meminta kepada pihak lain untuk memberikan daya/kekuatan/ kemampuan. Iklim seperti ini hanya akan tercipta jika masyarakat tersebut menyadari ketidakmampuan/ketidak-berdayaan/tidak adanya kekuatan, dan sekaligus disertai dengan kesadaran akan perlunya memperoleh daya/kemampuan/kekuatan . Makna kata “pemberian” menunjukkan bahwa sumber inisiatif bukan dari masyarakat. Inisiatif untuk mengalihkan daya/kemampuan/ kekuatan adalah pihak lain yang memiliki kekuatan dan kemampuan, misalnya pemerintah atau agen-agen pembangunan lain. Senada dengan pengertian ini Prijono & Pranarka menyatakan bahwa; pemberdayaan mengandung dua arti. Pengertian yang pertama adalah to give power or authority , pengertian kedua to give ability to or enable . Pemaknaan pengertian pertama meliputi memberikan kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas kepada pihak yang kurang/belum berdaya. Di sisi lain pemaknaan pengertian kedua adalah memberikan kemampuan atau keberdayaan serta memberikan peluang kepada pihak lain untuk melakukan sesuatu. Dalam konteks tersebut, ketidak-berdayaan dapat dimaknai sebagai penyebab utama ketidak-mampuan untuk melakukan sesuatu. Untuk itu agar mampu melakukan sesuatu, maka mutlak perlu dilakukan pemberdayaan. Pemberdayaan itu tentu saja diarahkan kepada mereka yang lemah. Dari sisi filosofis, gagasan kesederajatan dalam hukum sebenarnya berangkat dari fakta bahwa yang kuat selalu menindas yang lemah, hukum rimba yang berlangsung berdasarkan arus “kuat lemah”. Kesederajatan di depan hukum menghendaki dihentikannya arus “kuat-lemah” itu dan sebagai gantinya adalah hukum yang menjamin bahwa yang lemah tidak begitu saja dapat dipaksa mengikuti maunya orang kuat. Terhadap yang lemah, harus diberi pelakuan khusus agar sederajat dengan pihak yang kuat. Harus ada equality of arms dalam hubungan sosial. Fairness hanya mungkin tercipta jika ada equality of arms. Selanjutnya terkait dengan pemberdayaan desa, pada umumnya tidak ada keseragaman makna, karena sesungguhnya pemberdayaan dipahami sangat berbeda menurut cara pandang orang maupun konteks kelembagaan, politik, dan sosial-budayanya. Ada yang memahami pemberdayaan sebagai proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan. Ada pula pihak lain yang menegaskan bahwa pemberdayaan adalah proses memfasilitasi warga masyarakat secara bersama-sama pada sebuah kepentingan bersama atau urusan yang secara kolektif dapat mengidentifikasi sasaran, mengumpulkan sumber daya, mengerahkan suatu kampanye aksi dan oleh karena itu membantu menyusun kembali kekuatan dalam komunitas. Pemberdayaan memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan desa ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui penetapan kebijakan, program dan kegiatan sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat. Desa yang otonom memberikan ruang gerak yang luas dalam perencanaan pembangunan sebagai kebutuhan nyata masyarakat dan tidak banyak dibebani oleh program kerja dari dinas atau instansi pemerintah. Jika otonomi desa dapat terwujud, maka tidak perlu terjadi urbanisasi tenaga potensial ke kota, karena desa mampu menyediakan lapangan kerja yang cukup dan menyusun rencana strategis pengembangan sumber daya alam dan manusia secara terpadu. Untuk melakukannya diperlukan peningkatan kapasitas dan konsistensi kebijakan yang memberikan wewenang kepada desa untuk mengatur kebutuhannya. Langkah pertama yang perlu dilakukan dengan mengidentifikasi potensi dan sumber daya yang ada. Terkait dengan pemberdayaan masyarakat, Sutoro Eko memahami pemberdayaan (masyarakat adat) dengan beberapa cara pandang. Pertama, pemberdayaan dimaknai dalam konteks menempatkan posisi berdiri masyarakat. Posisi masyarakat bukanlah obyek penerima manfaat (beneficiaries) yang tergantung pada pemberian dari pihak luar seperti pemerintah, melainkan dalam posisi sebagai subyek (agen atau partisipan yang bertindak) yang berbuat secara mandiri. Berbuat secara mandiri bukan berarti lepas dari tanggungjawab negara. Pemberian layanan publik (kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi dan seterusnya) kepada masyarakat tentu merupakan tugas (kewajiban) negara secara given. Masyarakat yang mandiri sebagai partisipan berarti terbukanya ruang dan kapasitas mengembangkan potensi-kreasi, mengontrol lingkungan dan sumberdayanya sendiri, menyelesaikan masalah secara mandiri, dan ikut menentukan proses politik di ranah negara. Masyarakat ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan dan pemerintahan.Kedua, pemberdayaan secara prinsipil berurusan dengan upaya memenuhi kebutuhan (needs) masyarakat. Banyak orang berargumen bahwa masyarakat akar rumput sebenarnya tidak membutuhkan hal-hal yang utopis (ngayawara) seperti demokrasi, desentralisasi, good governance, otonomi daerah, masyarakat sipil, dan seterusnya. “Apa betul masyarakat desa butuh demokrasi dan otonomi desa, masyarakat itu hanya butuh pemenuhan sandang, pangan dan papan (SPP). Ini yang paling dasar. Tidak ada gunanya bicara demokrasi kalau rakyat masih miskin”, demikian tutur seseorang yang mengaku sering berinteraksi dengan warga desa. Pendapat ini masuk akal, tetapi sangat dangkal. Mungkin kebutuhan SPP itu akan selesai kalau terdapat uang yang banyak. Tetapi persoalannya sumberdaya untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat itu sangat langka (scarcity) dan terbatas (constrain). Masyarakat tidak mudah bisa akses pada sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan SPP. Karena itu, pemberdayaan adalah sebuah upaya memenuhi kebutuhan masyarakat di tengah-tengah scarcity dan constrain sumberdaya. Bagaimanapun juga berbagai sumber-daya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat bukan hanya terbatas dan langka, melainkan ada problem struktural (ketimpangan, eksploitasi, dominasi, hegemoni, dll) yang menimbulkan pembagian sumber-daya secara tidak merata. Dari sisi negara, dibutuhkan kebijakan dan program yang memadai, canggih, pro-poor untuk mengelola sumberdaya yang terbatas itu. Dari sisi masyarakat, seperti akan saya elaborasi kemudian, membutuhkan partisipasi (voice, akses, ownership dan kontrol) dalam proses kebijakan dan pengelolaan sumberdaya. Ketiga, pemberdayaan terbentang dari proses sampai visi ideal. Dari sisi proses, masyarakat sebagai subyek melakukan tindakan atau gerakan secara kolektif mengembangkan potensi-kreasi, memperkuat posisi tawar, dan meraih kedaulatan. Dari sisi visi ideal, proses tersebut hendak men-capai suatu kondisi dimana masyarakat mempunyai kemampuan dan kemandirian melakukan voice, akses dan kontrol terhadap lingkungan, komunitas, sumberdaya dan relasi sosial-politik dengan negara. Proses untuk mencapai visi ideal tersebut harus tumbuh dari bawah dan dari dalam masyarakat sendiri. Namun, masalahnya, dalam kondisi struktural yang timpang masyarakat sulit sekali membangun kekuatan dari dalam dan dari bawah, sehingga membutuhkan “intervensi” dari luar. Hadirnya pihak luar (pemerintah, LSM, organisasi masyarakat sipil, organisasi agama, perguruan tinggi, dan lain-lain) ke komunitas bukanlah mendikte, meng-gurui, atau menentukan, melainkan bertindak sebagai fasilitator (katali-sator) yang memudahkan, menggerakkan, mengorganisir, meng-hubungkan, memberi ruang, mendorong, membangkitkan dan seterusnya. Hubungan antara komunitas dengan pihak luar itu bersifat setara, saling percaya, saling menghormati, terbuka, serta saling belajar untuk tumbuh berkembang secara bersama-sama. Keempat, pemberdayaan terbentang dari level psikologis-personal (anggota masyarakat) sampai ke level struktural masyarakat secara kolektif. Pemberdayaan psikologis-personal berarti mengembangkan pengetahuan, wawasan, harga diri, kemampuan, kompetensi, motivasi, kreasi, dan kontrol diri individu. Pemberdayaan struktural-personal berarti membangkitkan kesadaran kritis individu terhadap struktur sosial-politik yang timpang serta kapasitas individu untuk menganalisis lingkungan kehidupan yang mempengaruhi dirinya. Pemberdayaan psikologis-masyarakat berarti me-numbuhkan rasa memiliki, gotong rotong, mutual trust, kemitraan, keber-samaan, solidaritas sosial dan visi kolektif masyarakat. Sedangkan pemberdayaan struktural-masyarakat berarti mengorganisir masyarakat untuk tindakan kolektif serta penguatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan pemerintahan. Dalam proses pemberdayaan perlu dilakukan dengan sangat cermat, karena setiap tatanan memiliki karakteristik tersendiri, sehingga tidak semua strategi yang berasal dan luar tatanan akan efektif, bahkan dalam banyak hal tidak jarang bersifat kontraproduktif. Komponen tatanan adalah sesuatu yang sifatnya sangat tergantung pada nilai, kelembagaan, dan bahkan dengan aspek sosial budaya, sehingga aspek-aspek itu seyogyanya tidak dirubah sertamerta meskipun strategi tersebut hasilnya di lain tempat cukup efektif. Oleh karena itu yang diperlukan dalam proses pemberdayaan adalah penyesuaian, budaya, dan kelembagaan melalui reintrepretasi, reaktualisasi, dan transformasi. Pemberdayaan memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan desa ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui penetapan kebijakan, program dan kegiatan sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat. Desa yang otonom memberikan ruang gerak yang luas dalam perencanaan pembangunan sebagai kebutuhan nyata masyarakat dan tidak banyak dibebani oleh program kerja dari dinas atau instansi pemerintah. Jika otonomi desa dapat terwujud, maka tidak perlu terjadi urbanisasi tenaga potensial ke kota, karena desa mampu menyediakan lapangan kerja yang cukup dan menyusun rencana strategis pengembangan sumber daya alam dan manusia secara terpadu. Untuk melakukannya diperlukan peningkatan kapasitas dan konsistensi kebijakan yang memberikan wewenang kepada desa untuk mengatur kebutuhannya. Langkah pertama yang perlu dilakukan dengan mengidentifikasi potensi dan sumber daya yang ada. Upaya pemberdayaan dapat mempercepat proses penyiapan masyarakat. Dalam perkembangan telah terjadi pergeseran paradigma dalam pembangunan masyarakat, tentunya termasuk juga masyarakat adat, seperti tampak dalam ragaan dibawah: Tabel 1. Pergeseran Paradigma Dalam Pembangunan Masyarakat Fokus pada pertumbuhan ekonomi Pertumbuhan yang berkualitas dan berkelanjutan. Redistribusi oleh negara Proses keterlibatan warga yang marginal. Otoritarianisme ditolerir sebagai harga yang harus dibaya Menonjolkan nilai-nilai kebebasan, otonomi, harga diri, dll. Negara memberi subsidi pada pengusaha kecil Negara membuat lingkungan yang Memungkinkan Negara menyedian layanan ketahanan sosial Pengembangan institusi lokal untuk ketahanan sosial Transfer teknologi dari negara maju Penghargaan terhadap kearifan dan teknologi lokal; pengembangan teknologi secara partisipatoris Transfer aset-aset berharga pada negara maju Penguatan institusi untuk melindungi aset komunitas miskin. Pembangunan nyata: diukur dari nilai ekonomis oleh pemerintah Pembangunan adalah proses ultidimensi dansering tidak nyata dirumuskan oleh rakyat. Sektoral Menyeluruh Organisasi hirarkhis untuk melak-sanakan proyek Organisasi belajar non-hirarkis Peran negara: produser, penyelenggara, pengatur dan konsumen terbesar Peran negara: menciptakan kerangka legal yang kondusif, membagi kekuasaan,mendorong tumbuhnya institusi-institusi masyarakat. Sumber: diadaptasi dari A. Shepherd, Sustainable Rural Development (London: Macmillan Press, 1998), hal. 17. 2.5. Pendekatan Teori Konflik Atas Tanah Masyarakat Adat Menurut Sultan Takdir Alisjahbana, konflik adalah perbedaan pendapat dan pandangan di antara kelompok-kelompok masyarakat yang akan mencapai nilai yang sama ; sedangkan Luthan, F . menyatakan konflik merupakan ketidaksesuaian nilai atau tujuan antara anggota organisasi, dikemukakannya bahwa:"Conflict has been defined as the condition of objective incompatibility between values or goal, as the behaviour of deliberately interfering with another's goal achievement, and emotionally in term of hostility". ("Konflik didefinisikan sebagai kondisi ketidaksesuaian secara objektif antara nilai-nilai dengan tujuan, sebagai perilaku yang secara sengaja ikut campur tangan terhadap pencapaian tujuan orang lain, dan secara emosional dalam pengertian permusuhan"). Beberapa teori dalam penyelesaian konflik, yaitu: 1. Teori fungsional struktural (Integration approach, order approach, equilibrium approach ). Sudut pendekatan fungsional struktural ini menyatakan bahwa masyarakat pada dasarnya terintegrasi di atas dasar kata sepakat para anggotanya atas nilai-nilai kemasyarakatan tertentu, suatu general agreements yang memiliki daya mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara para anggota masyarakat. la memandang masyarakat sebagai suatu sistem equilibrium; karena sifat yang demikian maka aliran pemikiran tersebut disebut integration approach, order approach, equilibrium approach, atau dengan lebih populer disebut structural-functional approach. Teori ini dikuatkan Plato, Augus Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim, Bronislaw Malinowski, Redcliffe Brown, dan Talcott Parsons. Pendekatan fungsionalisme struktural yang dikembangkan Parsons dan para pengikutnya sebagai berikut: a. masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem daripada bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain; b. dengan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi diantara bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal balik; c. sekalipun integrasi soal tersebut tidak pemah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak kearah equilibrium yang bersifat dinamis, menanggapi perubahan-perubahan yang datang dari luar dengan kecendrungan memelihara agar perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem sebagai akibatnya hanya akan mencapai derajat yang minimal; d. sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan, dan penyimpangan senantiasa terjadi juga, akan tetapi di dalam jangka panjang keadaan tersebut pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses institusionalisasi; artinya, sekalipun integrasi sosial pada tingkatnya yang sempurna tidak akan pernah tercapai, akan tetapi setiap sistem sosial akan senantiasa berproses kearah sana; e. perubahan-perubahan di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual, melalui penyesuaian-penyesuaian, dan tidak secara revolusioner. Perubahan unsur sosial budaya yang menjadi bangunan dasarnya tidak seberapa mengalami perubahan; f. pada dasarnya, perubahan-perubahan sosial timbul atau terjadi melalui tiga macam kemungkinan yaitu: penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh sistem sosial tersebut (extra sistemix change), pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan fungsional; serta penemuan-penemuan baru oleh anggota-anggota masyarakat; g. faktor paling penting yang memiliki daya mengintegrasikan suatu sistem sosial adalah konsensus diantara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu. Di dalam setiap masyarakat, menurut pandangan fungsionalisme struktural, selalu terdapat tujuan-tujuan atau prinsip-prinsip dasar tertentu dimana sebagian besar anggota masyarakat menganggap, serta menerimanya sebagai sesuatu hal yang mutlak benar . 2. Teori Pendekatan Konflik, menurut teori konflik strukturalis-non marxist yang diketengahkan oleh Ralf Dahrendorf, didasarkan pada anggapan-anggapan sebagai berikut : a. Setiap masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir, atau dengan perkataan lain, perubahan sosial merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat. b. Setiap masyarakat mengandung sengketa-sengketa di dalam dirinya, atau dengan kata lain, sengketa adalah merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat. c. Setiap unsur di dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial. d. Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orang-orang yang lain. Konflik senantiasa melekat dalam setiap masyarakat, beberapa pendekatan untuk menganalisis konflik adalah: 1. Pendekatan ketahanan sosial (Social Resilence) . Pendekatan ini dilakukan sebagai upaya-upaya untuk menyadarkan masyarakat melalui proses-proses pembelajaran maupun pemberdayaan. Penguatan civil/society merupakan kunci dalam hal ini. Pendekatan ketahanan nasional menindentifikasikan bahwa masyarakat tidak mudah memakai isu-isu yang belum jelas, dengan pendekatan ini diasumsikan bahwa dalam masyarakat ada kemampuan internal untuk mengatasi (potensi konflik maupun perselisihan). 2. Pendekatan kesejahteraan (Social Prosperity) Pendekatan kesejahteraan menyatakan konflik terjadi akibat dari adanya kemiskinan. Kemiskinan ini selanjutnya memicu sejumlah potensi kerawanan sosial, oleh karena itu kesejahteraan yang baik diasumsikan dapat mengeliminir konflik. 3. Pendekatan keamanan (Security) Pendekatan keamanan mengindikasikan adanya tindakan-tindakan represif terhadap adanya setiap bentuk konflik; dengan pendekatan keamanan, negara diasumsikan memiliki hak untuk melakukan pencegahan ataupun meredam konflik, ini dicapai dengan melibatkan alat-alat keamanan negara. 4. Pendekatan Asimilatif Pendekatan asimiliasi bertujuan untuk mengaburkan identitas lama dan sebaliknya membentuk identitas baru. Konflik dipicu oleh perbedaan-perbedaan identitas, baik etnik maupun agama. Etnik dan agama merupakan pembentuk identitas yang handal. Sangat sering melahirkan batasan-batasan sosial (social boundaries). Antara "kita" dan "mereka" orang merasa dipaksa untuk memilih kita atau mereka. 5. Pendekatan pembagian kekuasaan (Power Sharing) Konflik politik biasanya dapat terpecahkan dengan melakukan pembagian kekuasaan pada mereka yang terlibat dalam konflik, politik adalah kekuasaan. Pembagian kekuasaan sering menjadi jalan keluar untuk mengakhiri konflik. 6. Pendekatan Hukum Hukum yang diasumsikan dapat menyelesaikan persoalan, justru menimbulkan persoalan ketidakadilan. Hukum pada kenyataannya sering memihak dan sebaliknya tidak memberikan keadilan bagi semua terutama yang miskin. Penegakan hukum adil dan tidak memihak karena dipercaya dapat mencegah konflik atau mengakhiri konflik. Selama hukum tidak bisa memberikan rasa adil, maka konflik akan terus bermunculan. Menurut Daniel S. Lev., Budaya hukum di Indonesia memiliki pola tersendiri dalam penyelesaian sengketa atau konflik karena mempunyai karakteristik tersendiri disebabkan oleh nilai-nilai tertentu. Kompromi dan perdamaian merupakan nilai-nilai yang mendapat dukungan kuat dari masyarakat. Nilai-nilai tersebut cenderung untuk memberikan tekanan pada hubungan-hubungan personal, solidaritas komunal serta penghindaran terhadap sengketa-sengketa. Mempertahankan perdamaian merupakan suatu usaha terpuji sehingga dalam menghadapi konflik terwujud dalam bentuk pemilihan kompromi, pendekatan lunak (soft approach) . Penyelesaian sengketa pada sistem adat tidak didesain mengadili dan memutus tetapi menyelesaikan dengan cara mendamaikan; namun tidak berarti bahwa mekanisme penyelesaian sengketa pada sistem hukum tradisional mengabaikan aspek keadilan. Tujuannya tidak pernah lepas dari tujuan untuk menemukan penyelesaian yang secara bersama diyakini adil sebagai ganjaran atas tindakan pelanggaran yang dilakukan . 2.6 Tanah Sebagai Sumber Daya Alam Tanah merupakan sumber daya alam (SDA) yang penting bagi negara dan menguasai hajat orang banyak karena berkaitan dengan kemaslahatan umum (public utilities) dan pelayanan umum (public services), harus dikuasai negara dan dijalankan oleh pemerintah. Sebab sumber daya alam tersebut harus dapat dinikmati oleh rakyat secara berkeadilan, keterjangkauan, dalam suasana kemakmuran dan kesejahteraan umum yang adil dan merata ;oleh karena itu sudah sewajarnya mengelola tanah untuk kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Selain itu, tanah merupakan sumber daya alam baik hayati maupun non hayati merupakan unsur lingkungan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Pentingnya sumber daya alam secara eksplisit disebutkan dalam Pasal di atas. Pasal ini mengamanatkan bahwa pemanfaatan sumber daya alam harus ditujukan untuk kepentingan rakyat banyak.Politik hukum pertanahan tidak lain adalah kewenangan atau kekuasaan untuk mengatur peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan unsur-unsur agraria yang meliputi: bumi, air dan ruang angkasa (dalam batas-batas tertentu) yang dituangkan dalam kebijakan (policy) yang dalam kenyataannya tertuang pada kaidah-kaidah hukum agraria . Amanat konstitusi di bidang pertanahan menuntut agar politik dan kebijakan pertanahan dapat memberikan kontribusi nyata dalam proses mewujudkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (sila kelima Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945) dan mewujudkan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945). Nilai-nilai dasar ini mensyaratkan dipenuhinya hak rakyat untuk dapat mengakses berbagai sumber kemakmuran, terutama tanah. Tanah adalah sesuatu yang sangat vital bagi sebagian besar rakyat Indonesia yang susunan masyarakat dan perekonomiannya bercorak agraris. Dengan terbukanya akses rakyat kepada tanah dan dengan kuatnya hak rakyat atas tanah, maka kesempatan rakyat untuk memperbaiki sendiri, kesejahteraan sosial-ekonominya akan semakin besar, martabat sosialnya akan meningkat. Hak-hak dasarnya akan terpenuhi. Rasa keadilan rakyat sebagai warga negara akan tercukupi. Harmoni sosial akan tercipta. Kesemuanya ini akan menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Uraian di atas menunjukkan bahwa Indonesia menggunakan konsep negara kesejahteraan karena tujuan negara adalah untuk kesejahteraan umum; dan negara dipandang hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan bersama kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Pemerintah dalam negara kesejahteraan diberi tugas membangun kesejahteraan umum dalam berbagai lapangan (bestuurzorg) dengan konsekuensi pemberian kemerdekaan kepada administrasi negara dalam perjalanannya. Tugas pemerintah bukan hanya lagi sebagai penjaga malam (nachtwakkersstaat) dan tidak boleh berdiam diri secara pasif, tetapi harus turut serta secara aktif dalam kegiatan masyarakat sehingga kesejahteraan bagi semua orang dapat lebih terjamin. TAP MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, 9 November 2001 Pasal 7 menetapkan: “Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia untuk segera melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan melaporkan pelaksanaannya pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawara- tan Rakyat Republik Indonesia”. Kerangka Pikir Penelitian BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini bersifateksplanatoris yang akan menguraikan secara mendalam mengenai karakteristik dan keberadaan masyarakat hukum adat di wilayah Kalimantan menggunakan metode yuridis normatif dengan melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan dan dokumen terkait serta menggunakan pendekatan antropogi untuk mendalami tatanan sosial yang berlaku dalam masyarakat hukum adat tersebut. Untuk mengkaji pokok permasalahan dalam penelitian ini, peneliti mempergunakan metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum empiris sekaligus. Akan tetapi, peneliti akan lebih menitikberatkan penelitian ini pada penelitian hukum normatif, sedangkan penelitian hukum empiris berfungsi sebagai informasi pendukung. Dengan menyesuaikan diri pada ruang lingkup dan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, pendekatan yang bersifat yuridis-normatif tersebut akan dilakukan dengan mempergunakan bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. 3.2. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah Kalimantan yang di indikasikan masih terdapat wilayah yang didiami oleh sekelompok orang yang tetap taat menjalankan kebiasaaan-kebiasaan kelompok sukunya dan mempunyai pemimpin yang disegani dan dihormati oleh masyarakatnya. Penelitian dilaksanakan di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Observasi dan wawancara dilakukan pada 6 (enam) wilayah kabupaten/kota mewakili 7 (tujuh) Masyarakat Hukum Adat lingkungan masyarakat hukum adat dayak, selain itu melakukan berbagai diskusi dengan pihak-pihak yang peneliti anggap memiliki kompetensi dan pengetahuan yang mendalam di bidang hukum adat,hukum pertanahan dan kehutanan. 3.3. Responden 1. Kantor Wilayah : Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Bidang 2. Kantor Pertanahan : Kepala Kantor Pertanahan dan Kepala Seksi 3. Pemerintah Daerah : Asisten Wilayah I dan Bappeda 4. Kanwil Kehutanan Provinsi 5. Dinas Kehutanan Kabupaten 6. Dewan Adat dayak 7. LSM : AMAN, Institut Dayakologi, Institut Borneo, Central Sosial Forestry (universitas Mulawarman 8. Kepala Adat 9. Kepala Desa 3.4. Pengolahan dan analisis data Pengolahan dan Analisis Data dilakukan secara deskriptif kualitatif, pada tahap pengolahan, data yang telah terkumpul dikategorikan dan dikwalifikasikan berdasarkan permasalahan penelitian, selanjutnya disusun secara sistematis sesuai dengan kerangka yang telah disiapkan sebelumnya. Pada tahap analisis, data yang telah dikategorikan dan dikwalifikasi dianalisis dengan mengaitkan data satu dengan data lainnya, yaitu dengan mencocokan, membandingkan, mengelompokan dan verfikasi data agar sebuah fenomena memiliki nilai yuridis, akademis dan ilmiah. Selanjutnya diadakan penafsiran data untuk dapat menghasilkan simpulan tentang permasalahan yang diajukan. Kemudian keseluruhan hasil analisis, selanjutnya disajikan secara deskriptif, yaitu dengan memaparkan secara lengkap segala persoalan yang terkait masalah yang diteliti dengan memberikan usulan dan solusi. Setelah melakukan pengumpulan data dengan teknik tersebut diatas, kemudian dilakukan analisis data untuk kemudian data-data yang ada tersebut dapat disajikan dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan dimengerti. Teknik yang dilakukan oleh peneliti adalah teknik pengujian data dengan menggunakan interaktif model, dimana penelitian ini bersifat siklus. Seperti tampak pada gambar dibawah ini: Gambar 1. Komponen-Komponen Analisis Data: Model Interaktif Mekanismenya meliputi klasifikasi data berdasarkan maksud dantujuan sumber data, yang masih dimungkinkan melebar (kurang jelas), kemudian peneliti mencoba menyusun berdasarkan kesesuaian alur yang telah ditentukan, bila perlu dikolaborasikan oleh argumen penguat oleh pakar atau peneliti yang memiliki kajian sama, langkah terakhir adalag verifikasi yang bertujuan menangkap makna (mean) sesungguhnya guna menjawab rumusan permasalahan. Keuntungan dengan adanya model ini, peneliti dapat melakukan pengujian data secara berulang-ulang untuk memperoleh hasil yang akurat mengingat peneliti adalah peneliti pemula. Sedangkan analisis data dilakukan selama pengumpulan data, untuk menjaga kemungkinan diperlukannya data baru yang dibutuhkan secara tiba-tiba selama penelitian. Analisis bukti (data) terdiri atas pengujian, pengkategorian, pentabulasian, ataupun pengkombinasian kembali bukti-bukti untuk menunjuk proposisi awal suatu penelitian . Ditambahkan oleh Miles dan Huberman dan sesuai dengan model teknik analisis BAB IV DESKRIPSI WILAYAH 4.1. Profil Kalimantan Barat Secara geografis, Propinsi Kalimantan Barat termasuk salah satu propinsi di Indonesia yang berbatasan dan mempunyai jalan darat yang menghubungkan dengan negara asing yaitu negara bagian Serawak, Malaysia Timur. Luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat adalah 146.807 km² (7,53% luas Indonesia). Merupakan provinsi terluas keempat setelah Papua,Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah.Dilihat dari luas menurut Kabupaten/kota, maka yang terbesar adalah Kabupaten Ketapang (35.809 km2 ata 24,39 persen) kemudian diikuti Kapuas Hulu (29.842 km2 atau 20.33 peresen), dan Kabupaten Sintang (21.635 km atau 14,74 persen), sedangkan sisanya tersebar pada 9 (sembilan) kabupaten/kota lainnya. Provinsi Kalimantan Barat terdiri 14 Kota dan kabupaten : No. Kabupaten/Kota Ibu kota 1 Kabupaten Bengkayang Bengkayang 2 Kabupaten Kapuas Hulu Putussibau 3 Kabupaten Kayong Utara Sukadana 4 Kabupaten Ketapang Ketapang 5 Kabupaten Kubu Raya Sungai Raya 6 Kabupaten Landak Ngabang 7 Kabupaten Melawi Nanga Pinoh 8 Kabupaten Pontianak Mempawah 9 Kabupaten Sambas Sambas 10 Kabupaten Sanggau Sanggau 11 Kabupaten Sekadau Sekadau 12 Kabupaten Sintang Sintang 13 Kota Pontianak - 14 Kota Singkawang - Sumber data : BPS tahun 2012 Luas Kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Barat sesuai SK Menhut No.259/Kpts- II/2000 tanggal 23 Agustus 2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Kalimantan Barat adalah seluas 9.178.760 ha, sedangkan luas daratan kawasan hutannya mencapai 8.990.875 ha. Kawasan hutan tersebut meliputi 26,65% kawasan hutan yang ada di Provinsi Kalimantan Barat merupakan Hutan produksi Terbatas, 25,13% hutan lindung, 24,69% hutan produksi tetap, 17,93% hutan konservasi, dan 5,60% merupakan hutan produksi yang dapat dikonversi. Hal ini berarti luas hutan Kalbar sekitar 61,52 persen dari luas seluruh Provinsi Kalimantan Barat yang mencapai 14,6 juta hektar. Dari 9,17 juta hektar hutan Kalbar tersebut, sekitar 3,1 juta hektar atau 34,12 persen sudah tidak berhutan. Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, diamanatkan bahwa hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya, maupun ekonomi secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia baik bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. Perkembangan penyediaan lahan untuk pembangunan non kehutanan (sampai dengan akhir tahun 2012) sebagai berikut : a. Pinjam Pakai Kawasan Hutan seluas 11.889,96 ha b. Tukar Menukar Kawasan seluas 337.688,22 ha c. Pelepasan Kawasan Hutan Untuk Perkebunan seluas 422.342,48 ha d. Adendum areal HPH seluas 65.596,20 ha e. Pelepasan kawasan hutan untuk transmigrasi seluas 7.207,50 ha f. Pemanfaatan kawasan hutan untuk pembangunan IUPHHK-HT seluas 781.415,17 ha g. Perubahan kawasan HPK menjadi HP seluas 15.930 ha Sampel penelitian diambil 3 kabupaten yaitu Kabupaten Bengkayang, Kab.Landak dan Kabupaten Sanggau. 4.1.1 Kabupaten Bengkayang Sebelumnya merupakan pemekaran dari Kabupaten Sambas menjadi 3 daerah otonom yang terpisah, yaitu Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang dan Kota Singkawang. Terdapat 2 (dua) kelurahan dan 17 (tujuh belas) kecamatan, yakni: 1. Bengkayang, meliputi Kelurahan Bumi Emas dan Kelurahan Sebalo 2. Capkala 3. Jagoi Babang 4. Ledo 5. Lembah Bawang 6. Lumar 7. Monterado 8. Samalantan 9. Sanggau Ledo 10. Seluas 11. Siding 12. Sungai Betung 13. Sungai Raya 14. Sungai Raya Kepulauan 15. Suti Semarang 16. Teriak 17. Tujuh Belas Luas wilayah Kabupaten Bengkayang adalah sebesar 5.396,30 km2 atau sekitar 3,68 persen dari total luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Hal ini menjadikan Kabupaten Bengkayang sebagai kabupaten dengan cakupan wilayah terkecil di Kalimantan Barat.Dilihat dari luas masing-masing kecamatan, Jagoi Babang merupakan kecamatan yang paling luas di Kabupaten Bengkayang dengan cakupan wilayah sebesar 655 km2 atau sekitar 12,14 persen dari luas Kabupaten Bengkayang keseluruhan dan kecamatan dengan wilayah terkecil adalah Kecamatan Capkala dengan luas wilayah sebesar 46,35 km2 atau hanya sekitar 0,86 persen dari total luas Kabupaten Bengkayang. Dilihat dari jarak tempuh terjauh dari ibukota kecamatan ke ibukota kabupaten di Kabupaten Bengkayang, Kecamatan Siding adalah kecamatan dengan jarak tempuh terjauh, yaitu sekitar 103,68 km disusul Kecamatan Jagoi Babang dan Kecamatan Sungai Raya. Informasi dari Bapak Agustinus dari Dinas Kehutanan Kabupaten, telah diterbitkan SK Bupati mengenai Kawasan Hutan Adat atau Hutan Yang Dikukuhkan Masyarakat, terdapat 12 Hutan Adat di wilayah Bengkayang , yaitu : a. Hutan Adat Temua, Kecamatan Tujuh Belas, Desa Pisak, Dusun Senggiring, dikukuhkan tahun 2003 b. Hutan Adat Rage Kecamatan Sanggau Ledo, Desa Sango, Dusun Sebalos, dikukuhkan tahun 2003 c. Hutan Adat Gunung Pikul , Kecamatan Seluas, Desa Sahan, Dusun Melayang, dikukuhkan tahun 2003, tahun 2014 ada yang ditebang d. Hutan Adat Gunung Berunai, Kecamatan Jagoi Babang, Desa Jagoi Babang, Dusun Jagoi, dikukuhkan tahun 2004, tahun 2012 ditebang 5 ha untuk kebun sawit e. Hutan Adat Gunung Pajaint, Kecamatan Tujuh Belas, Desa Pisak, Dusun Dawar Baru, dikukuhkan tahun 2004 f. Hutan Adat Gunung Jalo, Kecamatan Teriak, Desa Temiak Sio, dikukuhkan tahun 2009 g. Tanah Adat Semunying Kolam, Kecamatan Jagoi Babang, Desa Semunying Jaya, dikukuhkan tahun 2009, dijadikan kebun sawit PT Ledo Lestari tahun 2011 h. Hutan Adat Sekayuk, Kecamatan Bengkayang, Kelurahan Sebalo, Dusun Rangkang, dikukuhkan tahun 2011 i. Hutan Adat Roman Tuwo, Kecamatan Seluas, Desa Seluas, Dusun Tadan, dikukuhkan tahun 2011 j. Hutan Adat Pelangor, Kecamatan Seluas, Desa Kalon, Dusun Pelangor, dikukuhkan tahun 2012 k. Hutan Adat Tembawang Mangku, Kecamatan Sungai Betung, Desa Cipta Karya, Dusun Ketiat, dikukuhkan tahun 2012 l. Hutan Adat Bumiag/Piwag, Kecamatan Siding, Desa Sebujit, Dusun Sebujit, dikukuhkan tahun 2013 Salah satu dari Hutan Adat di atas berada di kecamatan Jagoi Babang.Kecamatan Jagoi Babang terletak di perbatasan Kalimantan Barat-Serawak (batas sebelah timur, kurang lebih 1 jam ke Kota Serawak). Sebelah utara Kecamatan ini berbatasan dengan Lundu, Sarawak Malaysia, sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Seluas dan kecamatan Siding, sebelah timur berbatasan dengan Serikin, Sarawak Malaysia. Di kecamatan Jagoi Babang terdapat enam desa, yaitu Desa Jagoi, Desa Sekida, Desa Sinar Baru, Desa Semunying Jaya, Desa Kumba, Desa Gersik. Jagoi Babang berjarak 115 km dari Kabupaten Bengkayang atau sekitar 2 jam dari Kantor Pemda Bengkayang. Kecamatan ini terdiri atas 6 Desa dan 14 dusun dengan jumlah KK 1679 dan 6948 jiwa. Desa Jagoi terdiri atas 3 Dusun yaitu Dusun Jagoi Babang, Dusun Risau, dan Dusun Sei-Take (Dusun-dusun ini letaknya bersebelahan). Jumlah KK yaitu 549 KK dengan 2.495 jiwa (1.300 laki-laki dan 1.195 perempuan).Kebanyakan penduduk adalah pedagang, pengrajin anyaman rotan, dan berkebun.Hal yang menjadi ciri khas dari kecamatan ini adalah kerajinan Bidai dan barang-barang yang terbuat dari rotan. Menurut informasi dari Bapak Obaja, suku dayak di kabupaten bengkayang terdiri dari suku dayak iban, bidayuh, banyaduh, kanayatn dan bekati. Subsuku ini termasuk kelompok suku yang cukup dominan.Selanjutnya disebutkan bahwa suku Iban berasal dari distrik Luwantu Badau, Serawak yang masuk ke Indonesia sekitar tahun 1948. Hampir seluruh penduduk Desa Jagoi adalah suku Dayak Bidayuh dan Dayak Iban.Lahan adat suku Dayak Iban seluas 1.420 hektare terletak di Desa Semunying Jaya, bagian dari 28.000 hektare hutan produksi yang sejak 2006 menjadi perkebunan kelapa sawit oleh manajemen PT Ledo Lestari. Dayak Iban di Kabupaten Bengkayang ada di Kecamatan Jagoi Babang dan Seluas.Mereka berpindah dari Sarawak ke Jagoi Babang dan Seluas pada masa pendudukan Jepang di Sarawak tahun 1942.Pada waktu itu, kawasan Sarawak dijadikan Jepang sebagai kem tahanan.Kem tersebut merupakan kem konsentrasi untuk pekerja paksa, tempat penyiksaan, dan kerja rodi.Karena tidak tahan terhadap perilaku orang-orang Jepang yang kejam maka sekelompok orang Iban mengadakan perpindahan secara diam-diam. Mereka kemudian menetap di Kampung Pareh yang terletak di tepi Sungai Sekumba. Sekitar tahun 1975, beberapa keluarga Iban di Kampung Pareh kemudian berpindah ke Kampung Pasir Putih di Seluas dengan alasan agar mudah mencapai tempat untuk sekolah, puskesmas, pasar, dan dapat mengakses sarana transportasi untuk menjangkau daerah-daerah yang jauh. Dayak Iban pada masa lampau selain dikenal sebagai pengayau yang ulung, dan memiliki kebiasaan membuat tato ditubuh, juga memiliki perangai yang lembut dan baik hati.Sikap gotong-royong yang terlihat pada tradisi perladangan yang cenderung membuka lokasi perladangan dalam satu hamparan yang luas, atau pada saat upacara-upacara ritual masih terpelihara dengan baik.Mereka juga masih mempertahankan pola pemukiman hidup di rumah adat betang panjang.Dalam istilah bahasa Iban rumah betang itu disebut rumah panyay.Rumah panjang tersebut merupakan tempat memelihara kekayaan budaya mereka, meskipun kini mereka hidup di alam modern.Suku Dayak Bidayuh adalah salah satu dari tujuh suku besar Dayak di Kalimantan (Murut, Banuaka, Nganju, Iban, Kayan, Ma'anyan, Bidayuh). Sebaran Suku Dayak Bidayuh pada saat ini di sekitar Kecamatan Jagoi Babang dan Kecamatan Siding. Yang membedakan Suku Dayak Bidayuh dengan suku dayak lainnya adalah pada rumah adatnya. Ketika kita mengenal rumah panjang atau rumah betang atau lamin, maka masyarakat Suku Dayak Bidayuh mengenal rumah adat Balug, yaitu sebuah rumah panggung yang berbentuk bulat yang selalu digunakan sebagai tempat untuk mengadakan ritual Nyobeng, yaitu sebuah ritual untuk memandikan tengkorak manusia hasil mengayau nenek moyang mereka, dan ritual tersebut biasa dilaksanakan pada pertengahan bulan Juni setiap tahunnya. Selain suku Iban, Kanayant dan Bidayuh, ada pula suku Bekati mendiami desa ledo, sangau ledo dan seluas. Dari segi etnolinguistik orang Bekati dapat dibagi dalam tiga aksen atau dialek besar, yaitu orang Bekati yang menggunakan bahasa Bekati Riok, Bekati Sara, dan Bekati Lara. Dari segi populasi penutur bahasa Bekati Lara lebih banyak dibanding yang lain. Dalam pergaulan dan berinteraksi di wilayah Banoe, mereka saling mengidentifikasi diri ats perbedaan akses masing-masing.Namun dalam berinteraksi dengan masyarakat luas mereka mengidentifikasi diri sebagai orang Bekati saja. 4.1.2 Kabupaten Landak Kabupaten Landak adalah salah satu wilayah dari hasil pemekaran Kabupaten Pontianak tahun 1999. Ibu kota kabupaten terletak di Ngabang. Kabupaten Landak secara geografis posisinya terdapat di bagian tengah Provinsi Kalimantan Barat dengan luas wilayah 9.909,10 km2 atau 6,75% dari luas keseluruhan provinsi Kalimantan Barat yang terbagi atas 13 kecamatan, yaitu: • Kecamatan Ngabang • Kecamatan Sengah Temila • Kecamatan Menyuke • Kecamatan Menjalin • Kecamatan Mandor • Kecamatan Mempawah Hulu • Kecamatan Meranti • Kecamatan Kuala Behe • Kecamatan Air Besar • Kecamatan Sebangki • Kecamatan Banyuke Hulu • Kecamatan Jelimpo • Kecamatan Sompak Nama Landak disebutkan dengan Landa salah satu kerajaan Hindu di pulau Tanjung Negara (Kalimantan) dalam kakawin Negarakretagama. Namun ada yang berpendapat nama Landak berasal dari Bahasa Belanda yang terbagi menjadi dua suku kata Lan dan Dak, LAN artinya Pulau dan DAK artinya Dayak, oleh sebab itu mayoritas penduduk aslinya adalah Suku Dayak. Mengapa dikatakan demikan bukti konkritnya adalah masih adanya peninggalan rumah Panjang/Betang di Kabupaten Landak sampai saat ini, tepatnya terletak di Desa Saham, Kecamatan Sengah Temila. Sampai saat ini belum ada penetapan hutan adat berdasarkan SK Bupati atau pun Perda. Namun Menurut informasi dari Bapak Paulus dan bapak Edo , telah dilakukan identifikasi wilayah adat di dusun saham, dusun kumpang tengah dan dusun kubu kerekng yang terletak di Binua Sami dua. Penggunaan tanah di Kubu Kerekng terdiri dari : • Radakng (pemukiman) seluas 7,51 ha • Bancah (sawah) seluas 207, 30 ha • Gatah (kebun karet) seluas 516, 88 ha • Rame (bawas) seluas 387, 88 ha • Udas (hutan seluas 1.570,04 ha • Kompokng ( tanaman buah ) seluas 20,16 ha, total seluas 2.709,77 ha Rame adalah pola pengelolaan lahan dalam masyarakat dayak terutama dayak kanayatn , bukit dimana areal bekas pertanian (ladang) dibiarkan sehingga menjadi hutan kembali. Menurut suku Binua sami dua tanda batas wilayah mereka adalah bunyi gong. Selain Binua sami dua, terdapat binua talaga yang terletak di desa aur sampung kecamatan sengah temila yang dipimpin oleh seorang timonggung, timonggung mengepalai 8 dusun yaitu dusun pala, sindur, asong, saong, bekabat, seginah, tembok, paloan, masing-masing dusun tersebut mempunyai pesirah yang mengurus hukum adat, binua ini termasuk dalam sub suku dayak bukit talaga. Dalam wilayah adat/binua talaga sudah ada pemilikan perorangan yaitu sawit mitra. 4.1.3 Kabupaten Sanggau Kabupaten Sanggau yang beribukota di Sanggau memiliki luas wilayah 12.857,70 km2 atau 8,76%, yang terbagi dalam 169 Desa dan 15 Kecamatan, kecamatan tersebut antara lain : • Kecamatan Kapuas • Kecamatan Mukok • Kecamatan Parindu • Kecamatan Tayan Hulu • Kecamatan Tayan Hilir • Kecamatan Batang Tarang • Kecamatan Meliau • Kecamatan Toba • Kecamatan Kembayan • Kecamatan Jangkang • Kecamatan Beduai • Kecamatan Sekayam • Kecamatan Entikong • Kecamatan Noyan • Kecamatan Bonti Menurut informasi dari Staf Dinas kehutanan dan perkebunan pada tahun 2006, Gunung Semaung Sepapan sudah dipetakan oleh Badan Planologi Departemen Kehutanan dan dikeluarkan SK Gubernur mengenai wilayah adat. Masyarakat adat Dayak Hibun di Kecamatan Tayan Hulu, Kabupaten Sanggau memiliki cara sendiri dalam menjaga hutan. Bagi masyarakat subsuku Dayak Hibun, Gunung Semaung-Sepapan mempunyai nilai religius dan dikeramatkan. Menurut mitos, kedua gunung itu merupakan tempat asal usul dari nenek moyang masyarakat adat subsuku Dayak Hibun. Gunung Semaung-Sepapan bisa ditempuh dengan perjalanan darat menggunakan kendaraan roda empat. Dibutuhkan sekitar tujuh jam untuk tiba di kaki gunung tersebut. Kawasan itu masuk wilayah Desa Kedakas dan Desa Pandan Sembuat. Selain itu hasil kegiatan pemetaan dishutbun juga dilakukan di dusun Sanjan, desa Sungai mawang kecamatan Kapuas dan ditemukan hutan adat seluas 238 ha, dan desa kasromego kecamatan Beduai lebih kurang 388 ha. Musyawarah adat pada tingkat dusun dan antardusun telah dilakukan sejak tahun 1985. Musyawarah adat dusun Sanjan Emberas menghasilkan keputusan untuk menetapkan hutan di kawasan Gunung Semaung-Sepapan sebagai hutan tutupan atau hutan lindung. Musyawarah adat ini juga memberi mandat kepada Tumenggung Kepala Adat Dusun Sanjan Emberas, untuk mengurus penetapan hutan di kawasan Gunung Semaung-Sepapan kepada instansi pemerintah. SK Menhutbun No. 259 tahun 2000 tentang penunjukkan kawasan hutan dan perairan di Provinsi Kalimantan Barat menyatakan Bukit Tiong Kandang dilindungi sebagai kawasan hutan lindung , di dalam kawasan terdapat wilayah adat. Wilayah adat desa Tae kecamatan balai batang tarang, terdiri dari 4 dusun yaitu dusun Tae, Padang, Mak Ijing dan Semangkar, dan 8 kampung yaitu tae, trada, padang, pragong, maijing, bangkan, mait, dan semengkar, meliputi 2523 km2. Penggunaan tanah di daerah digunakan untuk kebun karet, sawah, permukiman, dsb. Di wilayah adat ini sudah diterbitkan sertipikat HM hasil Projek Peningkatan Kebun rakyat (PPKR) sebanyak lebih kurang 273 sertipikat. Suku dayak di desa ini adalah Dayak tarangk, subsuku mali, peruwan, benawan, taba, dan keneles. Identifikasi Suku Suku bangsa dominan di Kalimantan Barat, yaitu Suku Melayu dan Suku Dayak. Suku Melayu merupakan kelompok etnis terbesar di Kabupaten Sambas, Pontianak, Ketapang, Kayong Utara, Kubu Raya dan Kota Pontianak, sedangkan Suku Dayak merupakan kelompok etnis terbesar di Kabupaten Bengkayang, Landak, Sanggau, Sintang dan Sekadau.di Kapuas Hulu dan Melawi jumlah Suku Melayu dan Dayak relatif seimbang. Pada umumnya suku Dayak bermukim di pedalaman, sedangkan Suku Melayu bermukim di pantai dan di kota-kota. Seperti suku Melayu Pontianak, Melayu Singkawang, Melayu Mempawah, Melayu Sambas, Melayu Bengkayang, Melayu Sanggau, Melayu Sekadau, Melayu Sintang, Melayu Kapuas Hulu, Melayu Kubu, Melayu Sukadana dan Melayu Ketapang serta Senganan/Haloq (Dayak yang masuk Islam). Sedangkan suku-suku Dayak dan penyebarannya sebagai berikut: Tabel 2. Subsuku Dayak yang ada di Kalimantan Barat berdasarkan hasil penelitian etnolinguistik Institut Dayakologi (2008) No sub Suku No Sub Suku No Sub Suku No Sub Suku No Sub Suku No Sub Suku 1 Angan 26 Ensilat 51 Keneles 76 Mali 101 Pruwan 126 Silatn Muntak 2 Badat 27 Entabang 52 Keninjal 77 Mayan 102 Punan 127 Simpakng 3 Bakati' 28 Gerai 53 Kenyilu 78 Mayau 103 Punti 128 Sisang 4 Balantiatn 29 Gerunggang 54 Kepuas 79 Melahoi 104 Randu' 129 Sontas 5 Banyadu' 30 Golik 55 Kerabat 80 Mentebah 105 Ransa 130 Suaid 6 Banyuke 31 Goneh 56 Keramay 81 Menterap Kabut 106 Rantawan 131 Sum 7 Barai 32 Gun 57 Ketior 82 Menterap Sekado 107 Rembay 132 Suru' 8 Batu Entawa 33 Hibun 58 Ketungau 83 Mentuka' 108 Salako 133 Suruh 9 Baya 34 Iban 59 Ketungau Sesae' 84 Mualang 109 Sami 134 Suti 10 Beginci 35 Inggar Silat 60 Kodatn 85 Muara 110 Sane 135 Taba 11 Behe 36 Jagoi 61 Koman 86 Mudu' 111 Sangku' 136 Tadietn 12 Benawas 37 Jalai 62 Konyeh 87 Nahaya' 112 Sapatoi 137 Tamambalo 13 Bi Somu 38 Jangkang 63 Kowotn 88 Nanga 113 Sawi 138 Taman 14 Bihak 39 Jawatn 64 Krio 89 Nyadupm 114 Sebaru' 139 Taman Sekado 15 Bubung 40 Joka' 65 Kubitn 90 Oruung Da'an 115 Seberuang 140 Tameng 16 Bugau 41 Kalis 66 Lamantawa 91 Panu 116 Sekajang 141 Tawaeq 17 Buket 42 Kanayatn 67 Lau' 92 Pangin 117 Sekapat 142 Tayap 18 Bukit-Talaga 43 Kancinkng 68 Laur 93 Pantu 118 Sekubang 143 Tebang 19 Butok 44 Kantu' 69 Laya 94 Papak 119 Sekujam 144 Tebidah 20 Dait 45 Kayaan 70 Lebang 95 Paus 120 Selawe 145 Tengon 21 Daro 46 Kayan 71 Lemandau 96 Pawatn 121 Selibong 146 Tinying 22 Desa 47 Kayong 72 Liboy 97 Paya' 122 Senagkatn 147 Tobak 23 De'sa 48 Kebahan 73 Limbai 98 Pesaguan 123 Sengkunang 148 Tola' 24 Dosatn 49 Keluas 74 Linoh 99 Pompakng 124 Seritok 149 Ulu Sekadau 25 Ella 50 Kendawangan 75 Mahap 100 Pruna' 125 Sikukng 150 Undau 151 Uud Danum Referensi Alloy, Sujarni,dkk. Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat, Institut Dayakologi, Pontianak, 2008. Hasil penelitian etnolinguistik yang dilakukan oleh Institut Dayakologi selama 10 tahun sejak tahun 1997, ditemukan bahwa di Kalimantan Barat ini ada 151 subsuku Dayak kemudian ada 100 sub-subsukunya dan 168 Bahasa Dayak. Penelitian tersebut secara garis besar mengelompokkan subsuku Dayak berdasarkan bahasa yang digunakan kedalam beberapa rumpun bahasa seperti rumpun Bidayuhik, Ibanik, Melayik, dan lainnya.Berikut subsuku Dayak yang ada di Kalimantan Barat: 1. Dayak Angan Subsuku Dayak Angan adalah subsuku Dayak yang bermukim di wilayah adat atau Binua Angan di Kabupaten Landak. Wilayah adat Angan berbatasan langsung dengan Kecamatan Balai, Batang Tarang di Kabupaten Sanggau.Bahasa yang dituturkan oleh orang Angan ini adalah bahasa Angan Ba-aye’. Bahasa Ba-aye’ menyebar sampai ke Kecamatan Balai dan Tayan. Di daerah Tayan dan Sosok, bahasa Angan Ba-aye’ tersebut disebut juga bahasa Mali. Penduduk yang menuturkan bahasa ini disebut orang Dayak Mali.Adapun kampung-kampung yang termasuk ke dalam wilayah adat Angan ini adalah Kampung Angan Tembawang, Angan Limau, Angan Tutu, Angan Landak, Angan Pelanjau, Angan Rampan, dan Angan Bangka. Jumlah penutur bahasa Angan menurut data kecamatan pada saat penelitian dilaksanakan adalah sebanyak 1.499 jiwa. Jumlah ini terdiri dari laki-laki sebanyak 746 jiwa dan perempuan sebanyak 753 jiwa. Jumlah kepala keluarganya sebanyak 248 ditambah dengan 150 kepala keluarga di Binua Rentawan dan Sengkunang. Subsuku Dayak Angan sudah berada di Binua Angan sejak zaman nenek moyang mereka dulu. Jadi, mereka merupakan penduduk asli di tempat yang sekarang ini mereka huni. Suku Dayak Angan masih mempunyai beberapa tradisi upacara adat yang unik, salah satunya upacara adat Notokng. 2. Dayak Badat Dayak Badat adalah salah satu suku Dayak yang tinggal di Kabupaten Sanggau di Perbatasan Sarawak Malaysia Timur. Jaraknya hanya enam kilometer dengan Kampong Tringgos. Sedangkan jarak pemukiman suku ini dari Kecamatan Entikong kurang lebih 40 kilometer. Meskipun tidak terlalu jauh jaraknya,tetapi tidak ada jalan darat. Untuk menjangkau pemukiman suku ini tidaklah mudah, bahkan lebih mudah dari Malaysia meskipun berjalan kaki melewati hutan dan mendaki Gunung Peneresen. Sarana transportasi hanyalah melalui jalur Sungai Sekayam yang berliku-liku dan banyak riam. Alat transportasinya berupa motor tempel yang kapasitasnya minimal 15 PK supaya dapat melawan arus riam dan gelombang yang tingginya terkadang mencapai lima meter. Perjalanan untuk menjangkau pemukiman suku ini juga memakan waktu sekitar 10-12 jam. Kemudian, orang harus berjalan kaki lagi kira-kira dua jam, barulah sampai ke pemukimannya yang terletak di lereng gunung. Dayak Badat sebagaimana disinggung pada pembahasan Dayak Sikukng, banyak memiliki kemiripan dengan suku Dayak yang ada di sekitarnya. Bahkan kelompok ini dikelompokkan juga dalam kelompok Sungkung Kompleks. Sedangkan bahasa suku Dayak Badat biasa juga disebut bahasa Badat. Secara umum bahasa Badat memperlihatkan ciri-ciri Bidayuhik. Bahkan kelompok ini dapat saling paham dengan beberapa bahasa yang dituturkan Dayak Gun, Sikukng, Suruh, Sontas, maupun Dayak Entabang. Wilayah penyebaran Dayak Badat di Kabupaten Sanggau hanya tersebar di Kecamatan Entikong, Perbatasan Sarawak, Malaysia. Mereka ini bermukim di hulu Sungai Sekayam dekat Gunung Peneresen. Adapun wilayah pemukiman suku Badat hanya terdiri dari dua kampung saja, yaitu Kampung Badat Lama yang terletak di puncak gunung dan Badat Baru yang berada di lereng gunung. Jumlah penutur bahasa Badat di kedua kampung ini, saat penelitian ini dilakukan berjumlah 543 jiwa. Sejarah asal-usul penyebaran Dayak Badat secara rinci sudah tidak diketahui lagi oleh para tetua suku ini. Mereka hanya dapat mengingat bahwa mereka pertama kali bermukim di muara Sungai Banan yang mengalir di Sungai Sekayam.Pemukiman suku ini pada zaman dulu selalu berpindah-pindah. Perpindahan itu ada yang mencari tempat baru agar kelangsungan hidup mereka terjamin. Selain itu, ada juga anggota masyarakat suku ini yang mencari penghidupan di Negeri Sarawak di kawasan Tringgos, seperti di Senah Tupoy, Senah Simutih, dan Sader. Setelah lama menetap di muara sungai ini, kemudian mereka pindah ke pemukimannya yang baru yaitu Kampung Badat. 3. Dayak Bakati' Dayak Bakati’ tersebar di Kabupaten Sambas dan Bengkayang. Subsuku Dayak ini memperlihatkan banyaknya frekuensi pengucapan perkataan kati’ ‘tidak’ dalam percakapan mereka sehari-hari. Seluruh subsuku Dayak yang menuturkan bahasa Bakati ini juga disebut orang Kanayatn atau Kanayat. Di samping itu, wilayah Bakati’ juga mengenal penamaan berdasarkan wilayah adat atau binua/banoe, maka ada suku Dayak Kanayatn Bakati Sebiha' dan lain sebagainya. Proses penamaan subsuku Dayak di wilayah ini melibatkan aspek bahasa dan geografis. Dalam uraian ini, subsuku Dayak Bakati’ dijabarkan ke dalam berbagai subnya lagi yaitu : 1. Dayak Bakat i’ Kanayatn Satango 2. Dayak Bakat i’ Kuma 3. Dayak Bakat i’ Lape 4. Dayak Bakat i’ Lumar 5. Dayak Bakat i’ Palayo 6. Dayak Bakat i’ Payutn 7. Dayak Bakat i’ Rara 8. Dayak Bakat i’ Sara 9. Dayak Bakat i’ Sebiha’ 10. Dayak Bakat i’ Subah 11. Dayak Bakat i’ Taria 4. Dayak Balantiatn Dayak Balantiatn adalah salah satu subsuku Dayak yang tinggal di wilayah adat atau Binua Balantiatn di Kabupaten Landak. Mereka ada juga yang berada di Kecamatan Tayan Hulu, Kabupaten Sanggau.Balantiatn merupakan nama sungai yang mengalir melewati wilayah ini. Bahasa yang dituturkan oleh orang-orang Balantiatn adalah bahasa Balantiatn-Banyadu'. Bahasa ini tidak lain adalah bahasa yang juga dituturkan oleh orang-orang Banyadu’ di wilayah adat Banokng Satona-Banyuke. Hal ini tidak mengherankan karena orangorang Balantiatn-Banyadu’ sebetulnya tidak lain adalah orang-orang Banyadu’. Mereka dari wilayah Menyuke yang berpindah ke wilayah Behe/Dait.Kepindahannya adalah karena menahan serangan orang-orang di wilayah atas, seperti Sungkung, Tengon, dan Sempatung yang sering mengayau pada zaman dulu di wilayah Behe/Dait. Kampung-kampung yang termasuk ke dalam wilayah adat Balantiatn adalah Kampung Angkadu’, Tapis Baru, Tapis Tembawang, Amparayan, Kersik Balantiatn, Tainam, Sansa, Pagong Belantian, Tanjung Petahi, dan Engkalong. Menurut data dari kecamatan, mereka berjumlah 2.200 orang. Menurut tradisi lisan dari masyarakat setempat, diketahui bahwa suku ini menyebar ke Binua Balantiatn karena perpindahan sebuah kampung secara gaib.Kampung itu diangkat oleh hantu dan dipindahkan ke Binua Balantiatn. Perpindahan ini terjadi pada malam hari sewaktu penduduk sedang tidur. Versi lain mengatakan, bahasa ini muncul karena ada sekelompok orang yang mabuk sesudah makanjamur beracun. Sewaktu mabuk itu, mereka meracau (bicara tak tentu arah) dan hasilnya muncul bahasa baru yang merupakan bahasa mereka sekarang ini. Informasi yang dianggap sahih untuk menerangkan perpindahan orang-orang Banyadu’ ke wilayah ini adalah peristiwa perang antarsubsuku Dayak (bakayo) yang secara dominan menentukan proses perpindahan. Menurut cerita, orang-orang Behe/Dait yang merasa terancam karena sering diserang oleh orang-orang dari wilayah perbukitan akhirnya meminta bantuan kepada orang-orang dari wilayah Menyuke untuk mengamankan wilayahnya. Karena itulah mereka kemudian diberikan hadiah berupa tanah yang terletak di sepanjang Sungai Balantiatn. Sementara itu, ada pula Dayak Balantiatn yang bermukim di Kabupaten Sanggau. Mereka ini merupakan penyebaran dari subsuku Dayak Balantiatn yang umumnya terdapat di Kecamatan Serimbu, Kabupaten Landak. Di Kabupaten Sanggau suku ini terdapat bagian hulu Sungai Tayan di Kecamatan Tayan Hulu atau Sosok yang secara geografis berbatasan langsung dengan Kabupaten Landak.Di Kecamatan Tayan Hulu, Kabupaten Sanggau, kelompok ini hidup membaur dengan subsuku Dayak Pruwan yang bermukim di bagian hulu Sungai Tayan.Adapun tempat pemukiman subsuku Dayak Balantiatn di Kecamatan Tayan Hulu adalah di Kampung Berakak, Raman, Tapang, Sejirak, Pragong, Pangkalatn, Mansan, dan Sei Ringin. Jumlah penutur di situ kurang lebih sekitar 2.720 jiwa. 5. Dayak Banyadu' Di Kabupaten Bengkayang, suku Dayak yang menuturkan bahasa Banyadu hanya terdapat di Kecamatan Teriak, Ledo, dan Seluas. Hal ini dikarenakan mereka ikut program transmigrasi lokal. Di tanah asal-usulnya di Kecamatan Menyuke, Kabupaten Landak, suku Dayak ini dikenal dengan nama suku Dayak Banyuke-Banyadu’.Mereka tinggal di wilayah adat atau Binua Banokng Satona’ yang terletak di hulu aliran Sungai Menyuke. Bahasa yang dituturkan adalah bahasa Banyadu’. Bahasa ini secara kebahasaan tergolong dalam rumpun bahasa Bidayuhik (Wurm dan Hatorri, 1983). Dayak Banyadu’ di Taria’ sesungguhnya merupakan Dayak Manyuke (Banyuke) yang berbahasa Banyadu’ di wilayah Sungai Menyuke. Wilayah penyebaran Dayak Banyadu' Taria', terdapat di wilayah adat Taria'. Kampung-kampung yang termasuk ke dalam wilayah adat Taria' adalah Kampung Madas-Taria', Tamia’ Sio, Antibak (Santibak), dan Paranuk-Takalokng. Mereka berjumlah 1.573 jiwa.Walaupun pada mulanya, penyebaran orang Dayak Banyadu’ Taria’ ini hanya di empat buah kampung, namun dalam perkembangan selanjutnya mereka menyebar lebih luas lagi. Hal ini salah satunya karena mereka mengadakan kawin campur dengan subsuku Dayak yang lain. Faktor perkawinan ini juga sebagai sarana persebaran bahasa yang mereka miliki. Dayak Banyadu’ yang ada di Kampung Teria’ dan ketiga kampung lainnya di Kecamatan Teriak merupakan perpindahan Dayak Banyadu’ yang ada di Binua Banokng Satona’. Mula-mula kelompok ini memang bermukim di sepanjang hulu Sungai Menyuke (Banyuke) kemudian berpindah ke arah hilir Sungai Menyuke, yaitu di daerah Kampet, Timakng Bale, dan Pangao’. Di antara mereka ada kelompok orang Banyadu’ yang masuk jauh ke dalam ke arah selatan Kota Bengkayang, yaitu ke Kampung Balacatn, Sabah, Barinang Mayun, dan Titi Tarekng.Dari Kampung Barinang Mayun, Titi Tarekng, dan sekitarnya inilah mereka kemudian menyebar ke Kampung Tamia’ Sio, Antibak, Madas, dan Paranuk. Perpindahan ini dikarenakan oleh berbagai faktor, misalnya membuka ladang dan melarikan diri pada zaman bakayo dulu. Pada waktu itu Kampung Taria’ yang berada di tepi jalan dihuni oleh orang Cina. Perkataan Taria’ itu sendiri berasal dari perkataan teriak yang diambil dari suatu kejadian ada orang Cina yang berteriak-teriak di tepi Sungai Taria’ sekarang ini. Perpindahan kelompok Dayak Banyadu’ ke Kampung Teriak di tepi jalan terjadi baru-baru ini, yaitu sesudah terjadi Demonstrasi Cina 1967. Pada waktu itu di Kecamatan Bengkayang diperintah oleh Camat Ahi. Atas saran beliau, orang-orang Banyadu’ yang tinggal agak jauh dari jalan raya dianjurkan agar pindah ke tepi jalan. Sejak itulah terjadi perpindahan ke Kampung Taria’ (Teriak). Perlu digarisbawahi bahwa pada masa itu, kawasan ini didiami oleh orang-orang Cina. Hubungan antara orang-orang Cina dengan orang Dayak pada waktu itu cukup baik, walaupun orang-orang Dayak hanya sebagai suruhan, buruh, atau pembantu.Hal ini terjadi sampai pada peristiwa politik awal Rezim Soeharto, yaitu pemberontakan G30S/PKI yang disusul oleh gerakan PGRS/PARRAKU oleh orang-orang komunis. Tentara Indonesia (RPKAD) pada waktu itu tidak berdaya menghadapi pemberontak komunis yang bersembunyi di hutan-hutan sepanjang Perbatasan Sarawak dan Kalimantan Barat. Menurut penuturan informan di sekitar kaki Gunung Niut, diketahui jika ada seratus orang tentara Indonesia yang naik bukit untuk menyerang orang-orang komunis, hanya sekitar sepuluh orang yang selamat. Sisanya menjadi bangkai. Mereka menggelar operasi teritorial dengan melibatkan orang-orang Dayak untuk mendemo orang-orang Cina. Demonstrasi ini rupanya tidak terkontrol dan memang terkesan dibiarkan oleh pihak keamanan. 6. Dayak Banyuke Di Kecamatan Air Besar, Kabupaten Landak terdapat Dayak Banyuke. Mereka telah bercampur dengan subsuku Dayak yang lain yang berbahasa Balangint. Di wilayah ini terdapat gabungan beberapa subsuku, seperti Dayak Banyuke, Dait, Behe, dan Sempatung. Percakapan sehari-hari terutama di dalam keluarga masing-masing, mereka masih menggunakan bahasa ibu mereka. Di dalam pergaulan sehari-hari, pemakaian bahasa bersifat situasional. Akan tetapi, frekuensi pemakaian terbanyak menggunakan bahasa Banyuke (Ba-ampape) bercampur dengan bahasa Balangint. Secara kebahasaan, bahasa ini digolongkan ke dalam rumpun bahasa Melayik. Jumlah penutur bahasa gabungan antara sub-subsuku Dayak tersebut sebanyak 1.468 orang yang terdiri dari laki-laki 711 orang dan perempuan 757 orang. Data ini diambil di Kantor Kecamatan Air Besar berdasarkan hasil pendataan penduduk pada bulan September 1998. Penutur bahasa-bahasa ini tinggal di sebuah kampung, yang bernama Kampung Nyari, di Kecamatan Air Besar. Kampung ini dapat didatangi dengan berjalan kaki atau bersampan. Menurut cerita legenda pada zaman bakayo dulu, terjadi perang kayo antara orang Dait dengan orang-orang Sekayam. Dalam bakayo tersebut, orang-orang Dait mengalami kekalahan dan kecemasan. Untuk itu, mereka minta bantuan kepada orang-orang Banyuke untuk melawan orang-orang Sekayam. Orang-orang Banyuke setuju membantu orang Dait dengan suatu perjanjian. Jika mereka menang mereka akan dapat hadiah. Berangkatlah orang-orang Banyuke tersebut berperang melawan orang-orang Sekayam. Dalam peperangan itu, orang Banyuke keluar sebagai pemenang. Hadiahnya adalah tanah sapamaransoatn, yaitu sebidang tanah yang luasnya dari titik pertama langkah kaki, berjalan selama satu hari dan akan berakhir sampai di titik yang pertama tadi. Kampung tersebut sekarang ini bernama Kampung Nyari.Di Kabupaten Sanggau, kelompok ini tersebar di Kecamatan Kembayan, yaitu di Kampung Empaot, Sekumpai, Segok, Ongok, Sei Rambai, Tanak, dan Sei Bayur/Tanjung Harapan. Sedangkan di Kecamatan Toba hanya terdapat sebuah kampung saja, yaitu di Kampung Mangkup. Kecamatan Tayan Hulu terdapat di Kampung Galong, Engkasan, dan Tengkawang. Adapun jumlah penutur bahasa Banyuke di Kabupaten Sanggau ini diperkirakan berjumlah 4.090 jiwa. Penyebaran penduduk yang dilakukan oleh sekelompok orang yang membentuk satu kesatuan komunitas dan mempraktikkan adat-istiadat/budaya dari tempat asalnya, biasanya tidak menghilangkan identitas asal, termasuk bahasa yang dituturkannya. Hal inilah yang terjadi pada sekelompok masyarakat yang berasal dari subsuku Dayak Banyuke di Kabupaten Landak (dulu Kabupaten Pontianak) yang melakukan migrasi ke “Tanah Dara Nante” Kabupaten Sanggau. Mereka dapat dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok Banyuke Kembayan dan Banyuke Teraju. Banyuke Kembayan masih satu kesatuan wilayah geografis dengan wilayah asal-usulnya. Bahkan jika belum ada batas kabupaten kemungkinan wilayah yang ditempatinya saat ini masih merupakan wilayah adat mereka. Namun yang menarik ialah kelompok Banyuke Teraju yang melakukan migrasi di tengah masyarakat subsuku Dayak Desa sekitar tahun 1950-an yang lalu. Kelompok suku ini terpisah jauh dengan daerah asal-usulnya di Kabupaten Landak yang merantau di wilayah subsuku Desa, yaitu di Kampung Dawak. Pada mulanya mereka hidup damai dan membaur dengan subsuku Dayak Desa. Namun lama-kelamaan terjadi perbedaan persepsi tentang budaya ngayap5. Kelompok Dayak Banyuke ini sulit menerima budaya ini. Karena hidup di perantauan, akhirnya mereka mencari daerah pemukiman yang baru. Mereka awalnya hanya enam kepala keluarga. Akhirnya mereka mencari tempat pemukiman baru yang sekarang disebut Kampung Mangkup yang terletak di Kecamatan Toba. Subsuku Dayak Banyuke ini selain menyebar ke Sanggau, juga menyebar ke berbagai binua yang masih berada di Kabupaten Landak. Subsuku tersebut yaitu; 1. Dayak Banyuke-Angkabakng 2. Dayak Banyuke-Banokng 3. Dayak Banyuke-Moro Batukng 4. Dayak Banyuke-Sakanis 5. Dayak Banyuke-Satolo 6. Dayak Banyuke-Satona ’ 7. Dayak Banyuke -Songga Batukng 7.Dayak Barai Berdasarkan pemukimannya, orang Barai terdiri dari tiga macam, yaitu orang Barai Hulu, Hilir, dan Darat. Orang Barai Hilir ada di Kampung Natai Tebedak, Melati, Dolet, Tekam, Nanga Lidau, Ranap, Begendang, Tuwau, Suka Maju, Mungguk Jenang, dan Telangkin.Orang Barai Hulu ada di Kampung Natai Ruak, Terongin, Engkerangan, Sungai Akar, Natai Mulan, Nyapuk, dan Ubai. Orang Barai Darat ada di Kampung Natai Umbing, Senibung, Songgang, Utai, Talai, Sankai, Natai Panjang, dan Telesai. Di Dedai juga ada orang Barai, yaitu di Kampung Kancin, Semprini, Tumpu II, Mengkirai, Lidung. Mereka ini merupakan orang Barai Melawi Hilir. Ada pendapat bahwa asal orang Barai itu dari Daratan Batu Baru. Bahasanya memiliki ciri bekotu’ bekoya’. Jika dibandingkan, orang Barai Hulu dan Melawi bahasanya dapat dikatakan sama, hanya logatnya berbeda. Kalau di hulu bunyi [i] pada akhir kata cenderung menjadi bunyi [e] pepet pada orang Barai di Melawi.Sementara itu, jika didasarkan pada adat perkawinannya, orang Barai dikelompokkan menjadi dua, yaitu Ladau dan Tengkanyai. Kalau di Barai Ladau, istri tidak boleh ikut suami, kalau ikut maka suami harus bayar adat sebuah tempayan. Sementara itu di Tengkanyai, istri boleh ikut tinggal di keluarga suami tanpa bayar adat. Yang menonjol dari orang Barai adalah bahwa mereka tidak pernah mengayau dan tidak pernah bermusuhan. Jika terjadi perang, orang Barai tidak pernah mendahuluinya. Semua kampung dulunya dipagar dengan pelantik ‘semacam jebakan’. Jumlah orang Barai diperkirakan sebanyak 9.880 jiwa dan ini tersebar di dua kecamatan, yaitu di Kecamatan Kayan Hilir, Kabupaten Sintang dan di Kecamatan Nanga Pinoh, Kabupaten Melawi (data diolah berdasarkan sumber data statistik kecamatan dan data desa tahun 1998) Orang Barai mengakui bahwa mereka tidak tahu pasti dari mana asalusul mereka yang sebenarnya. Ada sebuah kisah yang mengatakan bahwa pada dulunya manusia di daerah ini berasal dari satu keturunan. Lalu pada suatu hari, mereka makan sejenis kulat dan tak lama setelah itu mereka pada mabuk kulat dan akhirnya berbicara dengan bahasa yang bermacammacam.Ternyata di antara bahasa itu ada beberapa kelompok yang mempunyai bahasa yang sama, sehingga akhirnya masing-masing kelompok yang bisa saling mengerti itu lalu memisahkan diri dan hidup terpisah dari kelompok lainnya dan salah satu dari kelompok tadi adalah orang Barai. Adapun kesenian yang dimiliki orang Barai adalah bejali, beduda, bebonek, beadoi, bedudu anak, bepantun, bedudai, dan bekanjan. Ada berbagai ketrampilan yang dimiliki oleh orang Barai. Salah satunya adalah menyumpit. 8.Dayak Batu Entawa Subsuku Batu Entawa’ merupakan salah satu subsuku Dayak yang berada di Kampung Posin, Kecamatan Tanah Pinoh, Kabupaten Melawi. Kalau dilihat dari jumlah penduduknya, jelas subsuku Batu Entawak ini sangatlah kecil.Namun, mereka mengakui diri sebagai subsuku tersendiri. Mereka diperkirakan berjumlah 474 jiwa atau 2,22% dari penduduk Kecamatan Tanah Pinoh.Pemukiman orang Batu Entawak ini dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan air. Setelah sampai ke Kota Baru sebagai Ibukota Kecamatan Tanah Pinoh, orang memudiki Sungai Raya hingga sampai ke Kampung Posin. Belum ada informasi mengenai asal-usul orang Batu Entawa’ ini. Sejarah keberadaan, penyebaran, bahasa, dan adat-istiadatnya masih belum digali. 9.Dayak Baya Dayak Baya adalah kelompok masyarakat yang bermukim di Kampung Baya di Kabupaten Ketapang. Kampung ini terletak di pinggir Sungai Liboh, anak Sungai Banjur. Kelompok masyarakat ini secara kultural dapat dikategorikan pada kelompok masyarakat Dayak Banjur, karena adat-istiadat dan beberapa tradisi lisan pada kelompok masyarakat ini umumnya sama dengan adat dan tradisi orang Banyur. Oleh karena itu, terkadangmereka mengidentitaskan kelompoknya sebagai Dayak Banjur.Namun dilihat dari aspek bahasa yang tuturkan, baik dari segi logat dan kosa kata yang digunakan, penutur bahasa subsuku Dayak Baya banyak memiliki perbedaan dengan penutur bahasa Banjur. Bahasa Baya lebih memperlihatkan kedekatan dengan bahasa Gerai maupun bahasa Laur. Oleh karena perbedaan aspek bahasa inilah kelompok masyarakat ini dikenal di wilayah Kecamatan Simpang Hulu dibedakan dengan istilah “orang Baya”. Tempat pemukiman orang Baya terletak di pedalaman hulu Sungai Banjur, tepatnya di kaki Gunung Bukit Daya. Sebelum beroperasinya perusahaan HPH Kawedar yang menggarap hutan mereka, hanya terdapat jalan setapak yang menghubungkan Kampung Baya dengan Kemora dan Banjur.Pemukiman mereka ini sukar dijangkau dengan roda dua. Jumlah penutur bahasa Baya di perkirakan berjumlah 234 jiwa. Jumlah ini tidak termasuk orang Baya yang bermukim di Kampung Kemora karena mereka yang tinggal di kampung ini cenderung menuturkan bahasa Dayak Banjur versi Kemora. 10.Dayak Beginci Subsuku Dayak Beginci berada di pinggiran Sungai Batang Kawa (perbatasan dengan Kalimantan Tengah). Mereka menyebut diri sebagai orang Dayak Beginci. Selain di Beginci Darat, tepatnya di Lubuk Kakap, orang Beginci juga dijumpai di Kampung Baru yang mendiami Sungai Bihak.Mereka yang bermukim di Sungai Bihak tetap menyebut dirinya bagian dari subsuku Dayak Beginci atau orang Beginci. Pada saat penelitian ini berlangsung, jumlahnya 720 jiwa.Asal-usul suku Dayak Beginci, konon ceritanya bukan berasal dari wilayah Kalimantan Barat. Wilayah ini dulu merupakan wilayah kekuasaan Raja Kalimantan Tengah. Namun sehubungan ada persoalan perkara besar yang mengakibatkan Kerajaan tersebut tidak mampu membayar denda perkara adat, maka wilayah ini digunakan untuk membayar denda tersebut. Selain wilayah ini juga diserahkan beberapa barang-barang berharga yang berupa gong, ketawak, dan tempayan. Sampai saat ini barang-barang antik ini masih banyak dijumpai di Kampung Beginci Darat. 11.Dayak Behe Dayak Behe adalah subsuku Dayak yang bermukim di Binua Behe. Kata Behe itu sendiri sebenarnya diambil dari nama sungai dan kemudian dipakai untuk menamakan sebuah binua. Binua Behe tidak dibatasi oleh batas wilayah kecamatan. Berdasarkan aliran Sungai Behe, binua ini terdapat di tiga kecamatan, yaitu di Kecamatan Air Besar, Kecamatan Meranti', dan Kecamatan Ngabang.Sungai Behe merupakan sungai tempat pertemuan anak-anak sungai kecil lainnya, termasuk anak Sungai Dait. Semua aliran sungai-sungai ini bermuara di Sungai Landak. Bahasa yang dituturkan oleh orang-orang Behe adalah bahasa Behe Balangint. Bahasa Behe Balangint termasuk ke dalam rumpun bahasa Melayik. Bahasa ini memang berasal dari Binua Behe dan menyebar di sepanjang aliran Sungai Behe dan anak-anak sungainya. Hal ini diketahui dari bahasa yang dituturkan di semua kampung yang terletak di sepanjang aliran Sungai Behe dan beberapa sungai yang terdapat di Kecamatan Air Besar. Bahasa Behe menyebar di hampir seluruh Kecamatan Air Besar. Jumlah penutur Bahasa Behe Balangint, yang terdapat di Binua Behe di Kecamatan Air Besar sebanyak 6.402 jiwa. Sedangkan jumlah penutur bahasa Balangint secara keseluruhan di Kecamatan Air Besar sebanyak 22.405 jiwa. Jumlah ini masih ditambah dengan kampung-kampung lain di Binua Behe yang terletak di Kecamatan Ngabang dan Kecamatan Air Besar. Adapun kampungkampung yang tergabung ke dalam Binua Behe adalah Kampung Kuala Behe (ada Melayu), Bangkup, Nyawan, Senuang, Kurnia, Nyayum, Engkoje, Leban, Paku Raya, Jawat, Engkalong, Langsat, Permiit, Sebangar, Terap, Opo, Ayud, Ansari, Reo Behe, Angkanyar, Entobo, Mamo, Bata, Ipuh, Manggam, Pesak, Sehe Lusur, Sehe Embuluh, Manggam Bati, Bengawan Ampar, Pangkalan Pansi’, Sejowet, Sebaro, Panit, Berangan PaloKandis, Senuang, Nyawan, Langsat, Permiit, Tanjung Balai, Ayud, Sabangar, Entobok, Sengangkam, Bacang onse, Terap, Ansari, Angkanyar, Reo Behe, Ipoh, Bata, Mamo, Kedama (Melayu), Sehe Embuluh, Sehe usur, Pansi’, Bengawan Ampar, Sabaro, Panit, dan M. Pesak. Dayak Behe memang berasal dari Binua Behe. Suku ini sejak dari nenek moyang mereka memang telah tinggal di wilayah Behe. 12.Dayak Benawas Dayak Benawas adalah salah satu kelompok masyarakat yang bermukim di Sungai Benawas yang mengalir di wilayah Kecamatan Sekadau Hilir dan Sekadau Hulu. Suku ini menyebut dirinya Dayak Benawas berdasarkan nama sungai yang menjadi tumpuan hidup mereka. Suku ini tersebar di 12 kampung yang hidup berdampingan dengan suku Desa, Kerabat, Sekujam, dan Dayak Jawatn. Adapun jumlah atau populasi suku ini diperkirakan sekitar 5.536 jiwa.Menurut suku-suku yang ada di sekitarnya, Dayak Benawas mendapat perhatian khusus dari Kerajaan Sekadau. Kelompok suku ini bahkan dibebaskan dari pajak (upeti) oleh pihak kerajaan. 13.Dayak Bi Somu Sebagian kecil orang Dayak Bi Somu bermukim di Kecamatan Kembayan. Sementara itu, di Kecamatan Noyan, mereka merupakan mayoritas. Bi Somu hakikatnya berasal dari perkataan Bi dan Somu. Bi artinya ‘orang’ dan Somu artinya ‘atas’ atau ‘darat’. Terminologi ini didasarkan atas letak geografis kelompok masyarakat ini yang umumnya bermukim di daerah dataran tinggi. Adapun wilayah penyebaran orang Bi Somu adalah sebagai berikut. 1. Kecamatan Kembayan meliputi Kampung Sei Bun, Sejuah, Terusan, Sepantap,Ngalo, Roja, Nanga Jugan,Mobui, Mobui, Oba, Sebuduh, Semadu,dan Kerosik. 2. Kecamatan Noyan meliputi Kampung Noyan, Entobu, Mayan, Empoto, Subu, Dasan, Serakin, Monok, Kerasik, Tidu, Ensingo, Petungun, Idas, Telogah, Entawa Mata, Kelampai, Sei Merah, Tatai Tukuh, Kobuk, Koli, Sei Dangin, Doroi, Periji, Tukun, Langka, Ngira, Pulau Poda, Emputih, Semongan, Mabit, dan Minso’. 14.Dayak Bihak Bihak adalah nama sungai yang terkenal berarus riam di wilayah administratif Kecamatan Sandai. Di sepanjang sungai ini terdapat beberapa hunian kelompok masyarakat yang menamakan dirinya sebagai orang Bihak.Karena Bihak yang dijadikan dasar identitas beberapa kelompok masyarakat suku Dayak, sehingga bahasa yang dituturkan juga disebut bahasa Bihak. Bahasa Bihak cenderung memperlihatkan adanya variasi-variasi meskipun kosa-kata yang digunakan sama. Dalam hal ini, kosa kata yang sama, ada yang dituturkan dalam tempo yang lambat atau halus dan ada yang dituturkan dalam tempo yang cepat atau kasar.Jumlah penutur bahasa Bihak pada saat penelitian ini berlangsung di perkirakan berjumlah 1.689 jiwa. Penutur bahasa tersebut terdapat pada hunian subsuku Dayak di sepanjang Sungai Bihak yang meliputi Kampung Cinta Manis, Pendulangan, Riam Dadap, Aur Gading, Sekukun, Batu Lapis, dan Beginci Laut/Sira.Menurut cerita masyarakat Bihak, pada zaman kerajaan yang berkuasa di Kecamatan Sandai, kelompok masyarakat ini pernah bermukim di Sungai Pawatn. Namun demikian, lama-kelamaan tidak tahan dengan perbudakan raja dan pemberlakuan pajak blesting, lalu kelompok subsuku ini melakukan perpindahan yang dirasakan aman. Lalu dipilihlah Sungai Bihak. Mereka yakin para prajurit raja tidak bisa menjangkau daerah tersebut, karena arus deras Sungai Bihak. 15.Dayak Bubung Dayak Bubung atau yang juga disebut Dayak Bentiang adalah termasuk pecahan Dayak Tengon dari Kumba/Bidayuh. Mereka sudah mengalami pembauran dengan penduduk di sekitarnya, yang bukan keturunan orang Sungkung.Bahasa Bubung biasa juga disebut bahasa Badeneh. Bahasa ini dituturkan oleh orang-orang yang tinggal di Perkampungan Bentiang serta orang-orang yang pindah dari Perkampungan Bentiang ke kampung-kampung di sekitarnya.Wilayah penyebaran subsuku Dayak Bubung terdapat di Perkampungan Bentiang yang terdiri dari empat kampung, ditambah dengan kampungkampung lain yang menjadi tempat penyebaran suku ini, yaitu Kampung Bentiang Samokong, Bentiang Samame’, Bentiang Sijanjung, Bentiang Ma’ Domong, Jangkak, serta India’. Berdasarkan data sensus penduduk dari kantor camat pada bulan September 1998, jumlah penduduk yang menuturkan bahasa Bubung (Badeneh) sebanyak 870 orang yang terdiri dari 459 laki-laki dan 411 perempuan ditambah dengan penduduk di Kampung Jangkak dan India’.Bentiang adalah nama yang diberikan oleh pemerintah untuk Kampung Bubung. Kampung Bubung merupakan kampung asli orang Bentiang, sedangkan penduduk setempat menyebut kampung mereka Kedo’. Bentiang pada zaman dulu terbagi menjadi empat kampung, yaitu Kampung Bubung (Bentiang Asli), Asem, India’, dan Jangkak. Ceritanya, pada zaman dahulu kala ada sebuah kampung yang bernama Kampung Sigayoi. Kampung ini terletak di hulu Sungai Pade. Pada waktu itu, terjadi perselisihan antarkampung, yaitu antara Kampung Sigayoi dan Kampung Jangkak. Perselisihan ini tidak kunjung selesai baik lewat jalur musyawarah maupun jalur hukum adat. Hal ini menimbulkan situasi yang kian memanas. Untuk menyelesaikan perselisihan ini, orang-orang dari Kampung Sigayoi menuangkan racun di sungai tempat orang Jangkak mandi dan mengambil air minum. Hal ini tentu sangat mudah dilakukan karena orang Kampung Sigayoi tinggal di hulu sungai. Sesudah menuangkan racun tersebut, terjadilah kematian yang misterius di kampung tersebut. Penduduk yang masih selamat, pindah ke Kampung Pare, Kampung Jangkok, dan Kampung Suti. Pada akhirnya di Kampung Jangkak hanya tertinggal dua kepala keluarga. Karena merasa jumlah mereka sedikit akhirnya kedua kepala keluarga ini mencari orang-orang Bentiang untuk tinggal di kampungnya. Orang Bentiang itu namanya Katun dan Biau. Si Biau merasa kampung mereka ini masih kurang orang. Dengan demikian, Katun disuruh memanggil lagi sanak saudaranya untuk tinggal di Kampung Bubung. Nama Biau diabadikan menjadi nama kampung, yaitu Kampung Sebiau.Namun, dengan kuasa si Katun sebagai seorang Timanggong, Kampung Sebiau ini diubah menjadi Kampung Jangkak. Bahasa mereka yang pada mulanya disebut bahasa Suti Bamayo’ berubah menjadi bahasa Bubung (Bentiang) Badeneh. Sekarang ini, Bubung yang asli Bentiang terbagi menjadi Bentiang Sijanjung, Bentiang Semokong, Bentiang Ma’ Domong, dan Bentiang Semame’ ditambah Jangkak, dan India’ (Silia’). 16.Dayak Bugau Bugau merupakan nama sebuah bukit yang ada di Kecamatan Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang. Orang Bugau mendiami daerah aliran Sungai Ketungau bagian hulu dari Kecamatan Ketungau Hulu, yaitu di Kampung Senaning, Sungai Antu, Engkeruh, Rasau, Sebuluh, Lubuk Pucung, Pangkalan Parit, Riam Sejawak, Jasa, Wak Sepan, Birong, Rentong, Nyelawai, dan Kedang Ran.Bahasa yang mereka turukan adalah bunyi-bunyi [ay] pada akhir kata. Mereka sendiri menyatakan bahwa bahasa mereka termasuk dalam bahasa Benadai, bahasa yang dituturkan oleh orang-orang di sepanjang Sungai Ketungau. Orang Bugau ini diperkirakan berjumlah 4.844 orang (data diolah berdasarkan sumber data statistik kecamatan tahun 2003). Asal-usul orang Bugau secara mitologis dapat dipaparkan sebagi berikut. Manusia pertama kali diciptakan oleh Yang Mahakuasa melalui malaikatnya dari sejenis kayu yang disebut kayu kumpang . Manusia ciptaan dari kayu kumpang itu hanya bisa berteriak. Ia tidak menjadi manusia yang sempurna.Melihat kayu tersebut tidak menjadi manusia, maka diciptakan lagi manusia dari pangkal pisang luran dan tanah alau. Dari bahan itu dibentuk dua manusia, yaitu satu berbentuk laki-laki dan yang satunya perempuan. Calon manusia itu ditaruh di atas piring dan ditutup dengan selimut. Selama tujuh hari lamanya, piring yang berisi calon manusia itu ditaruh di persimpangan jalan tujuh simpang. Selama itu pula para malaikat datang dengan membawa tombak dan parang. Mereka mengacu- ngacukan tombak dan parang itu ke calon manusia tersebut. Maka calon manusia itu pun memekik. Yang dibentuk laki-laki menyebut diri Muga dan yang perempuan menyebut diri Rama. Mereka menyebutkan nama-nama itu karena merasa seakanakan diancam dengan tombak dan parang yang diacukan kepada diri mereka. Walaupun berbentuk manusia dan dapat memekik, kedua calon manusia itu belum menjadi manusia yang sempurna.Namun demikian telah memiliki keturunan yang belum sempurna pula. Setelah tujuh keturunan, maka manusia yang belum sempurna itu mulai menurunkan manusia “purba”. Mulai saat itulah manusia baru diakui betul sebagai manusia dan memiliki adat. Karena ada adat inilah maka manusia tidak lagi bertingkah seperti hewan. Dari berbagai turun-temurun itu, ada beberapa tokoh yang cukup menonjol dalam cerita lisan. Misalnya Bui Nasi yang membawa manusia pada kebiasaannya untuk memakan makanan pokok nasi. Tokoh Putong Kempat kawin dengan Aji Melayu pada zaman Majapahit. Keturunan mereka inilah yang menjadi orang Melayu.Dalam cerita asal-usul tersebut sebenarnya ada kejanggalan yang dirasakan oleh orang-orang Bugau, misalnya tokoh Putong Kempat yang merupakan salah satu tokoh dalam penciptaan manusia pertama kawin dengan Aji Melayu yang merupakan orang dari Jawa pada masa Majapahit. Cerita asal-usul orang Dayak ini putus di sini. Tidak ada yang tahu kelanjutan cerita asal-usul tersebut. Tiba-tiba saja ada cerita bahwa orang Dayak itu berteman dengan makhluk halus yang bernama Buah Kana. Buah Kana itu walaupun makhluk halus namun dapat dikatakan seperti manusia. Waktu itu Buah Kana dan manusia hidup dalam satu rumah betang. Kini bekas-bekas rumah panjang (tembawaitembawai) yang ditempati Buah Kana dan manusia itu banyak terdapat di Sekapat (Ketungau Tengah), Lubuk Lidung (Ketungau Tengah), Sungai Kelintik, Sungai Idai (Ketungau Hulu), Tampun Juah di Hulu Sungai Saih (Kabupaten Sanggau), dan masih banyak lagi. Dari rumpun Buah Kana itu ada yang tidak suka dengan manusia, tetapi ada juga yang suka. Oleh karena itu, Buah Kana mengadakan bada’, yaitu memberi tanda-tanda yang dibuat dari darah atau kotoran yang dipercikan ke rumah-rumah. Tanda-tanda itu tidak serempak. Apabila tanda yang diberikan dari darah maka rumah-rumah akan terpercik-percik dengan darah, begitu juga jika tanda yang dibuat dari kotoran. Semua tanda itu merupakan peringatan bahwa sudah tiba saatnya antara Buah Kana dengan manusia harus berpisah. Apabila tidak diindahkan maka bada’ itu dapat menyebabkan peperangan atau sampar. 17.Dayak Buket Dayak Buket berada di Kecamatan Kedamin, di bagian timur Kabupaten Kapuas Hulu. Jika dilihat dari jumlah populasinya, subsuku Buket dapat dikatakan merupakan suku terkecil di kabupaten ini.Mereka hanya terdapat di dua kampung saja. Satu kampung bermukim di hulu Sungai Mendalam, yaitu Kampung Nanga Uvat (dalam tulisan administrasi pemerintah Nanga Ubat). Kampung yang satunya bermukim di hulu Sungai Kapuas, yaitu di Kampung Mate Lunai. Dua kampung ini dikelilingi wilayah pemukiman orang Dayak Punan dan Kayaan. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupannya karena tidak bisa terhindar dari interaksi sosial sehari-hari. Perkawinan campur dari ketiga suku ini sudah lama terjadi. Bahkan, saat penelitian ini dilakukan banyak juga gadis Dayak Buket yang menikah dengan orang Melayu dan memeluk agama Islam.Orang Buket, sebagaimana juga suku Dayak yang lain di Kapuas Hulu, sangat ramah terhadap orang tanpa membedakan etnis. Mereka juga terbuka dan tidak memiliki rasa curiga. Sebagi contoh, jik ada tamu yang baru pertama kali datang ke rumah mereka dan baru mereka kenal maka mereka akan bertanya tentang agama tamu tersebut. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan hidangan yang perlu mereka siapkan. Untuk kelompok Muslim mereka harus menghindari untuk menyuguhkan makanan atau minuman yang sifatnya haram. Tampak di sini kepekaan mereka terhadap orang lain. Di luar orang Muslim, tradisi makannya dianggap sama saja dengan tradisi makanan mereka. Suku Buket meskipun tinggal jauh di pedalaman (kira-kira 800 kilometer dari Kota Pontianak), tetapi jarak ini tidak menghalangi bagi peneliti luar dan misionaris untuk melihat lebih dekat berbagai aspek kehidupan suku ini.Beberapa orang yang masih diingat orang Buket sebagai peneliti yang telah mendatangi suku ini ialah Pastor Lensen dan Brown (1950) dari Misionaris Katolik, Tuan Boher (1965 dan 1968), Prof. Dr. Hendro Sudagung dari Universitas Tanjungpura, Pontianak (1981), Bernard Sellato (1979), dan Thambia Santi dari Universitas Kingdom (1996).Suku Buket pada zaman dulu terbagi ke dalam tujuh kelompok. Pembagian ini didasarkan pada karakter setiap kelompok. Namun demikian, setiap kelompok ini mempunyai pemukiman tersendiri. Adapun tujuh kelompok yang dimaksudkan ialah sebagai berikut. 1. Tevulu (memiliki sifat ramah dan terbuka. Pada saat memarahi anaknya,mereka tidak mau di depan orang banyak/tamu) 2. Helangi (lebih senang tinggal di hulu sungai) 3. Tain Kiat (memiliki sifat nakal) 4. Koyan (memiliki suara yang lantang dan bergema) 5. Heloy (nakal dan bandit) 6. Derungu (memiliki sifat pendendam) 7. Tuga Apua (memiliki sifat adaptif ) Ketika mendengar makanan sagu sebagai makanan pokok di alam Kalimantan, terlebih bagi suku Dayak, mungkin terdengar aneh. Bagi masyarakat Indonesia, umumnya sagu dikenal sebagai makanan pokok orang Maluku. Namun, bagi Dayak Buket (juga Punan) pada masa lampau, sebelum tahun 1950-an selain hidup sebagai pengembara dari kawasan yang satu ke kawasan lainnya, makanan pokok mereka ialah sagu dan daging yang semuanya terdapat di hutan. Sejak tahun 1949-an ketika mereka tinggal di Nanga Menilai pada masa kepemimpinan Temenggung Jemala, barulah suku Buket mengenal beras. Konon, cara berladang itu diajarkan oleh subsuku Dayak Punan yang lebih dulu mengenalnya. Sejak itulah mereka juga mengenal pola pertanian perladangan yang hingga saat ini mereka geluti untuk memenuhi kebutuhan primer mereka. Keberadaan Dayak Buket di Kalimantan Barat sebagaimana telah disinggung di atas, hanya tersebar di Kampung Mate Lunai di wilayah bagian hulu Sungai Kapuas dan di Kampung Nanga Uvat bagian paling hulu Sungai Mendalam. Dua kampung ini terpisah cukup jauh jaraknya yang diperkirakan kurang lebih 30 kilometer.Pada rentangan jarak ini pun hampir seluruhnya terdiri dari kawasan hutan rimba dan bukit-bukit. Dalam kehidupan sehari-hari, kedua kelompok orang Buket ini tidak dapat berkomunikasi satu sama lain. Namun, kelompok ini malahan dapat berkomunikasi dengan suku Punan. Mengenai jumlah penutur/populasi suku Dayak Buket sebagaimana dijumpai dalam penelitian ini tidak lebih dari 600 orang saja. Wilayah penyebaran lainnya juga terdapat di Kalimantan Timur, yaitu di Naha Tivab yang penduduknya diperkirakan hanya 200 orang. Populasi subsuku ini yang cukup besar terdapat di Malaysia. 18. Dayak Bukit-Talaga Subsuku Dayak Bukit-Talaga adalah salah satu dari subsuku Dayak yang terdapat di Binua Talaga, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak. Bahasa yang dituturkan oleh suku Dayak Bukit Talaga adalah Bahasa Talaga-Ngabukit. Bahasa ini lebih dikenal dengan nama bahasa Banana’ atau Ba’ahe. Di bukit tempat mereka bermukim terdapat pepohonan talaga. Hal ini menyebabkan masyarakat setempat menyebutnya dengan sebutan Panamukng Talaga. Dalam bahasa Indonesia disebut bukit atau Gunung Talaga. Penduduk yang tinggal di sekitar Binua Talaga tersebut menyebut diri mereka Urakng Bukit Talaga atau orang Talaga. Wilayah penyebaran subsuku Dayak Bukit Talaga terdapat di wilayah adat Talaga atau Binua Talaga. Wilayah adat Talaga atau Binua Talaga merupakan wilayah yang dapat dianggap sebagai tanah asal-usul. Buktinya, suku-suku Dayak yang ada di wilayah sekitarnya, seperti Samih, Sangku’, dan sekitarnya merupakan pindahan dari wilayah adat Talaga. Menurut pembagian wilayah pada zaman dulu, wilayah adat Talaga terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Talaga Timawakng dan Talaga Samahung. Adapun kampung-kampung yang tergabung ke dalam wilayah adat Talaga adalah Kampung Aur Sampuk, Saginah, Saleh, Bakabat, Pate, Agak Angkabakng, Palanyo, Kase, Bingge, Sahapm, Palanyo, Po’o’, Kase, Nangka, Padakng, Palo’an, Asong, Palah, Tembok, dan Sapatah. Menurut data kependudukan pada tahun 1998, jumlah mereka ada 25,328 jiwa. Tanah asal-usul Dayak Bukit Talaga memang berada di Binua Talaga tersebut. Nenek moyang orang Talaga yang bernama Nek Jarayatn bertempat tinggal di sekitar Bukit Talaga. Keturunan beliau akhirnya menyebar sampai ke Binua Samih, Nahaya’, Sangku’, dan binua-binua di sekitarnya. Jadi penduduk Samih, Nahaya’, dan Sangku’ juga termasuk keturunan dari Nek Jarayatn. 19. Dayak Butok Adalah subsuku Dayak yang tinggal di hulu Sungai Kimbe (Sungai Kumba atau Sekumba). Mereka tinggal dalam satu kawasan yang termasuk ke dalam wilayah Desa Terabung. Tepatnya di Kampung Siding. Oleh karena itu, mereka juga sering disebut Dayak Terabung. Sebutan ini sesungguhnya keliru karena sebetulnya mereka masih satu nenek moyang dengan suku Dayak Tadietn sewaktu sama-sama berpindah dari Bukit Senujuh mudik ke hulu Sungai Kumba menuju Seluas. Bahasa yang mereka tuturkan adalah bahasa Butok. Secara kebahasaan, bahasa ini tergolong ke dalam rumpun Bidayuhik (lihat Peta Wurm dan Hatorri, 1983). Mereka juga disebut Dayak Bidayuh. Dulunya, kampung orang Dayak Butok hanya di Siding. Namun kini, subsuku ini sudah menyebar ke kampung-kampung di sekitarnya, seperti di Kampung Merendeng, Sebujit, Kapot, dan Betung. Perbauran ini terjadi karena perkawinan dan perpindahan. Jumlah penduduk Dayak Butok di Siding diperkirakan sekitar 1.000 orang. Menurut sejarahnya, Dayak Butok adalah sub-bagian dari kelompok Dayak Tadietn (Tadatn) sewaktu mereka masih bersama-sama berpindah dari wilayah Bukit Senujuh (Kampung Semaku’an) mudik ke hulu Sungai Sambas dan kemudian masuk Sungai Kumba. Mereka kemudian menetap di daerah Sentimo’. Terakhir, mereka berpindah ke Seluas yang pada waktu itu masih kosong. Di Seluas, kedua kelompok ini masih bersama-sama karena mereka memang masih satu keturunan. Sewaktu berpindah mudik ke hulu Sungai Sekumba, terdapat dua cabang anak sungai. Yang satu menuju ke kanan, yaitu Sungai Biay (Sungai Biang) dan yang satu menuju ke arah kiri, yaitu Sungai Kimbe (Sungai Kumba). Di kedua anak sungai inilah kedua kelompok ini berpisah. Yang ikut anak sungai ke arah kiri, yaitu Sungai Kimbe menuju ke Kampung Siding. Mereka disebut Dayak Butok. Yang menuju ke arah kanan, yaitu ke Sungai Biay disebut Dayak Tadietn. Karena sudah terpisah dengan kelompoknya, mereka kemudian menjalani hidup sendiri-sendiri dalam kelompok masing-masing. Pada mulanya mereka masih menjalin hubungan yang baik dengan Dayak Tadietn. Orang Tadietn kemudian bermusuhan dan berseteru dengan orang Butok sewaktu orang-orang Siding mencari kepala (bakayo) ke arah Kampung Dayak Tadietn serta mencuri kepala di sana. Seterusnya, sekalipun berasal dari nenek moyang yang sama, mereka tidak mau disebut sebagai satu suku. Jadi faktor sejarah perpindahan dan tradisi mengayau ini yang membuat mereka terpisah menjadi subsuku yang berlainan. 20. Dayak Tobak Dayak Tobak/Tobag atau sering juga dikenal Dayak Tebang adalah kelompok masyarakat suku Dayak menggunakan bahasa Ope atau be-ope yang umumnya bermukim di wilayah Kecamatan Tayan Hilir dan Kecamatan Toba, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, Wilayah penyebarannya juga terdapat di Kabupaten Kubu Raya dan Kabupaten Ketapang. Penyebaran suku Dayak Tobak meliputi 3 kecamatan yang berada di 2 kabupaten, yaitu: 1. kecamatan Tayan Hilir (kabupaten Sanggau), di kampung Tebang Benua, Munggu’ Bungkang, Semoncol, Sejangkar, Pulo Rawa, Selandak, Rapun, Gontek/Lancak, Cempedak, Mayak, Tenggayong, Teluk, Ampar, Jelawat, Muling, Sejotang, Batu Besi, Selingan, Jeramun, Jongko’, Sayok, Rama, Kedoko’, Terentang, Lalang, Ntajo, Lais, Jang, Gempar, kampung Baru Kapuas, Semenduk, Mberas, Kisam, Jonti, dan Pulau Cempede’. 2. kecamatan Tobak (kabupaten Sanggau), di kampung Kelapu, sungai Lomas, Tanjung Beringin, Kuala Labai, Bagan Asam, Bagan Aur, Bantel, Sansat, Sayu, Setarakng, Sebemban, Segasik, Ngkeramas, Beginjan, sungai Galing dan Sungai Mayam, 3. kecamatan Balai Berkuak (kabupaten Ketapang) yaitu di kampung Sekucing, Kenatu dan Sei Layang. Gambar 1. Kepala Desa Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. 4.1.5 Hubungan Masyarakat Adat Dengan Tanah Hubungan masyarakat adat/masyarakat hukum adat dengan tanah / bumi demikian pula dengan pepohonan / hutan sangat erat dan semuanya itu terungkap dalam system adat. Disamping keterlibatan dan kebersamaan selaku makhluk mitis dari mitos-mitos penciptaan, juga adanya rasa terima kasih kepada bumi dan hutan agar tidak kehilangan daya pertumbuhannya yang mengakibatkan kerusakan manusia. Oleh sebab itu, diperlukan perlakuan – perlakuan atau ketentuan-ketentuan yang mengatur agar keseimbangan dan keserasian tetap terpelihara. Masyarakat Dayak pada dasarnya tidak pernah berani merusak tanah dan hutan secara internasional. Hutan, bumi, sungai, dan seluruh lingkungannya adalah bagian dari hidup itu sendiri. Sebelum mengambil sesuatu dari alam, insan Dayak selalu memberi terlebih dahulu. Sebagai contoh apabila ingin membuka lahan baru, terutama dengan menggarap hutan yang masih perawan, harus dipenuhi syaratsyarat tertentu. • Pertama memberitahukan maksud tersebut kepada kepala suku atau suku atau kepala adat • Seorang atau beberapa orang ditugaskan mencari hutan yang cocok. Mereka ini akan tinggal atau berdiam di hutan-hutan untuk memperoleh petunjuk atau tanda, dengan memberikan persembahan. Usaha mendapatkan tanda ini dibarengi dengan memeriksa hutan dan tanah, apakah cocok untuk berladang atau berkebun. • Apabila sudah diperoleh secara pasti hutan mana yang sesuai, segera upacara pembukaan hutan itu dilakukan, sebagai tanda pengakuan bahwa hutan atau bumi itulah yang memberikan kehidupan bagi mereka (nafkah) dan sebagai harapan agar hutan yang dibuka itu berkenan memberkati dan melindungi mereka. • Untuk membuktikan bahwa mereka mengembalikan apa yang diambil ada ketentuan atau kebiasaan bahwa hutan yang diolah itu hanya digunakan selama 2-3 kali masa panen, kemudian ia dibiarkan untuk bertumbuh kembali menjadi hutan, dan baru dikerjakan kembali setelah 15-20 tahun. Demikian selanjutnya proses pembentukan tanah adat itu dimulai dari pembukaan hutan untuk perladangan hingga selesai panen, kemudian dipergunakan lagi untuk perladangan rotasi bahkan hingga turun temurun, sehingga pada akhirnya kita mengenal berbagai jenis tanah adat yaitu : A. Tanah Adat yang Masih Kosong 1. Tanah Udasatn atau Hutan Tua Kata “Udasatn” mengandung pengertian “orang pertama kali merimba atau membuka hutan”. Kemudian pengertian isilah ini berkembang, selain menunjukkan orang pembuka hutan pertama, sekaligus pula menunjukkan pemiliknya misalnya : Tanah Udasatn pak thomas, berarti tanah itu dibuka oleh pak Thomas dan dia adalah pemiliknya, kecuali apabila sudah dipindahkan kepada orang lain. Dalam penelitian ini, kata udasatn dipakai untuk lebih menekankan pada bentuk dan jenis tanah, sehingga dengan demikian maka yang dimaksudkan dengan tanah udasatn ialah tanah bekas perladangan pembukaan hutan yang telah ditinggalkan berpuluh tahun lamanya. 2. Tanah Pararoatn atau Hutan Muda Tanah pararoatn atau hutan muda ialah tanah bekas perladangan pembukaan hutan, pernah diladangi kembali mungkin dua atau tiga kali rotasi, kemudian ditinggalkan selama beberapa tahun, tetapi tidak lebih lama dari tanah udasatn. 3. Tanah Rame atau Hutan Bawas Secara umum pengertian rame atau hutan Bawas adalah bekas perladangan yang masih baru. Tanah rame dapat dibedakan menurut umurnya dan menurut kondisi tanahnya. a. Rame padi, yaitu tanah bekas ladang yang baru saja selesai dipanen, terhitung hingga kurang-lebih setengah tahun lamanya setelah selesai panen b. Rame muda;, yaitu tanah bekas ladang yang berumur dibawah 5 (lima) tahun c. Rame tuha, yaitu tanah bekas ladang yang telah berumur 5 (lima) tahun hingga mencapai umur rotasi perladangan yaitu sekitar 8 (delapan) hingga 10 (sepuluh) tahun. Sedangkan menurut kondisi tanahnya terdapat 3 (tiga) macam ranah rame yaitu : a) Rame mototn, yaitu tanah rame yang terdiri dari dataran tinggi yang tidak tergenang air b) Rame tabuk, yaitu tanah rame yang terdiri dari dataran yang agak rendah, tidak tergenang air, namun jika didukung oleh sumber air yang memadai dapat dijadikan sawah c) Rame gente’ yaitu tanah rame yang terdiri dari dataran rendah dan biasanya terendam air (tanah rawa). 4. Tanah Papuk atau Tanah Sawah Tanah papuk atau tanah sawah adalah tanah rame, mungkin merupakan rame tabuk atau rame gente’ yang telah diolah menjadi sawah. Dengan demikian tanah papuk adalah tanah sawah. 5. Tanah Palaya’ atau Hutan Cadangan Tanah palaya’ atau hutan cadangan yaitu tanah yang terdiri dari hutan yang belum dibuka di sekitar pemukiman penduduk luasnya sekitar kurang-lebih radius “samapangkongan – tatawak” (sebatas pendengaran pemukulan gong) atau sekitar kurang lebih 5 (lima) km. Tanah palaya’ adalah merupakan hutan cadangan bagi masyarakat adat untuk berladang, berburu, mengumpulkan hasil hutan serta untuk menyediakan bahan bangunan perumahan dan lain sebagainya yang merupakan milik bersama masyarakat adat, sebagai hak “paningkadahatn” atau semacam “hak prioritas” sebagai contoh misalnya : seorang pemilik pohon buah durian / langsat yang terletak di dekat rumah orang lain, dapat dikenakan hukuman paning kadahatn oleh pemilik rumah apabila pada suatu waktu ia memanjat / memetik buah itu tanpa memberikan sedikitpun bagian kepada pemilik rumah. Bahkan apabila pada saat itu secara kebetulan ada diantara keluarga pemilik rumah yang mendapat suatu kecelakaan, misalnya luka atau m endapat cedera lainnya, maka tuntutan adatnya pun akan lebih besar pula yaitu tuntutan adat “penyumpanan” atau kamponan. B.Tanah Adat yang Berisi Tanam-Tumbuh 1. Tanah Timawakng (Tembawang) Tanah timawakng (tembawang) ialah tanah bekas pemukiman penduduk yang telah lama ditinggalkan, diatasnya terdapat sekelompok pohon buah-buahan tanaman keras seperti durian, langsat, cempedak dan lain-lain. Karena tembawang adalah bekas pemukiman penduduk, maka kemungkinan penduduk yang tadinya tinggal disitu hanya satu keluarga saja, atau mungkin beberapa keluarga, bahkan mungkin pula terdiri dari 1 (satu) kampung atau radakng sehingga dengan demikian terdapat dua macam tembawang yaitu tembawang rumah (timawagng rumah) dan tembawang kampung (timawakng radakng). - Tembawang rumah ialah tanah bekas sebuah atau bberapa buah rumah pemikiman penduduk yang telah ditinggalkan dan diatasnya terdapat pohon buah-buahan tanaman keras. Biasanya istilah ini disebutkan secara lengkap misalnya “timawakng rumah pak Thomas”. Hal ini selain menunjukkan jenis tanah itu sendiri, sekaligus telah disebutkan pula pemiliknya, dengan demikian sudah dapat diketahui bahwa tembawang itu adalah tanah bekas rumah pak Thomas. Berbeda apabila disebutkan “timawakgn rumah da’ pak thomas” yang berarti bahwa tembawang itu adalah bekas rumah pak Thomas dan beberapa orang lainnya hal mana menunjukkan bahwa tembawang itu adalah bekas seberapa buah rumah hunian penduduk. - Tembawang kampung (timawakng redakng) ialah tanah bekas kampung (radakng) yang telah ditinggalkan dan diatasnya terdapat pohon buah-buahan tanaman keras. 2. Tanah Kompokng Kata Kompokng dapat diartikan sebagai kelompok, sehingga secara keseluruhan pengertian kata kompokng adalah sekelompok pohon buah-buahan tanaman keras seperti durian, langsat, cempedak, rambuatan dan lain-lain, biasanya terletak diatas tanah bekas pondok ladang (dango uma ataupun parokng). Tanah kompokng ini biasanya diberi nama menurut nama pemiliknya atau sekaligus menurut nama pohon buah dan nama pemiliknya. 3. Tanah Apokng Apokng adalah tanah bekas kampung yang telah ditinggalkan namun mungkin masih ada satu atau beberapa buah rumah yang masih bertahan atau munkgin semuanya sudah ditinggalkan hanya tinggal puing-puingnya saja yang masih ada. Oleh sebab itu kata “apokng” lebih tepat diartikan sebagai “rongsokan”. Diatas tanah apokng itu tentu saja terdapat tanam tumbuh pohon buah-buahan tanaman keras. Jika penghuni apokng itu semuanya sudah pindah, sehingga puing-puing bekas kampung itupun sudah tidak ada lagi karena sudah lama ditinggalkan maka tanah apokng itu disebut tembawang kampung (timawakng redakng). 4. Tanah Adat yang Berisi Tanam tumbuh lainnya Tanah adat yang berisi tanam-tumbuh, selain tanah tembawangtanah apokng dan tanah kompokng termasuk pula tanah adat yang berisi tanah-tumbuh lainnya seperti karet, kemiri dan lainlain, sehingga merupakan bukti tanam – tumbuh diatas tanah adat tersebut. C.Hutan Adat Masyarakat Dayak pada dasarnya tak pernah berani merusak tanah dan hutan secara internasional. Hutan, Bumi, Sungai, dan seluruh lingkungan adalah hidup itu sendiri. (Dr. Fridolin Ukur, 1992) Hutan adalah darah dan Napas (Apai Janggut, Sungai Utik) hal ini membuktikan Hutan memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat dayak karena hutan menjadi sumber penghidupan dan tempat dilakukanya ritual ritual adat. Hal ini dapat kita lihat secara khusus di Kalimantan barat Hutan Adat memiliki 2 jenis yaitu Hutan Adat yang fungsinya boleh diambil hasilnya demi keberlangsungan hidup masyarakat, dalam pengelolaan hutan tersebut diatur oleh “hukum adat” (Tembawang) dan yang ke 2 yaitu hutan keramat yaitu kawasan hutan yang digunakan untuk ritual ritual adat dan hutan ini hasilnya tidak boleh diambil siapa saja karena peruntukannya hanya digunakan untuk upacara adat (Padagi) Suku-suku Dayak di Kalimantan Barat semenjak dahulu kala telah mempunyai kawasan hutan adat yang dimanfaaatkan secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama pada setiap sub suku. Nama kawasan Hutan Adat itu berbeda-beda pada setiap sub suku, ada yang menyebutnya “Tanah Pasaro Palaya” Binua; ada yang menyebutnya “Tanah Binua”; dan ada yang menyebutnya “Tanah Palasar Palaya” binua. Wilayah yang masih mereka akui sebagai kawasan hutan adatnya ialah sejauh dimana masih kedengaran bunyi gong (sejenis alat musik tradisional) yang ditabuh dari perkampungan (Rumah Betang) mereka atau kurang lebih dalam radius 10 km dari perkampugan hunian mereka. Petuah-petuah nenek moyang mereka mencerminkan juga pandangan bersahabat terhadap alam. Misalnya “ame natak mutusatn, ame makatn ngabisats” (Tak perlu memotong sampai hancur, tak perlu makan sampai ludes), “Ular di pangkong ame mati, pamangkong ame patah, tanah ame lamakng” (ular dipukul jangan sampai mati, pemukul jangan patah, tanah jangan sampai cekung/rusak). 4.1.6 Struktur Kepemimpinan dan Tatanan Hukum Fungsionaris adat dilingkungan masyarakat adat merupakan organ-organ yang menjalankan fungsi peradilan adat. Peradilan adat itu sendiri merupakan proses atau tata cara dalam menangani serta menyelesaikan perkara atau sengketa adat. Di samping sebagai suatu proses, peradilan adat juga merupakan suatu lembaga adat, yang menjadi tempat atau wadah untuk menengani serta menyelesaikan perkara-perkara adat. Sebagai pelaksana peradilan adat, petugas hukum atau fungsionaris adat memliki tugas dan fungsi serta wewenang tersendiri secara struktural. Mengenai tugas dan fungsi serta wewenang para petugas hukum/fungsionaris adat di Dayak Kanayank sebagai berikut: A. Pangaraga/Pamane 1. Pangaraga/Pamane mempunyai tugas dan fungsi menangani dan menyelesaikan semua persoalan adat, terutama perkara-perkara ringan, baik antara antara warga di dusun maupun berlainan dusun. Dengan demikian berarti wewenang seorang Pangaraga/Pamane bukan hanya meliputi perkara yang terjadi antara warga dalam satu dusun, melainkan meliputi pihak luar. Apabila perkara itu terjadi dilingkungan atau menyangkut kepentingan warga serta dusunnya. 2. Pangaraga/Pamane merupakan fungsionaris adat tahap pertama yang berhak dan wajib menangani setiap perkara adat. Artinya apabila ada pelanggaranadat atau perselisihan maka yang pertama yang dihubungi dan yang akan menanganinya adalah Pangaraga/Pamane. Sebagai petugas hukum, Pangaraga/Pamane akan bertindak setelah ada laporan dari warga masyarakat tentang adanya perselisihan antar warga dan pelanggaran adat. Jadi pada azasnya 3. Pangaraga/Pamane baru akan bertindak setelah mendapat laporan(pemberitahuan) dari warga tentang peristiwa atau perselisihan adat. 4. Dalam menjalankan tugasnya Pangaraga/Pamane tidak dibantu dan apabila mengenai perkara adat yang ditangani hanya mengenai warga dalam dusunnya maka yang menanganinya tidak cukup hanya Pangaraganya saja, melainkan apabila perkara tersebut melibatkan warga dari dusun lainnya maka harus ada kerja sama dengan Pangara/Pamane dusun yang bersangkutan. Hal ini penting untuk diberitahuakan karena apabila salah satu Pangaraga/Pamane tidak diberitahu maka ia berhak menuntut Pangaraga/Pamane yang telah membelakanginya dalam menangai perkara yang menyangkut warganya. 5. Putusan adat yang dikeluarkan oleh Pangaraga merupakan putusan yang sudah bisa dilaksanakan, kecuali pihak-pihak yang berperkara masih belum puas atas putusan itu. Dalam hal yang demikian maka perkara tersebut akan di bawa atau diselesaikan pada jenjang yang lebih tinggi dari Pangaraga B. Pasirah 1. Pasirah berfungsi sebagai petugas hukum adat tahap kedua dalam menangani perkara adat. Pasirah bertugas menangani dan menyelasaikan perkara adat yang tidak atau belum dapat diseleaikan oleh Pangaraga/Pamane. Sama halnya dengan Pangaraga/Pamane, Pasirah memiliki kewenangan terutama terhadap perkara yang terjadi dalam wilayah hukumnya(Desa). Namun demikian dalam keadaan tertentu bila perkara yang terjadi menyangkut warganya, meskipun terjadi di wilayah bukan hukumnya , maka ia juga berhak diberitahu serta diikutsertakan dalam mengurus perkara itu. 2. Dalam menjalankan tugasnya menangani perkara adat Pasirah didampingi oleh Pangaraga/Pamane. Sedangkan putusan adat yang dikeluarkan merupakan putusan adat yang sudah bisa dilaksanakan, kecuali pihak yang besengketa/ berselisih belum menerima. Maka perkara tersebut akan diajukan dan ditangani oleh temenggung. C. Temenggung 1. Tugas dan fungsi Temenggung dibidang adat dan hukum adat merupakan pejabat tertinggi ditingkat Binua. Temenggung bertugas menangani dan menyelesaikan perkara adat yang tidak atau belum dapat diselesaikan oleh Pasirah. Lain halnya dengan Pangaraga dan Pasirah, Temenggung wilayah hukumnya ditahap Binua, yang meliputi beberapa wilayah desa dan dusun dibawahnya. 2. Dalam menjalankan tugasnya yang menangani perkara adat, Temenggung dibantu oleh wakilnya (Gapit Temenggung) yang juga dipilih oleh masyarakat. Sedangkan putusan adat yang dikeluarkan merupakan keputusan yang sudah bisa dilakukan/dilaksanakan, kecuali pihak yang bersengketa belum menerima. Maka perkara tersebut akan diajukan dan ditangani oleh Dewan Adat Kecamatan. 3. Tetapi pada kenyatannya, keputusan adat yang dkeluarkan oleh Temenggung jarang tidak dilaksanakan. Dengan kata lain bahwa perkara adat yang ditanagani oleh Temenggung belum ada yang sampai ketahap Dewan Adat Kecamatan apalagi Dewan Adat Kabupaten, dalam hal ini pihak bersengketa merasa puas atas keputusan yang dikeluarkan oleh Temenggung tersebut. Pelanggaran terhadap ketentuan adat Dikenakan sanksi adat uang 4 (empat) real , uang 6 (enam) real, uang 8 (delapan) real disesuaikan dengan amar domong adat (hakim adat). Adat Hak Atas Tanah Tumbuh di atas Tanah yang dikuasai menurut adat-istiadat yakni kesalahan atas tanam tumbuh atas tanah yang dikuasai menurut adat-istiadat atau milik adat yang dirusak orang lain/perusahaan akan dikenakan sanksi adat uang 4 (empat) real lengkap beserta ganti rugi terhadap tanaman yang dirusak . Untuk perdata adat, Model penyelesaian sengketa tanah adat secara perdata dalam perspektif Dayak Tobak melalui cara “pekara’” dimana prosesnya dengan cara mengajukan penyelesaian sengketa tersebut kepada pengurus adat. Secara hierarkial susunan pengurus adat (domong adat) Dayak Tobak antara lain: 1. Pesirah mengadili/menanggani perkara adat 2 real, wilayah kerjanya setingkat RT (setingkat ketua RT). 2. Lawang Agong mengadili/menanggani perkara adat 4 real, wilayah kerjanya setingkat RW (Setingkat ketua RW). 3. Jaya mengadili/menanggani perkara adat 6 real, wilayah kerjanya setingkat dusun (setingkat kepala dusun) 4. Temanggung adat mengadili/menanggani perkara adat 8 real dan wilayah kerjanya setingkat desa. Ia membawahi beberapa jaya (setingkat kepala desa). 5. Pati adat mengadili/menanggani perkara adat 12 real dan kedudukannya membawahi beberapa temenggung adat. Cara pengajuan perkara kepada pengurus adat berdasarkan kewenangan dari masing-masing pengurus, dimulai dari tingkat peradilan terendah hingga ke tingkat tertinggi. Proses ini hampir sama dengan peradilan negara (baca : banding atau kasasi). Pihak yang berperkara harus membayar uang sapu meja (uang biaya perkara) sebesar kewenangan yang dimiliki oleh hakim adat tersebut. Jika upaya di atas tidak menemukan upaya penyelesaiannya, biasanya para pihak yang bersengketa menyelesaikannya melalui ”sumpah dalam ae” (bersumpah dengan menyelam dalam air). Sebelum dilakukan acara sumpah tersebut, para pihak yang bersengketa akan dipomang (dibacai mantera). Biasanya pihak yang kalah akan timbul duluan karena sungai tempat menyelam tersebut sudah dimanterai terlebih dahulu sehingga memiliki makna magis dan kekuatan gaib. Kelembagaan adat ini berbeda-beda pada setiap sub suku dayak, ada yang berjenjang 3 atau lebih. Struktur kelembagaan Dayak Iban Temenggong (Kepala Negara) Dibantu Patih (Ketua beberapa Tuai Rumah) Kepala Rumah Panjang atau Tuai Rumah Dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di masyarakat maka dilakukan musyawarah untuk penyelesaiannya, jika tidak tercapai, dilakukan prosesi adat seperti sabung ayam, selam dan celup air panas, dalam prosesi adat tersebut dilarang keras untuk tepuk tangan. Selain struktur di atas, dayak Iban membentuk Forum masyarakat adat Kaum Bijagoi, yang terdiri dari dua desa yaitu jagoi Babang dan Sekida Kindau. Struktur kelembagaan Adat Binua Jagoi Ketua Adat (perdesa) Kepala Binua ( 2 desa ) Suku kaum ( 5 desa) dayak Iban mempunyai subsub suku jagoi terdiri 3 dusun : dusun babang, taki dan risau sedangkan dayak bidayuh subsub suku nya di jagoi : suku bekati lara, suku jagoi, suku bidoi Sanksi adat untuk subsub suku bijagoi adalah penggantian berupa buah yang dihitung per mangkok @ 12 buah, jika sanksi 2 buah berarti mengganti 24 mangkok. 1. Dayak Bidayuh Masyarakat Bidayuh memiliki hubungan yang erat dengan masyarakat Malaysia karena adanya hubungan keluarga dengan dayak bidayuh di serikin, Kuching, bintulu dan lubuk anthu. Penduduk suku dayak Bidayuh yang ada di kecamatan Jagoi tersebar di lima desa yaitu desa jagoi babang, jagoi Belidak, Jagoi Kindau Jagoi Take dan Sejaro. Kepala wilayah adat disebut juga kepala Binua membawahi semua kepala adat yang berada di Binua jagoi.Kepala Binua berkoordinasi dengan kepala adat di seluruh binua Jagoi. Kepala Adat suku dayak Binayuh yang ada di di Binua jagoi berdomisili di jagoi babang, Jagoi Belidak, jagoi Kindau, Jagoi Take dan Sejaro. Tugas kepala adat melakukan penyelesaian kasus dan menjatuhkan hukuman adat kepada para pelanggar adat dengan dibantu oleh Penyiah dan Pengalang yang bertindak sebagai asisten kepala adat. Struktur kelembagaan masyarakat Adat dayak Binayuh di Bengkayang Kepala Binua Temenggong Binua Kepala Adat Penyiah Pengalang 2. Dayak Bakati Sub suku Bekati sebagian besar mendiami wilayah utara Kabupaten Sambas, di Kecamatan Pemangkat, Bengkayang, Ledo, Sangau Ledo, dan Seluas. Dari segi etnolinguistik orang Bekati dapat dibagi dalam tiga aksen atau dialek besar, yaitu orang Bekati yang menggunakan bahasa Bekati Riok, Bekati Sara, dan Bekati Lara. Untuk sub suku dayak Bakati, wilayah yang terbesar dalam lingkup adat disebut Binua dan dikepalai oleh seorang Ama Bide. Ada beberapa wilayah kebinuaan adat dayak Bakati yaitu 1)binua adat serangkat, 2) binua adat lumar, 3)binua adat gerantukng, 4)binua adat serantak, 5) binua adat ledo, 6) binua adat reok (disanggau) dan binua adat sungkung. Dalam penyelenggaraan adat dayak bakati yang masih kuat dan hidup di Bengkayang terdapat di Binua Lumar. Binua Lumar berada di wilayah kota Bengkayang sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan. Struktur kelembagaan adat dayak Bakati yang tertinggi adalah Ama Bide,Rakng Kaya, Kepala Adat dan Kepala Burong. Tugas Ama Bide adalah mengatur batas antar binua, menangani kasus yang tidak bisa diselesaikan oleh kepala adat atau temenggong dan ran Kaye, menjadi penasehat bagi para kepala adat maupun rakng kaye termasuk masyarakat, serta menjaga tempat keramat yang masih dihormati masyarakatnya. Adapun wewenang kepala adat sebatas wilayah kampong. Sedangkan kepala burung bertanggung jawab terhadap satu wilayah kampong atau RT dan memiliki keahlian khusus sehingga masa jabatannya tak terbatas. 3. Struktur kelembagaan suku dayak kanayatn sub suku bukit talaga Hukum adat Dayak Kanayatn mempunyai satuan wilayah teritorial yang dusebut binua. Binua merupakan wilayah yang terdiri dari beberapa kampung (dulunya Radakng/Bantang). Masing masing binua punya otonominya sendiri, sehingga komunitas binua yang satu tidak dapat mengintervensi hukum adat di binua lain Setiap binua dipimpin oleh seorang timanggong (kepala desa). timanggong memiliki jajaran-bawahan yaitu pasirah(pengurus adat) dan pangaraga (pengacara adat). Ketiga pilar inilah yang menjadi lembaga adat Dayak Kanayatn. Pemilihan temanggong dilakukan oleh Pasirah, adapun kriteria untuk dipilih yang bersangkutan sudah pernah menjadi pengurus adat. Sanksi adat diberikan jika terjadi pelanggaran adat antara lain berladang di hutan cadangan dikenakan siam pahar, hukumannya adalah 3 tahlil, 1 tahlil sama dengan 8 pinggan ditambah 1 ekor babi dan 1 ekor anjing. Sistem pertalian darah suku Dayak Kanayatn menggunakan sistem bilineal/parental (ayah dan ibu). Dalam mengurai hubungan kekerabatan, seorang anak dapat mengikuti jalur ayah maupun ibu. Hubungan kekerabatan terputus pada sepupu delapan kali. Hubungan kekerabatan ini penting karena hubungan ini menjadi pertimbangan terutama pada perkara perkawinan. Hal ini dimaksudkan agar tidak merusak keturunan. 4. Struktur kelembagaan suku dayak kanayatn binua Sami dua Timenggong dipilih oleh masyarakat secara langsung, saat ini yang menjadi timenggong adalah Mait Entok yang diangkat menjadi timenggong sejak tahun 1975. Jika ada pelanggaran, maka dikenakan sanksi adat berupa 3 tahil yaitu 10 emas plus babi. 5. Struktur kelembagaan suku dayak tarangk desa tae Gambar 2. Tumenggung Mait Entok, Binua Sami Dua, Dusun Kubu Kereng, Kab. Landak. 4.2 Profil Kalimantan Tengah Provinsi Kalimantan Tengah luasnya 153.564,50 Km2 dengan jumlah penduduk 2.514.375 jiwa.Secara administrasi provinsi ini terdiri dari 13 Kabupaten, 1 Kotamadya, 131 Kecamatan, 130 Kelurahan dan 1.339 desa. Kota dan Kabupaten antara lain : 1. Kabupaten Barito Utara dengan Ibukota Muara Teweh; 2. Kabupaten Murung Raya dengan Ibukota Puruk Cahu; 3. Kabupaten Barito Selatan dengan lbukota Buntok; 4. Kabupaten Barito Timur dengan lbukota Tamiang Layang; 5. Kabupaten Kotawaringin Barat dengan Ibukota Pangkalan Bun; 6. Kabupaten Sukamara dengan lbukota Sukamara; 7. Kabupaten Lamandau dengan Ibukota Nanga Bulik; 8. Kabupaten Kotawaringin Timur dengan Ibukota Sampit; 9. Kabupaten Seruyan dengan lbukota Kuala Pembuang; 10. Kabupaten Katingan dengan Ibukota Kasongan; 11. Kabupaten Kapuas dengan Ibukota Kuala Kapuas; 12. Kabupaten Gunung Mas dengan Ibukota Kuala Kurun; 13. Kabupaten Pulang Pisau dengan Ibukota Pulang Pisau; 14. Kota Palangkaraya. Adapun komposisi etnis di Kalteng berdasarkan sensus tahun 2000 terdiri suku Banjar (24,20%), Jawa (18,06%), Ngaju (18,02%), Dayak Sampit (9,57%), Bakumpai (7,51%), Madura (3,46%), Katingan (3,34%) dan Maanyan (2,80%). Besarnya proporsi Suku Banjar dan Jawa di Kalimantan Tengah karena perantauan orang Banjar asal Kalimantan Selatan dan transmigrasi asal Jawa yang cukup besar ke Kalimantan Tengah. Jika digabungkan jumlah suku Dayak di Kalimantan Tengah (Ngaju, Sampit, Bakumpai, Katingan, Maanyan) mencapai 41,24%. Data dari Informan menyebutkan bahwa Dayak di Kalimantan Tengah terdiri dari Dayak Ngaju, Ot Danum, manyaan (Kab. Barito Timur) dan Lawangan. Bahasa Dayak yang dominan digunakan oleh Suku Dayak di Kalimantan Tengah, diantaranya Bahasa Ngaju yang digunakan di daerah Sungai Kahayan dan Kapuas. Bahasa Bakumpai dan Bahasa Maanyan dituturkan oleh penduduk di sepanjang daerah aliran sungai Barito dan sekitarnya dan Bahasa Ot Danum yang digunakan oleh suku Dayak Ot Danum di hulu sungai Kahayan dan sungai Kapuas. Secara sosiologis memetakan ciri-ciri komunitas dayak tidak mudah, sebab banyak jejak ciri-ciri Kedayakan dari suatu komunitas Dayak itu sudah mengalami infiltrasi pengaruh dari akibat interaksi dengan pihak colonial Belanda melalui kegiatan misi penginjilan beberapa abad lampau. Ada banyak sinkretisme yang sudah terjadi dalam tubuh tradisi adat istiadat komunitas dayak terutama sesudah Perjanjian Damai di Tumbang Anoi (1894). Tumbang Anoi dianggap sebagai tonggak sejarah masyarakat Dayak Kalimantan Tengah. Desa yang terletak di Kahayan hulu ini menjadi tempat dilaksanakannya kegiatan yang bertujuan untuk menghentikan praktek “mangayau” (head hunting), perbudakan (slavery) dan mencari akar permasalahan untuk menghentikan perang musuh. Perjanjian pada tahun 1894 kemudian menjadi symbol munculnya nama “Dayak” dan “masyarakat dayak” dari yang sebelumnya muncul dalam kelompok yang berbeda-beda. Dalam sejarah social di tanah Dayak terjadi persaingan sub-sub etnik Dayak Kalteng berdasarkan ego aliran-aliran sungai, di kalteng terdapat lima sungai besar yang mendasari letak egoism kewilayahan dan juga egoism kultural yaitu Barito, Kapuas, Kahayan, Katingan dan Arut. Falsafah masyarakat Kalimantan Tengah adalah Huma Betang yang mengandung arti berbeda-beda, akan tetapi tetap satu dan dilengkapi dengan falsafah "belum bahadat yang artinya bahwa manusia itu hidup berada pada suatu tempat menjunjung tinggi etika dan estetika antara adat istiadat masyarakat setempat. BelumPenyang Hinje Simpei, artinya kehidupan dalam suatu daerah harus diwujudkan dalam hidup yang rukun dalam suatu kebersamaan. 4.2.1. Identifikasi Suku Pengertian dayak dalam Perda No 16 tahun 2008 (direvisi dengan Perda No. 1 tahun 2010) tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah, dinyatakan bahwa Dayak adalah rumpun atau himpunan suku penduduk asli Kalimantan Tengah yang mempunyai hak-hak adat, kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat dan hukum adat yang diakui sebagai wujud dari ke-Bineka Tunggal Ika-an, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. 1. Dayak Ngaju Pada umumnya menggunakan bahasa kapuas atau Kahayan disebut dengan “Ngaju” (umumnya terdapat di wilayah DAS Kapuas, DAS Kahayan) dan sebagian dari DAS Katingan, Mentaya dan Seruyan serta DAS Barito. 2. Dayak ma’anyan Menggunakan bahasa Ma’anyan (umunya terdapat di wilayah Barito Selatan dan Barito Timur-Tamiang Layang sekitarnya). 3. Dayak Dusun a. “Witu Maai” menggunakan bahasa Dusun Witu Maai (umumnya terdapat di wilayah Barito Selatan Desa Asem, desa Kalahien, desa Tanjung Jawa dan sekitarnya). b. “Bayan” menggunakan bahasa Dusun Bayan (umunya terdapat di wilayah Barito Utara desa Butong, desa Bintang Ninggi, desa Pendreh dan sekitarnya) c. “Wa” menggunakan bahasa Dusun wa (umumnya terdapat di wilayah Barito Utara desa Ruji, desa Pepas, desa Paring Laung, desa Tumpung Laung sebagian penduduk desa Montalat). d. “Malang” menggunakan bahasa Dusun Malang (umumnya terdapat di wilayah Barito Utara desa Karamuan, desa Banawo, desa Nihan, desa Tambau, desa Inu Lahei, desa Malawaken, desa Teluk Mayang, desa Jingah, desa Pendreh). e. “Taboyan” mengguakan bahasa Dusun Taboyan (umumnya terdapat di wilayah Barito Utara dan Barito Selatan ke arah Kalimantan Timur desa Banangin, Bawo, Kandui sekitarnya). f. “Baro” menggunakan bahasa Dusun Baro (umumnya terdapat di wilayah bagian Barito Selatan dan Barito Timur. g. “Lawangan” menggunakan bahasa Dusun Lawangan (umumnya terdapat di wilayah Barito Selatan bagian Timur seperti desa Amaph dan sekitarnya yakni antara perbatasan dengan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur) 4. Dayak Kotawaringin Timur a. Dayak Katingan menggunakan bahasa Katigan (umumnya terdapat pada sepanjang DAS Katingan) b. Dayak Kaninjal (umumnya terdapat di wilayah Kecamatan Seruyan Tengah ke hulu) c. Dayak Tamuan (umumnya terdapat di Sungai Cempaga dan Sungai Saranau) d. Dayak Sampit (umumnya terdapat pada aliran sungai Mentaya bagian Hilit, Sungai Sampit dan di kota Sampit itu sendiri). 5. Dayak Bakumpai Menggunakan bahasa Bakumpai menggunakan bahasa Bakumpai terdapat di daerah Sungai Barito, Barito Kuala secara “enclave” terdapat di Tumbang Samba, Katingan Tengah. 6. Dayak Ot-Danum Menggunakan bahasa Ot di mana terdapat logat Duhoi, Siang dan Murung (umumnya terdapat di perhuluan Sungai Barito/Murung, bagian hulu DAS Kapuas, DAS Kahayan, DAS Katingan/Samba; mulai dari hulu Sungai Rakaui dan Malawi (Mlahoi) ke hilir sampai Nanga Pinoh Kalimantan Barat). 7. Dayak Siang Menggunakan (logat) bahasa Siang yang para petuturnya dapat dijumpai di daerah Perhuluan Sungai Barito/Murung. 8. Dayak Kotawaringin Barat a. Panggilan (nama) suku dayak di pedalaman Kotawaringin Barat “umumnya” disebut sebagai “Orang Arut, Orang Lamandau, Orang Bulik, Orang Delang, dst... berdasarkan nama sungai di mana kampung yang bersangkutan berasal. b. dengan demikian, suku-suku Dayak di kotawaringin Barat terdiri dari Dayak orang: 1. Lamandau terdapat di sepanjang sungai Lamandau. 2. Arut terdapat di sepanjang sungai Arut. 3. Bulik terdapat di sepanjang sungai Bulik 4. Blantikan terdapat di sepanjang sungai Blantikan. 5. Delang terdapat di sepanjang sungai Delang. 6. Batang kawa terdapat di sepanjang sungai Batang Kawa. 7. Khusus Dayak Darat (orang darat) terdapat di desa Pasir Panjang (kecamatan Arut Selatan), di kecamatan Kotawaringan Lama, kecamatan Balai Riam dan kecamatan Bulik, mereka disebut bukan berdasarkan aliran sungai karena menyebar. 4.2.2. Hubungan masyarakat adat dengan tanah Tanah adat adalah tanah beserta isinya yang berada di wilayah Kedamangan dan atau di wilayah desa/kelurahan yang dikuasai berdasarkan hukum adat, baik berupa hutan maupun bukan hutan dengan luas dan batas-batas yang jelas, baik milik perorangan maupun milik bersama yang keberadaannya diakui oleh Damang Kepala Adat. Adapun Wilayah adat adalah wilayah satuan budaya tempat adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan hukum adat Dayak itu tumbuh, berkembang dan berlaku sehingga menjadi penyangga untuk memperkokoh keberadaan Masyarakat Adat Dayak bersangkutan. Tanah Adat milik bersama adalah tanah warisan leluhur turun temurunyang dikelola dan dimanfaatkan bersama-sama oleh para ahli waris sebagai sebuah komunitas, dalam hal ini dapat disejajarkan maknanya dengan Hak Ulayat. Sedangkan tanah adat milik perorangan adalah tanah milik pribadi yang diperoleh dari membuka hutan atau berladang, jual beli, hibah, warisan, dapat berupa kebun atau tanah yang ada tanam tumbuhnya maupun tanah kosong belaka. Dalam bahasa dayak Ngaju adat itu disebut dengan Hadat. Manusia wajib hidup bahadat artinya harus memiliki sopan santun dan tata kerama yang diikat oleh sanksi-sanksi hukum hadat. Norma-norma kehidupan yang telah diturunkan oleh leluhur dan terpelihara dengan baik oleh tua-tua adat dikenal dengan nama “Oloh bakas lewu”. Oloh bakas lewu berisikan ikatan lahiriah dan ikatan batin yang berhubungan dengan : (1) hubungan antar sesama manusia, (b) hubungan antar manusia dengan hukum keseimbangan kosmos. Hubungan keseimbangan kosmos itu diekspresikan dengan menyangkutkan hubungan harmonis manusia dengan manusia (suku-suku), manusia dengan alam lingkungan beserta isinya. Untuk mengkonkritkan hubungan-hubungan itu agar lebih mudah ditangkap oleh panca indera, suku Dayak membuatkan mereka “rumah” di lingkungan tempat tinggal mereka (di kawasan tanah adat). Rumah-rumah para dewa beragam wujudnya ada berupa hutan (Kaleka), tempat keramat, tempat pemujaan, Tempat kuburan (Situs-situs budaya sepertiSandung, Pantar, Sapundu dan lain sebagainya) tempat cadangan usaha (Petak Bahu), yaitu tanah yang sudah digarap untuk perladangan dan telah menjadi hutan yang ditandai dengan tanaman tumbuh di atasnya seperti pohon duren, cempedak, karet dan rotan. Pahewan/Tajahan (yaitu kawasan hutan yang dianggap keramat oleh masyarakat dan tidak boleh diganggu.Jika mengganggu dianggap melanggar pali dan diyakini akan mendapat sakit atau mengalami kesulitan selama hidupnya), Sepan, yaitu tempat berkumpulnya satwa dalam kawasan hutan tertentu, karena tempat tersebut mengeluarkan air hangat yang mengandung garam mineral dan disenangi oleh para satwa. Hutan Tutupan Adat yaitu kawasan hutan yang disepakati tertutup dari gangguan untuk sumber air dan tempat hewan-hewan maupun tumbuh-tumbuhan yang sangat bermanfaat bagi penduduk. Kawasan-kawasan tersebut hanya boleh dimanfaatkan/digunakan oleh anggota suku saja. Pemanfaatan kawasan-kawasan ini ada yang dilarang sama sekali, ada yang dapat dimanfaatkan secara terbatas, ada yang boleh dimanfaatkan pada saat saat tertentu saja tergantung adat kebiasaan setempat. Dapat dikatakan tempat-tempat itu sebagai “Kawasan Konservasi adat” yang akan tetap dipertahankan secara lestari. Perusakan atau penghilangan tempat-tempat tersebut di atas diyakini sebagai tindakan pemutusan hubungan keseimbangan kosmos dan kesucian (sakral) dengan dewa-dewa. Jika terputus, masyarakat berkeyakinan akan mendapat mala petaka, maksiat atau celaka atau musibah dengan kata lain menghambat terjadinya perdamaian dan keseimbangan hukum kosmos. Sistem pemanfaatan ruang dan kawasan pada masyarakat adat Dayak di Kalimantan Tengah sangat terikat dengan asas pemanfaatan dan keberlanjutan. Pola penguasaan dan pemamfaatan kawasan serta ruang tidak didasarkan pada penguasaan secara geo-politik. Tanah dan kawasan baru menjadi milik bersama atau individu apabila pada tanah dan kawasan itu terdapat bukti kuat kepemilikan seperti adanya perawatan atau tanam tumbuh yang pernah dilakukan sebelumnya. Prinsip penguasaan dan tata kelola selalu dilihat dalam sebuah sistem yang integral, karenanya penggelolaan kawasan selalu bertitik tolak pada suatu filosofi harmoni antara alam dan manusia. Pengelolaan, penguasaan dan pemamfaatan tersebut selalu berhubungan dengan konsep “ruang” dengan membagi kawasan dalam beberapa zonasi yang berhubungan dengan prinsip spatial-kultural. Komunitas Dayak Ngaju Tumbang Bahanei yang berada dalam wilayah kabupaten Gunung Mas kecamatan Rungan Barat, menuntut pengakuan atas wilayah adat nya, untuk itu mereka telah melakukan pemetaan wilayah adat secara partisipatif yang dituangkan dalam peta skala 1 : 18.000. Wilayah Adat tersebut luasnya 8.888 ha terbagi atas pemukiman seluas 12 ha dan hutan adat seluas 8876 ha. Di wilayah adat ini selain pemukiman terdapat juga tempat-tempat keramat seperti : a. Tajahan, merupakan suatu lokasi yang dikeramatkan oleh Suku Dayak yang beragama Kaharingan, dilokasi tajahan didirikan rumah berukuran kecil sebagai tempat untuk menaruh sesajen tanda persembahan kepada roh-roh halus yang bersemayam di tempat itu. Rumah kecil tersebut biasanya disertai dengan beberapa patung kecil yang merupakan symbol atau replica dari anggota keluarga yang sudah meninggal. Lokasi tajahan pada kawasan hutan lebat dimana pada lokasi itu dilarang menebang hutan, berburu dsb. b. Kaleka, merupakan daerah peninggalan nenek moyang suku Dayak yang ditandai dengan bekas tiang-tiang rumah betang/rumah panggung, pohon besar seperti durian, langsat, dsb. Lokasi tersebut dipelihara dan dilindungi pihak keluarga secar turun temurun sebagai harta waris yang peruntukan dan pemanfaatannya (seperti mengambil buah-buahan untuk kepentingan bersama. c. Sepan pahewan, merupakan tempat sumber mata air asin dimana binatang-binatang seperti rusa, kijang, kancil dll meminum air asin sebagai sumber mineral. Lokasi ini merupakan tempat perburuan suku dayak untuk memenuhi kebutuhan hewani oleh karenanya diperlihara dan dilindungi d. Pukung Himba, merupakan bagian dari kawasan hutan rimba yang dicadangkan untuk tidak ditebang karena fungsinya untuk pemindahan roh-roh halus(Gana) dari kawasan yang akan dijadikan ladang. Ciri-ciri daerah pukung himba umumnya wilayah yang berhutan lebat dan berumur tua dengan diameter vegetasi kayu berukuran relative besar, belum banyak terjamah oleh manusia dan banyak dihuni oleh satwa liar. Zonasi Hutan adat tersebut berdasarkan Peta Parsipatif yang dibuat Komunitas Wilayah Adat dibantu AMAN terdiri dari 9 Zona yaitu duyun seluas 938,22 ha, himba cagaran malam seluas 314,69 ha, Himba Gita seluas 5.841,32 ha, Himba Lakau seluas 446, 25 ha, Himba Rutas seluas 185,85 ha, Keramat Bukit gantung seluas 23,14 ha, pahewan seluas 436, 38 ha, Tajahan seluas 646,41 ha dan Bukit Kules seluas 43,66 ha. Batas Wilayah Adat tersebut menunjukkan Tumbang Bahanei berbatasan dengan Kelurahan Tumbang Rahuyan, Sei Antai, Tumbang Tuwe, Tusang Raya, Tehang dan Desa Tumbang Langgah. Pepatah masyarakat adat Tumbang Bahanei Tempun petak menana sare Tempun kajang bisa puat Tempun uyah batawah belai (punya tanah tapi di pinggir punya atap tapi kebasahan punya garam tapi tawar rasa) Hasil Wawancara di Batang Bahenei Kabupaten Gunung Mas bahwa cara-cara pemindah-tanganan hak atas tanah di dalam masyarakat Dayak dilakukan melalui : 1. Jual-beli (hajual haili), 2. Perwarisan, 3. Pemberian (panenga), 4. Tukar-menukar (tangkiri ramu), 5. Gadai Adat (sanda, hasanda) dan 6. Perkawinan (petak palaku). Biasanya Pemindahan hak atas tanah sering terjadi bilamana keluarga tertentu sangat membutuhkan uang untuk keperluan yang mendesak, seperti biaya sekolah anak di kota, biaya pengobatan, perkawinan, pesta upacara Tiwah, dan lain-lain. Kemudian agar wilayah adat dan hutan adat diketahui secara konkrit terutama luas dan letak-letaknya, masyarakat adat Tumbang Bahenei telah melakukan pemetaan partisipatif dengan bantuan AMAN Kalteng. Gambar 3. Wilayah Adat di Tumbang Bahanei, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah Dari informasi yang diperoleh dari Kasi Pemetaan Dinas Kehutanan, wilayah adat Tumbang Bahanei mayoritas merupakan hutan produksi (HP) dan Areal Penggunaan Lain (APL). Dalam Wilayah adat tersebut ada sebanyal 139 KK dengan komposisi mayoritas suku dayak, sedikit banjar dan jawa. Mata pencaharian penduduk antara lain menyadap karet dan emas. 4.2.3. Struktur Kepemimpinan dan Tatanan Hukum Adat. Dalam Perda dinyatakan bahwa Damang Kepala Adat adalah pimpinan adat dan Ketua Kerapatan Mantir Perdamaian Adat tingkat kecamatan yang berwenang menegakkan hukum adat Dayak dalam suatu wilayah adat yang pengangkatannya berdasarkan hasil pemilihan oleh para kepala desa/kelurahan, para ketua Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan, para Mantir Adat Kecamatan, para Ketua Kerapatan Mantir Adat Perdamaian desa/kelurahan yang termasuk dalam wilayah Kedamangan tersebut. Tindak lanjut dari Perda tersebut maka dikeluarkan Pergub No. 13 tahun 2009 ( direvisi dengan Pergub No. 4 tahun 2012) Tentang Tanah Adat Dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah Di Provinsi Kalimantan Tengah.Seorang Damang Kepala Adat dianggap tidak sah kalau tidak ada Surat Keputusan Bupati. Jadi, sah tidaknya Damang Kepala Adat itu bukan dari masyarakat adatnya, melainkan dari pemerintah. Lembaga Kedamangan sebagai salah satu unsur Kelembagaan Adat Dayak yang hidup, tumbuh dan berkembang bersamaan dengan sejarah Masyarakat Adat Dayak Kalimantan Tengah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, bersinergis dan didukung oleh Majelis Adat Dayak Nasional, Dewan Adat Dayak Provinsi, Dewan Adat Dayak Kabupaten/ Kota, Dewan Adat Dayak Kecamatan dan Dewan Adat Dayak Desa/Kelurahan. Damang Kepala Adat bertugas : a. menegakkan hukum adat dan menjaga wibawa lembaga adat Kedamangan ; b. membantu kelancaran pelaksanaan eksekusi dalam perkara perdata yang mempunyai kekuatan hukum tetap, apabila diminta oleh pejabat yang berwenang; c. menyelesaikan perselisihan dan atau pelanggaran adat, dimungkinkan juga masalah-masalah yang termasuk dalam perkara pidana, baik dalam pemeriksaan pertama maupun dalam sidang penyelesaian terakhir sebagaimana lazimnya menurut adat yang berlaku ; d. berusaha untuk menyelesaikan dengan cara damai jika terdapat perselisihan intern suku dan antara satu suku dengan suku lain yang berada di wilayahnya ; e. memberikan pertimbangan baik diminta maupun tidak diminta kepada pemerintah daerah tentang masalah yang berhubungan dengan tugasnya ; f. memelihara, mengembangkan dan menggali kesenian dan kebudayaan asli daerah serta memelihara benda-benda dan tempattempat bersejarah warisan nenek moyang ; g. membantu pemerintah daerah dalam mengusahakan kelancaran pelaksanaan pembangunan di segala bidang, terutama bidang adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan hukum adat; h. mengukuhkan secara adat apabila diminta oleh masyarakat adat setempat para pejabat publik dan pejabat lainnya yang telah dilantik sebagai penghormatan adat; i. dapat memberikan kedudukan hukum menurut hukum adat terhadap hal-hal yang menyangkut adanya persengketaan atau perkara perdata adat jika diminta oleh pihak yang berkepentingan; j. menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat Dayak, dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan Dayak pada khususnya ; k. mengelola hak-hak adat, harta kekayaan adat atau harta kekayaan Kedamangan untuk mempertahankan bahkan meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke rah yang lebih baik; l. menetapkan besarnya uang sidang, uang meja, uang komisi, uang jalan, dan lap tunggal dalam rangka pelayanan /penyelesaian kasus dan atau sengketa oleh Kerapatan Mantir Perdamaian Adat, baik tingkat kecamatan maupun tingkat desa/kelurahan. Fungsi Damang Kepala Adat adalah: a. mengurus, melestarikan, memberdayakan dan mengembangkan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, hukum adat dan lembaga kedamangan yang dipimpinnya; b. menegakkan hukum adat dengan menangani kasus dan atau sengketa berdasarkan hukum adat dan merupakan peradilan adat tingkat terakhir; dan c. sebagai penengah dan pendamai atas sengketa yang timbul dalam masyarakat berdasarkan hukum adat. Selain fungsi di atas, Damang Kepala Adat juga mempunyai fungsi selaku inisiator untuk membawa penyelesaian terakhir sengketa antara para Damang terkait tugas danfungsinya kepada Dewan Adat Dayak Kabupaten/Kota. Damang juga diberi wewenang menerbitkan Surat Keterangan Tanah (SKT) Adat dan Hak-hak Adat Di Atas Tanah, Yang dimaksud dengan surat keterangan tanah adat (SKTA) adalah surat tanda bukti pengakuan lembaga Kedamangan atas tanah hak adat atau hakhak adat di atas tanah tersebut. Surat keterangan tanah adat dimaksud apabila dikehendaki oleh pemegang haknya, dapat dijadikan bukti untuk didaftarkan sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria. Dalam menetapkan Surat Keterangan Tanah Adat (SKTA) dan Hak-hak Adat Di Atas Tanah Damang Kepala Adat wajib mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a. Bukti tertulis terdahulu (kalau ada) b. Bukti penguasaan fisik c. Bukti saksi d. Bukti pengakuan yang bersangkutan e. Berita Acara Hasil Kerapatan Mantir Perdamaian Adat Damang dibantu oleh Sekretaris Damang dalam hal pengarsipan terkait surat menyurat yang berkaitan dengan masalah hukum adat baik berupa ranah pidana maupun perdata. Sekretaris Damang juga mempunyai fungsi sebagai panitera peradilan adat, menerima laporan masalah sengketa adat sekaligus mengatur tentang adminitrasi pembiayaan persidangan adat. Selanjutnya terdapat Kerapatan Mantir Adat atau Kerapatan Let Adat, yaitu perangkat adat pembantu Damang atau gelar bagi anggota Kerapatan Mantir Perdamaian Adat yang ada di tingkat kecamatan dan anggota Kerapatan Mantir Perdamaian Adat tingkat Desa/Kelurahan, berfungsi sebagai peradilan adat yang berwenang membantu Damang Kepala Adat dalam menegakkan hokum adat Dayak di wilayahnya. Kerapatan Mantir Adat berdasarkan Pergub No.13 Tahun 2009 mempunyai fungsi mengatur tentang kepemilikan, pengelolaan, penguasaan, pemanfaatan maupun pengalihan kepemilikan tanah adat dan hak‐hak adat di atas tanah. Kerapatan Mantir Adat juga menerbitkan Berita Acara terkait adanya permohonan pembuatan SKTA berdasarkan hasil musyarah Kerapatan Mantir yang disahkan oleh Damang. Ketetapan hasil musyarah Kerapatan Mantir bersifaf mengikat bagi masyarakat adat Dayak. Dalam penerbitan SKTA ini sering menimbulkan gesekan dengan aparat desa, karena Damang dianggap sering mengeluarkan SKTA dalam luasan yang terlalu besar dan berpotensi tumpang tindih, selain itu Damang tidak membuat riwayat tanah sehingga menimbulkan keraguan bagi BPN untuk memproses alas haknya. BPN mensyaratkan dalam proses permohonan hak SKTA harus disertai dengan Surat Pernyataan yang dibuat aparat Desa. Untuk mengendalikan penguasaan tanah dalam jumlah besar atau sangat luas maka perlu ada pembatasan penguasaan tanah milik bersama ataupun tanah milik perorangan. Dalam sistem Hukum Adat Dayak di Palangkaraya, juga diatur mengenai sanksi adat. Sanksi adat jipen atau singer mempunyai peran dalam kehidupan masyarakat Dayak, setiap pelanggaran aturan adat harus diberi sanksi (jipen/singer) yang berfungsi sebagai sarana untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu. Sanksi jipen merupakan sanksi yang sangat ditakuti dalam masyarakat adat, namun akhir-akhir ini sanksi adat jipen banyak mendapat tanggapan antara pro dan kontra. Bahkan ada sebagian pihak yang menganggap sanksi jipen sudah tidak relevan . Menurut Nathan Ilun, sebagaimana dikutif oleh Herdiwang Tabat, menyatakan untuk saat ini sudah tidak tepat lagi menggunakan istilah jipen dan lebih tepat disebut singer. Sebenarnya istilah jipen dan singer mengandung pengertian yang sama yaitu sanksi adat. Berbagai jenis sanksi jipen/singer yang masih hidup di masyarakat dapat dikelompokan menjadi 3 kelompok, yaitu : 1). Mengganti kerugian dalam berbagai rupa, seperti pembayaran uang adat kepada orang yang terkena, menyerahkan barang adat seperti guci, gong, pisau mandau sebagai pengganti kerugian rohani. 2). Melaksanakan upacara adat (korban) untuk pembersihan batin si korban, membersihkan masyarakat dari segala aib, sebagai bentuk permohonan maaf si pelaku kepada para leluhur secara rohaniah. 3). Pengasingan (dikucilkan) dari masyarakat diluar tata hukum, bentuk pertangung jawaban secara batiniah si pelaku atas pelanggaran adat yang dilakukannya. Pada prinsipnya, penjatuhan sanksi adat jipen adalah sebagai tindakan hukum bukan ditujukan sebagai pembalasan atas tindakan pelanggar hukum adat, melainkan lebih ditujukan sebagai sarana untuk mengenbalikan suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat adat, baik dalam kehidupan duniawi nyata mapun dunia tidak nyata (gaib), baik secara batiniah maupun secara rohaniah sehingga perlu adanya pembersihan. Apabila suatu kasus sulit untuk dibuktikan, karena pihak yang disangkakan telah melakukan pelanggaran hukum adat tetapi tidak mau mengakuinya, maka Kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat dapat melakukan upaya terakhir dengan melaksanakan “Sumpah Adat” yang berlaku di wilayah kedamangan bersangkutan. Sumpah Adat adalah upaya terakhir yang dapat dilakukan oleh Damang beserta para Mantir Adat dalam menangani suatu perkara atau sengketa adat yang pembuktiannya menemui jalan buntu. Sumpah adat atau dapat juga disebut “Sumpah Pemutus” dilakukan menurut tata cara hukum adat setempat dengan penuh pertimbangan dan kehatihatian, hanya dilakukan sebagai upaya terakhir dan sangat terpaksa. 4.3. Profil Kalimantan Timur Kalimantan Timur merupakan provinsi yang terletak di bagian ujung timur Pulau Kalimantan yang berbatasan dengan Malaysia, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi. Luas provinsi mencapai 129.066,64 km² dan populasi sebesar 3.6 juta. Kaltim merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk terendah keempat di nusantara. Hasil utama provinsi ini adalah hasil tambang seperti minyak, gas alam dan batu bara. Sektor lain yang kini sedang berkembang adalah agrikultur, pariwisata dan industri pengolahan. Setelah pembentukan provinsi Kalimantan Utara, Kalimantan Timur kini terbagi menjadi 7 kabupaten dan 3 kota, antara lain: No. Kabupaten/Kota Ibu kota 1 Kabupaten Berau Tanjung Redeb 2 Kabupaten Kutai Barat Sendawar 3 Kabupaten Kutai Kartanegara Tenggarong 4 Kabupaten Kutai Timur Sangatta 5 Kabupaten Paser Tana Paser 6 Kabupaten Penajam Paser Utara Penajam 7 Kabupaten Mahakam Ulu Ujoh Bilang 8 Kota Balikpapan 9 Kota Bontang 10 Kota Samarinda Penduduk di Kalimantan Timur dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu : 1. Kelompok suku melayu (Melayu Muda) Pada umumnya kelompok ini mendiami daerah pesisir pantai atau daerah sepanjang sungai besar. Termasuk dalam kelompok ini antara lain suku Bulongan, Tidung, Berau Bajau, Kutai dan lain-lainnya. Suku Melayu yang kemudian dating ialah suku Banjar dan suku Bugis. Bermukimnya suku Banjar di daerah ini untuk pertama kali pada waktu Kerajaan Kutai Kertanegara tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Banjar. 2. Kelompok suku Dayak ( Melayu Tua) Semua penduduk di pedalaman Pulau Kalimantan disebut suku bangsa Dayak. Mereka merupakan penduduk asli Pulau Kalimantan yang tergolong dalam suku bangsa Melayu Tua. Penduduk asli pada mulanya tidak mengenal nama Dayak yang diberikan kepada mereka karena mereka mereka menyebut suku mereka menurut tempat atau daerah kediaman masing-masing yang umumnya menurut sungai yang mengalir di daerahnya. Pemakaian istilah dayak untuk menandai suku asli yang mendiami Pulau Kalimantan ini pertama kali dipergunakan oleh Dr August Hardeland sekitar tahun 1859, istilah mana selanjutnya dipergunakan oleh para antropolog seperti Dr HJ Mallinckrodt, Van Vollenhoven, dan lain-lainnya. Tabel.3 Komposisi Suku Bangsa di Kalimantan Timur berdasarkan Sensus 2000, yaitu: Nomor Suku Bangsa Jumlah Konsentrasi 1 Suku Jawa 721.351 29,55% 2 Suku Bugis 445.820 18,26% 3 Suku Banjar 340.381 13,94% 4 Suku Dayak [21] 241.846 9,91% 5 Suku Kutai 224.859 9,21% 6 Suku Toraja 47.877 1,96% 7 Suku Sunda 38.941 1,59% 8 Suku Madura 30.181 1,24% 9 Suku-suku lainnya 350.277 14,34% Total 2.441.533 100,00% Ditinjau dari lingkungan hukum adatnya terbagi menjadi dua kelompok suku : Kelompok Hukum Adat Melayu 1. Rumpun Banjar : a. Suku Banjar : Balikpapan, Samarinda b. Suku Berau : Berau 2. Rumpun Bangsamoro a. Suku Bajau : Berau 3. Kelompok Hukum Adat Dayak a. Rumpun Ot Danum (d/h Rumpun Dusun Lawangan) 1) Suku Paser : Paser, Penajam Paser Utara 2) Suku Tunjung : Kutai Barat 3) Suku Benuaq : Kutai Barat 4) Suku Bentian : Kutai Barat 5) Suku Kutai : Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Kutai Barat b. Rumpun Punan 1) Suku Bukat : Kutai Barat 2) Suku Busang : Kutai Barat 3) Suku Ohong : Kutai Barat 4) Suku Penihing : Kutai Barat 5) Suku Punan : Kutai Barat 6) Suku Modang : Kutai Timur 7) Suku Basap : Bontang 8) Suku Ahe : Berau 9) Suku Punan Sului 10) Suku Punan Beketan 11) Suku Punan Murut 12) Suku Badeng 13) Suku Bakung Metulang 14) Suku Merab 15) Suku Wehea : Muara Wahau, Kutai Timur c. Rumpun Apo Kayan 1) Suku Kenyah : Malinau, rumpun Apo Kayan 2) Suku Kayan : Kutai Barat, rumpun Apo Kayan 3) Suku Bahau : Kutai Barat, rumpun Apo Kayan 4) Suku Kenyah Umaq Tau 5) Suku Kenyah Umaq Jalan 6) Suku Umaq Alim 7) Suku Umaq Baqa 8) Suku Umaq Lasan 9) Suku Lapo Kulit 10) Suku Lapo Bakung 11) Suku Lapo Timai 12) Suku Lapo Tukung 13) Suku Lapo Bem 14) Suku Lapo Ke 15) Suku Lapo Ngibun 16) Suku Lapo Maut 17) Suku Saq 18) Suku Huang Tering 19) Suku Seputan 20) Suku Long Gelat 21) Suku Long Paka 22) Suku Touk d. Rumpun Murut (d/h Rumpun Tidung) 1) Suku Tidung : Tarakan-Tana Tidung-Malinau-Nunukan-Bulungan 2) Suku Bulungan : Bulungan 3) Suku Tagol : Malinau 4) Suku Berusu : Malinau 5) Suku Lundayeh : Malinau 6) Suku Tingalan : Tana Tidung 7) Suku Abai : Tana Tidung Suku Paser dan Suku Kutai mengikuti sebagian besar adat melayu selama keberjalanannya, namun suku tersebut tetap digolongkan ke dalam Suku Dayak karena dinilai berdasarkan budayanya, sejarah budayanya, dan geneologi, suku tersebut masuk ke dalam rumpun ot danum. Sampel penelitian yang dipilih adalah Kabupaten Kutai Barat. Kabupaten Kutai Barat adalah salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia dengan Ibukota Sendawar yang merupakan pemekaran dari wilayah Kabupaten Kutai yang telah ditetapkan berdasarkan UU.Nomor 47 Tahun 1999. Dengan luas sekitar 31.628,70 Km2 atau kurang lebih 15 persen dari luas Provinsi Kalimantan Timur dan berpenduduk sebanyak 165.934 jiwa. Kabupaten Kutai Barat merupakan kabupaten baru hasil pemekaran dari kabupaten Kutai yang dibentuk berdasarkan UU No. 47 Tahun 1999. Kemudian berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2013, Kabupaten Kutai Barat dimekarkan lagi melahirkan kabupaten baru yaitu Kabupaten Mahakam Ulu. Semula Kabupaten Kutai Barat terbagi menjadi 21 Kecamatan dan 238 Kampung. Kedua Puluh Satu Kecamatan tersebut adalah Kecamatan Bongan, Kecamatan Jempang, Kecamatan Penyinggahan, Kecamatan Muara Pahu, Kecamatan Muara Lawa, Kecamatan Damai, Kecamatan Barong Tongkok, Kecamatan Melak, Kecamatan Long Iram, Kecamatan Long Hubung, Kecamatan Long Bagun, Kecamatan Long Pahangai, Kecamatan Long Apari, Kecamatan Bentian Besar, Kecamatan Linggang Bigung, Kecamatan Nyuatan, Kecamatan Siluq Ngurai, Kecamatan Manor Bulatn, Kecamatan Sekolaq Darat, Kecamatan Tering dan Kecamatan Laham. Berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2013, Kabupaten Kutai Barat dimekarkan lagi melahirkan kabupaten baru yaitu Kabupaten Mahakam Ulu. Setelah pemekaran tinggal 15 kecamatan yang bertahan bergabung dalam Kabupaten Kutai Barat, Kecamatan yang masuk ke Kabupaten Mahakam Ulu adalah Kecamatan Long Apari, Long Pahangai, Long Bagun, Long Hubung dan Laham. Setelah pemekaran tinggal 15 kecamatan yang bertahan bergabung dalam Kabupaten Kutai Barat, terkecuali Kecamatan Long Apari, Long Pahangai, Long Bagun, Long Hubung dan Laham menjadi bagian Kabupaten Mahakam Ulu. Bupati saat ini dijabat oleh Ismael Thomas, SH., M.Si. dan wakil bupati dijabat oleh H. Didik Effendi, S.Sos., M.Si. Gambar.4 Wawancara dengan AMAN Kalimantan Timur 4.3.1. Identifikasi Suku Secara geografis Kutai Barat terletak di antara 113045’05”-116031’19” BT dan 1031’35”-1010’16” LS. Kabupaten Kutai Barat ini berbatasan dengan: 1. Utara Kabupaten Mahakam Ulu,Kabupaten Malinau dan serawak. 2. Selatan Kabupaten Paser. 3. Barat Kabupaten Barito Utara, Kabupaten Murung Raya (Kalteng), Kabupaten Kapuas Hulu (Kalbar), 4. Timur Kabupaten Kutai Kartanegara. Letak Desa-desa pada umumnya berada di Daerah tepian sungai (119 desa), di daerah dataran (86 desa) dan di lereng/punggung bukit (18 desa). Mayoritas Penduduk Kabupaten Kutai Barat adalah Masyarakat Adat yang terdiri dari bermacam suku Dayak, bahasa, adat-istiadat serta kultur dan budayanya. Konsepsi kepemilikan wilayah-wilayah Adat (kawasan kelola) dipahami mereka secara utuh dalam satu kesatuan berdasarkan faktor genealogis dan teritorial yang ada, berdasarkan asal usul (sejarah) yang sudah ada secara turun-temurun jauh sebelum Republik Indonesia ada. Tabel. 4. Suku bangsa di Kutai Barat antara lain: No. Suku Bangsa Prosentase 1 Suku Dayak Tunjung 24,2 % 2 Suku Dayak Benuaq 19,9 % 3 Suku Kutai 15,5 % 4 Suku Jawa 10,7 % 5 Suku Dayak Bahau 9,3 % 6 Suku Banjar 4,5 % 7 Suku Bugis 3,2 % 8 Suku Dayak Kenyah 2,4 % 9 Suku Dayak Bentian 2,3 % 10 Suku Dayak Bakumpai 1,7 % 11 Suku Dayak Penihing/Aoheng 1,7 % 12 Suku Dayak Kayan 1,4 % 13 Suku Dayak Seputan 0,6 % 14 Suku Dayak Bukat 0,2 % 15 Suku Dayak Luangan 0,2 % 16 Suku Batak 0,2 % Menurut Soetoen dalam SFMP Dokumen No. 11 tahun 1997 Hal. 23 mengatakan bahwa penduduk asli kalimantan Timur bukan hanya suku dayak saja, melainkan juga orang kutai. Orang kutai tersebar sepanjang sungai mahakam dan merupakan orang-orang yang dahulu loyal kepada Sultan Kutai. Berdasarkan kepercayaan penduduk, daerah Kutai dahulunya didiami oleh lima puak, yaitu; 1. Puak Pantun, yang mendiami daerah sekitar Muara Ancalong dan Muara Kaman 2. Puak Punang, yang m,endiami sekitar wilayah Muara Muntai dan Kota Bangun 3. Puak Pahu, yang mendiami daerah sekitar Muara Pahu 4. Puak Tulur Dijanghkat, yang mendiami daerah sekitar Barong Tongkok dan Melak 5. Puak Melani, yang mendiami wilayah sekitar Kutai Lama dan Tenggarong Kelima puak tersebut tumbuh dan berkembang menjadi suku Kutai yang mempunyai bahasa sama dengan dialek berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Para penulis sering memasukkan suku kutai kedalam kelompok suku melayu, walupun banyak yang mempermasalahkan kemiripan suku kutai dengan suku dayak dan beranggapan bahwa orang Kutai dahulunya termasuk dalam suku Tunjung (Tonyooi). Akan tetapi karena umumnya suku Kutai beragama islam maka perbedaan sering digunakan (Mallinckrodt, 1928;46, Coomans, 1987:4 dalam SFMP Document No. 11 1997:23) Menurut cerita para tetua, semuanya sepakat bahwa orang Dayak Benuaq dan Bentian kiranya termasuk dalam suku Luangan, yang berpindah dari Kalimantan Tengah melalui sungai Lawa. Dalam pesiarahan hidup masa lalu itu, sejumlah dari mereka membangun tempat tinggal. Ada yang di hulu sungai Lawa (suku Bentian) dan ada yang milir hingga menetap di sekitar Muara Lawa (suku Benuaq Lawa). Masih menurut sejumlah tetua tadi, sebagian yang tak hendak tinggal, atau untuk sementara waktu tinggal di sekitar muara Lawa, ada yang mudik hingga meretas sungai Idaatn (Benuaq Idaatn) dan sungai Nyuatan (Benuaq Daya). Sementara mereka yang memutuskan untuk milir, akhirnya tiba di muara Pahu. Di sana mereka menetap dengan membangun sejumlah perkampungan. Masyarakat dapat di Kabupaten Kutai Barat khususnya dari suku dayak Benuaq mempunyai konsep hidup “menyambut dengan tangan terbuka” semua perubahan dan pengaruh yang datangnya dari luar, walau demikian masyarakat dayak menanggapi masuknya perubahan dan pengaruh dari luar berbeda-beda. Dengan adanya perbedaan ini maka ada 3 tipe reaksi masyarakat atas tekanan perubahan dan pengaruh dari luar seperti berikut; 1. Kelompok pertama ini adalah kelompok yang sangat mempertahankan tradisi dan adat istiadat dari nenek moyang mereka. 2. Kelompok kedua ini adalah kelompok yang selektif dalam menerima perubahan dan pengaruh dari luar. Pengaruh-pengaruh yang baiklah yang akan mereka gunakan sebagai perubahan menuju kemajuan. 3. Kelompok ketiga adalah kelompok yang dengan terang-terangan ‘menelan’ semua perubahan dan pengaruh-pengaruh dari luar tanpa menilai baik buruknya terlebih dahulu, dan menjadi bagian dari kehidupan mereka. Sukat “Ukuran/Hukum” Bagi Semua suku dayak Dahulu, nilai budaya tersosialisasikan melalui keputusan-keputusan yang diambil oleh pemuka adat dan pelaksana berbagai kegiatan upacara adat. Adat sukat dalam suku Dayak Benuaq dan Tonyooi merupakan pengatur dan pedoman dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam adat sukat terdapat aturan dan kaidah, ketentuan yang berlaku dalam masyarakat secara turun temurun meskipun tidak tertulis atau termuat dalam suatu catatan dokumen Pengertian adat sebagai suatu norma, aturan, kaidah, ketentuan dan kebiasaan dalam masyarakat secara turun-temurun selalu diikuti dengan kata sukat. Kata sukat sendiri menggambarkan bahwa para mantik dalam mengambil suatu keputusan berkaitan dengan adat sukat selalu memiliki ukuran atau ketentuan serta kebijkasaan sehingga sehingga masyarakat benar-benar merasa terlindungi dan terayomi oleh adat sukat ini. Adat sukat bukan saja mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan dan manuasia dengan penciptanya. Adat sukat terdiri dari dua bagian yang tidak dapat dipisahkan/dibedakan secara tegas, yang berakibat hukum dapat berupa sanksi denda, pengusiran, pengucilan dan dicela, sedangkan yang tidak berakibat hukum dapat berupa kutukan dari roh-roh. Berikut ini diuraikan beberapa hal penting tentang pengertian adat sukat dalam masyarakat Dayak Benuaq dan Tonyooi; 1. Adat sukat adalah falsafah hidup bagi masyarakat. Hal ini berarti bahwa adat sukat dipakai sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat. 2. Adat sukat berlaku bagi semua orang dalam mencari dan mendapatkan keadilan. Pada dasarnya adat sukat beranggapan bahwa segenap lapisan masyarakat adat berhak mencari dan mendapatkan perlindungan hukum kelembagaan adat. 3. Adat sukat adalah pendidikan non formal yang perlu dipelajari oleh semua lapisan masyarakat , terutama yang nantinya akan berperan dalam adat sukat, seperti kepala adat, tokoh adat, tokoh masyarakat, generasi muda dan para dukun tradisional (mis. pemeliant, pengewara, atau penyentangih). 4. Adat sukat dapat memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan dalam masyarakat karena terciptanya kehidupan yang tertib aman dan damai. 5. Adat sukat memiliki kosekuensi sanksi adat dan ada bagian yang tidak memiliki konsekuensi sanksi adat. 6. Adat sukat mempunyai peran strategis dalam pembangunan karena menjunjung tinggi kerjasama dan gotong-royong yang merupakan tradisi sejak jaman dulu Keberadaan dan Keragaman Kelembagaan MA Hubungan Kelembagan MA dengan System Pemerintahan Kutai Barat dengan berbagai etnis dayak dan etnis lainnya sebagai pendatang merupakan suatu wilayah yang sangat komplek dengan adat budaya dari berbagai etnis yang ada. Keterakomodisan adat budaya masyarakat pendatang dalam lembaga adat masyarakat lokal sangat diperlukan dalam menjaga kestabilan keamanan dan ketentraman di wilayah Kutai Barat. Sehingga peran dari kelembagaan adat dalam mengayomi masyarakat adat secara keseluruhan dapat terwujud, sesuai dengan adat sukat yang mempunyai pengertian “Sukat untuk semua”. 4.3.2. Hubungan masyarakat adat dengan tanah Masyarakat Adat Benuaq dan Bentian di Kutai Barat Sumber daya alam yang dikelola oleh Masyarakat Benuaq terdiri dari berbagai jenis, mulai dari hutan alam (bengkar), hutan belukar (Kurat uraq, Bengkar Bengkaletn), kebun (simpukng) sawah (paya) dan ladang (umaq Baber Kelewako, Kelewo) dan lain-lain. Sumber kekayaan alam yang ada diatas tanah secara umum seperti hutan (kayu produksi, kayu adat, kayu obat-obatan, damar, rotan, buah-buahan), terdapat juga kekayaan alam lainnya seperti ikan, binatang buruan, obat obatan dll. Tanah merupakan simbol status ekonomi dan sosial tersendiri bagi masyarakat ini yang mementingkan tanah untuk mengusahakan usaha produktif pangan dan hasil pertanian-kehutanan berorientasi eksport seperti kayu kayuan, getah-getahan dan rotan. Sehingga batas batas wilayah yang dikelola keluarga didalam wilayah adatnya ditandai dengan ditanami pohon pohonan tertentu, biasanya durian untuk mempertegas klaimnya. Simpukng dalam bahasa (Dayak Benuaq ), Lembo ( bahasa Kutai), Munan dalam bahasa Tunjung yang artinya adalah kumpulan tanaman buah-buahan atau jenis kayuan dalam satu tempat. Pengertian simpukng sangatlah luas sehingga agar lebih jelas maka diuraikan berdasarkan kriteria dan kegunaannya. Contoh : seperti simpukng buah-buahan yang sudah dikenal dari nenek moyang jaman dulu yang sudah ratusan tahun yang lalu dan sampai sekarang masih dikelola dengan cara tradisional (mengandalkan kesuburan tanah ) Didalam Simpukng di budidayakan seperti tanaman rotan, karet, kelapa, buah-buahan (cempedak, durian, kapul, jentikan, langsat, kopeq, semayap, lai, ruwiq, mawoi, pasi, keliwatn, engkarai, ketungan, layuqng, tuola, rupai, kenih, ihau, bukuq, maluwikng, encam bulau, encam payang, encam repeh, encam uneq, encam buyuqng, encam kelauq, encam lingau dan lain-lain). Tetapi ada juga kayu kayuan untuk bangunan serta obat obatan. seperti ulin, kapur, meranti, bengkirai, jelutung, nyatoh, tengkawang, ipil, keruing, pudou, jemiring, melasio, pangin, belengkanai, empreqng, Minaq/ arau, medang, benuang, entoq, nangka air, lalatn dan lain-lain. Kayu untuk keperluan adat benuaq seperti nansang, jelutung, lelutung tukaq, deraya, kelejempiq, semeneo, laliq, nunuq dan lain- lain, kayu untuk obat-obatan (jenis pohon, jenis rumput, jenis akar). Untuk jenis obat dari pohon seperti kayu pahit, bekakang dan emukng dan lain - lain. Untuk jenis obat rerumputan yaitu tempora, kemot aji, kelahakng dll. Untuk jenis obat akar-akaran yaitu besek, penyawer, temelekar, kelagit, pengeraya. Dilihat dari sisi pelestarian hutan sendiri adanya hutan adat yang dikuasai oleh masyarakat adat tentu lebih menjamin sisi pencapaian konservasi. Nilai-Nilai adat yang secara turun temurun dipercaya masyarakat adat di tambah sisi magis, religi dan budaya tersebut tentu lebih efektif menjadi pengontrol pemanfaatan hutan secara lestari daripada konsep peraturan perundangan yang banyak disimpangi oleh oknum pemerintah dengan pemilik modal yang serakah.Adanya pembagian wilayah hutan adat seperti hutan tutupan, hutan larangan dsb tentu lebih nyata pengelolahannya karena masyarakat adat sendiri mengetahui bagaimana pola dan fungsi hutan yang mereka miliki. Masyarakat dayak Benuaq dan Bentian hidupnya dari berladang. Mereka membuka ladang untuk menanam padi, singkong, umbiumbian, jagung, serai, kunyit, jahe dan sebagainya. Di tengah kesibukan berladang tidak ketinggalan dengan menanam buah-buahan (simpukng buah) Kesemuanya itu mereka tanam di ladang dalam satu hamparan. Hal ini merupakan salah satu tradisi yang tidak dapat ditinggalkan dan dapat menguntungkan bagi keluarga. Kondisi lahan kampung terdiri dari lahan perladangan yang di dalamnya sudah termasuk lahan simpukng, lahan/ kawasan hutan dan perkebunan (karet lokal) dan tanaman rotan. Untuk kawasan hutan termasuk juga tanaman rotan sebagian besar banyak yang rusak akibat perusahaan kayu (HPH) dan ada yang terbakar di tahun 1982 dan tahun 1987. Salah satu subsuku dayak benuaq menurut widjono mengklasifikasikan hutan menjadi 6 katagori berdasarkan fungsinya : 1. Talutn Luatn yaitu hutan belantara yang tindak mencangkup daerah – daerah milik kelompok 2. Simpukng Brahatn yaitu hutan yang digunakan untuk berburu dan mengumpulkan hasil – hasil hutan kecuali kayu 3. Simpukng Ramuuq yaitu hutan yang menyediakan sumber – sumber bahan bangunan untuk rumah dan pembangunan desa 4. Simpukng Umpaq Tautn yaitu hutan yang digunakan sebagai ladang 5. Simpukng dukuh yaitu hutan yang digunakan untuk bidang – bidang kebun 6. Simpukng Munan yaitu tanah yang semula digunakan ladang, tetapi sekarang digunakan untuk menanam pohon dan buah – buahan dan tanam – tanam keras lainnya. 4.3.3. Struktur kepemimpinan dan tatanan hukum adat Dewan Adat Kabupaten Kutai Barat pada dasarnya merupakan kelembagaan adat tertinggi untuk wilayah adminsistrasi Kubar, namun selama ini Dewan Adat ini belum menunjukkan kinerjanya yang nyata dan berarti bagi lembaga-lembaga adat yang ada dikampung. Dewan Adat ini merupakan bentukan baru dan tidak dapat dipungkiri bahwa para pemuka adat di tingkat kampung dan kecamatan yang mengatakan bahwa Lembaga Adat Besar merupakan kepanjangan tangan dari pihak pemerintah. Tokoh-tokoh adat di tingkat kecamatan dan kampung menginginkan peran yang lebih proaktif dan keberpihakan kepada masyarakat adat secara menyeluruh dan nyata dari Lembaga Adat Besar Kutai Barat. Gambar 5. Wawancara dengan Dewan Adat Kutai Barat Dewan Adat Kabupaten Kutai Barat dibentuk dengan tugas; 1. Menjadi mitra pemerintah lokal untuk menata dan memperkuat Adat di Kubar agar Masyarakat adat mampu eksis di era globalisasi. 2. Menjadi penyalur aspirasi masyarakat adat baik kepada eksekutif maupun legislatif, sehingga kepentingan adat dapat menjadi bahan utama dalam penyusunan kebijakan pembangunan di Kutai Barat 3. Membantu para pihak dalam menyelesaikan konflik, utamanya yang menyangkut konfliki antar masyarakat adat maupun antara masyarakat adat dengan pihak luar. Pembentukan Dewan Adat Kabupaten bertujuan untuk; 1. Memberdayakan masyarakat adat agar mampu menentukan pengelolaan Sumber Daya Alamnya sendiri 2. Mengupayakan perlindungan terhadap hak hak masyarakat adat guna menentukan nasibnya sendiri berdasarkan kearifan lokal 3. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia 4. Menegakkan kembali supremasi hukum adat yang ada dan telah berlaku selama ini 5. Mengembangkan aktivitas adat sesuai karekteristik sub suku masing-masing 6. Mengembangkan aktivitas ekonomi guna mengupayakan kesejahteraan masyarakat adat. Gambar 6. Lamin Eheng, Kab. Kutai Barat. Lembaga Adat Kecamatan Secara kelembagaan, Lembaga Adat Kecamatan berada di bawah dari Dewan Adat kabupaten Kubar, namun peran yang dilaksanakan oleh lembaga adat kecamatan dapat dikatakan cukup penting dalam upaya penyelesaian konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat adat di wilayah adatnya. Wilayah hukum lembaga adat kecamatan pada saat sekarang ini sama luasnya dengan wilayah administrasi pemerintahan kecamatan, lembaga adat kecamatan dipimpin oleh Seorang Kepala Adat dari suatu kampung yang dipilih melalui musyawarah dan salah satu syarat untuk dapat menjadi kepala adat kecamatan adalah ia yang mempunyai kemampuan pengetahuan adat secara menyeluruh dan mendalam serta dapat dijadikan panutan oleh masyarakat adatnya. Stuktur lembaga adat kecamatan terdiri dari Seorang kepala Adat, Seorang Sekertaris, dan anggota sebanyak 3 orang. Salah satu tugas dari lembaga adat kecamatan adalah membantu penyelesaian permasalahan yang tidak dapat diselesaikan di wilayah kampung, sebelum berlanjut ketingkat Dewan Adat Kabupaten. Lembaga adat kecamatan membawahi berapa jumlah kampung yang ada di wilayah kecamatan tersebut, baik kampung tersebut masih mayoritas penduduk asli (dayak) maupun penduduknya sudah heterogen/berbaur dari semua suku yang ada di Indonesia. Lembaga Adat kampung, masyarakat adat kampung merupakan masyarakat adat yang secara langsung menerapkan dan mempraktekkan hukum adat dalam kehidupan sehari-hari mereka. Hukum adat yang berlaku dalam masyarakat mempunyai ruang lingkup yang luas mencakup seluruh aspek kehidupan, baik itu adat perkawinan, kematian, kelahiran, pertanahan, dan adat yang mengatur kehidupan sehari-hari. Berlakunya ketentuan hukum adat tergantung dari penerimaan masyarakat yang bersangkutan, disamping itu pula terkadang dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat spiritual berupa dukungan roh-roh nenek-nenek moyang yang dimunculkan berupa anggapan bahwa jika adat tersebut dilanggar pelanggarnya akan mendapat kutukan dari arwah nenek-nenek moyang tersebut. Dalam menyelesaikan masalah/ perselisihan yang terjadi, Kepala Adat tetap mendengarkan dan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan dari para pemuka adat dan tetua adat serta melihat sukat dari kasus kasus terdahulu untuk menentukan seberapa besar denda atau hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada yang bersalah. Gambar 7. Struktur Dewan Adat. Dalam mengajukan permasalahan/ gugatan, si pemohon harus mengajukan sebuah piring putih dan sejumlah uang (± Rp. 20.000,-), serta saksi untuk dapat diproses secara adat oleh lembaga adat, begitupula kepada tergugat, ia harus memberikan piring putih sebagai tanda bahwa ia siap untuk kasus yang diajukan oleh penggugat. Dana yang dibayarkan tersebut digunakan untuk operasional lembaga adat dalam melakukan penegakan hukum adat. Secara kelembagaan, lembaga adat kampung dipimpin oleh seorang Kepala Adat, seorang Sekertaris, dan tiga dewan adat. Seorang Kepala Adat dituntut mempunyai kemampuan dan pengetahuan tentang adat dan hukum-hukum adat, begitu pula dengan sekertaris dan para anggota adatnya. Beberapa Lembaga Adat Kampung bergabung dalam satu satuan wilayah tertentu dapat berupa anak sungai dan kadang kala sama dengan wilayah administrasi membentuk sempekat atau kumpulan beberapa Lembaga Adat Kampung. Gambar 8. Daftar Denda Adat Sistem Pewarisan Menurut hukum adat dayak tanah yang diwariskan dari para orang tua akan turun temurun menjadi milik keturunannya. ada alasan logis mengenai hal mengenai kepemilikan tanah masyarakat hukum adat dayak karena masyarakat hukum adat dayak melakukan pembukaan lahan dengan cara nomaden (berpindah – pindah) setelah tanah itu dikelolah dan mereka menganggap tanah itu tidak subur maka tanah itu akan di tinggalkan bukan maksud untuk meninggalkan selamanya. mereka akan menanaminya lagi setelah lewat beberapa waktu lamannya. Batas – batas itu sudah diketahui . Di antara orang – orang dayak bahau, patok – patok ditancapkan di setiap sudut petak tanah untuk menunjukan batas – batasnya. Tanda penguasaan tanah yang umum adalah adanya pondok, pohon – pohon, buah – buahan, dan pohon – pohon kayu keras. Bahkan, orang dihukum berdasarkan hukum adat apabila mereka tidak mentaati aturan – aturan penguasaan tanah ,termasuk bila mereka menanami tanah – tanah kosong milik orang lain. Mengenai hak waris, Simpukng keturunan dalam bahasa (Dayak Benuaq ), Lembo ( bahasa Kutai), Munan dalam bahasa Tunjung belum dapat dibagi apabila orang tua masih hidup. Membagi simpukng/lembo/munan itu harus dimusyawarahkan terlebih dahulu. Simpukng tidak mutlak harus anak laki-laki atau anak perempuan yang mewarisinya, tetapi simpukng khususnya simpukng keturunan selalu dikatakan simpukng milik bersama. Biasanya yang dipercayakan untuk diwariskan atas nama simpukng ini harus disepakati semua keluarga dan selalu dirundingkan lebih dahulu. Jadi semua keluarga dikumpulkan dan keluargalah yang menunjukkan siapa dari antara mereka yang diberi tugas untuk mewariskannya Pembagian hak waris harus ada kesepakatan dari pihak keluarga. Ada 3 uraian hak waris yang bisa diserahkan kepada anak perempuan (menurut Pak Nyangkum dari Lambing) 1. Ada kesepakatan dari orang tua bahwa orang tua laki-laki dapat mewariskan harta/ tanahnya kepada anaknya laki-laki dan warisan yang dimiliki orang tua perempuan yang diberikan dari keturunan ibunya maka harta/tanah diberikan atau diwariskan kepada anak perempuan. Artinya hak kepemilikan tanah warisan antara anak lakilaki dengan perempuan sama. Seperti suku Jawa, Bugis dan Dayak (menurut Bp. Awang Idjau). Tidak ada perbedaan. Karena anak lahir bukan hanya satu orang tua. Otomatis ada bapak ada ibu. 2. Kecuali jika anaknya hanya anak laki-laki semua maka hak warisan diberikan kepada anak laki-laki dan jika hanya anaknya perempuan semua maka hak warisan diberikan kepada anak perempuan. 3. Apabila jika tidak memiliki anak (tidak ada keturunan) maka hak waris akan dikembalikan kepada masing-masing keluarga. Warisan laki-laki diberi kepada keluarga laki-laki dan warisan perempuan diberikan kepada pihak perempuan. Pemerintah indonesia telah memberlakukan sertifikasi tanah bagi kepemilikan tanah.bagi orang dayak keadaan seperti ini luar biasa sulit di pahami. karena menurut orang dayak bahwa mereka adalah satu – satunya kelompok manusia yang mendiami pulau kalimantan. sehingga ketika ada sertifikasi tanah di tambah dengan adanya proyek pembangunan yang mengeksploitasi tanah – tanah pedalaman sehingga seakan bahwa hukum nasional tidak menghargai hukum yang ada lebih dulu dan berjalan dalam masyarakat hukum adat. Sengketa – sengketa tanah bukan hal yang baru lagi kalimantan timur. konflik tersebut pada mulanya muncul dari masalah eksploitasi hutan yang dilakukan oleh pemerintah kepada daerah pedalaman masyarakat dayak. Diberbagai tempat di Indonesia berlaku hukum adat, antara lain tentang pembukaan hutan untuk usaha perladangan dan pertanian lainnya, penggembalaan ternak, pemburuan satwa liar dan pemungutan hasil hutan, serta diberbagai areal hutan dikelola secara lestari oleh masyarakat hukum adat sebagai sumber kehidupannya dengan segala kearifannya. Keberadaan berbagai praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat adat dikenal dengan berbagai istilah seperti Mamar di Nusa Tenggara Timur, Lembo pada masyarakat Dayak di Kalimantan Timur, Tembawang pada masyarakat Dayak di Kalimantan Barat, Repong pada Masyarakat Peminggir di Lampung, Tombak pada masyarakat Batak di Tapanuli Utara. Praktek tersebut menunjukan bahwa masyarakat adat telah dan mampu mengelola sumber daya alam termasuk hutannya secara turun-temurun. Pola-pola ini diketahui memiliki sistem yang sangat terkait dengan pengelolaan hutan alam, hutan tanaman, kebun dan usaha pertanian sehingga bentuknya sangat beragam, dinamis, terpadu yang menghasilkan berbagai manfaat bagi masyarakat dan lingkungan, baik secara ekonomi, sosial budaya, religi, dan ekologi (Suhardjito, Khan, Djatmiko dkk). Sumber daya alam yang dikelola oleh Masyarakat Benuaq terdiri dari berbagai jenis, mulai dari hutan alam (bengkar), hutan belukar (Kurat uraq, Bengkar Bengkaletn), kebun (simpukng) sawah (paya) dan ladang (umaq Baber Kelewako, Kelewo) dan lain-lain. Sumber kekayaan alam yang ada diatas tanah secara umum seperti hutan (kayu produksi, kayu adat, kayu obat-obatan, damar, rotan, buah-buahan), terdapat juga kekayaan alam lainnya seperti ikan, binatang buruan, obat obatan dll. Tanah merupakan simbol status ekonomi dan sosial tersendiri bagi masyarakat ini yang mementingkan tanah untuk mengusahakan usaha produktif pangan dan hasil pertanian-kehutanan berorientasi eksport seperti kayu kayuan, getah-getahan dan rotan (Sardjono & Ismayadi, in Colfer Byron, 2001). Sehingga batas batas wilayah yang dikelola keluarga didalam wilayah adatnya ditandai dengan ditanami pohon pohonan tertentu, biasanya durian untuk mempertegas klaimnya. Simpukng dalam bahasa (Dayak Benuaq ), Lembo ( bahasa Kutai), Munan dalam bahasa Tunjung yang artinya adalah kumpulan tanaman buah-buahan atau jenis kayuan dalam satu tempat. Pengertian simpukng sangatlah luas sehingga agar lebih jelas maka diuraikan berdasarkan kriteria dan kegunaannya. Contoh : seperti simpukng buah-buahan yang sudah dikenal dari nenek moyang jaman dulu yang sudah ratusan tahun yang lalu dan sampai sekarang masih dikelola dengan cara tradisional (mengandalkan kesuburan tanah ) Didalam Simpukng di budidayakan seperti tanaman rotan, karet, kelapa, buah-buahan (cempedak, durian, kapul, jentikan, langsat, kopeq, semayap, lai, ruwiq, mawoi, pasi, keliwatn, engkarai, ketungan, layuqng, tuola, rupai, kenih, ihau, bukuq, maluwikng, encam bulau, encam payang, encam repeh, encam uneq, encam buyuqng, encam kelauq, encam lingau dan lain-lain). Tetapi ada juga kayu kayuan untuk bangunan serta obat obatan. seperti ulin, kapur, meranti, bengkirai, jelutung, nyatoh, tengkawang, ipil, keruing, pudou, jemiring, melasio, pangin, belengkanai, empreqng, Minaq/ arau, medang, benuang, entoq, nangka air, lalatn dan lain-lain. Kayu untuk keperluan adat benuaq seperti nansang, jelutung, lelutung tukaq, deraya, kelejempiq, semeneo, laliq, nunuq dan lain- lain, kayu untuk obat-obatan (jenis pohon, jenis rumput, jenis akar). Untuk jenis obat dari pohon seperti kayu pahit, bekakang dan emukng dan lain - lain. Untuk jenis obat rerumputan yaitu tempora, kemot aji, kelahakng dll. Untuk jenis obat akar-akaran yaitu besek, penyawer, temelekar, kelagit, pengeraya. masyarakat dayak Benuaq dan Bentian hidupnya dari berladang. Mereka membuka ladang untuk menanam padi, singkong, umbiumbian, jagung, serai, kunyit, jahe dan sebagainya. Di tengah kesibukan berladang tidak ketinggalan dengan menanam buahbuahan (simpukng buah) Kesemuanya itu mereka tanam di ladang dalam satu hamparan. Kondisi lahan kampung terdiri dari lahan perladangan yang di dalamnya sudah termasuk lahan simpukng, lahan/ kawasan hutan dan perkebunan (karet lokal) dan tanaman rotan. Untuk kawasan hutan termasuk juga tanaman rotan sebagian besar banyak yang rusak akibat perusahaan kayu (HPH) dan ada yang terbakar di tahun 1982 dan tahun 1987. Hutan milik masyarakat sangatlah terganggu oleh masuknya perusahaan kayu (HPH) dan ditambah lagi perusahaan tambang batu bara yang sudah mulai bernegosiasi soal ganti rugi tanah. Sebagian masyarakat menganggap bahwa kehadiran perusahaan tidaklah membawa perbaikan menuju hal yang baik, walaupun ada bantuan seperti perbaikan jalan atau bantuan buat bangunan (fasilitas kampung). Masih kurang perhatian serius dari pihak pemerintah yang bisa memberi dukungan terhadap kampung yang jauh dari tingkat Kabupaten maupun kecamatan. Keragaman masyarakat adat di wilayah Masyarakat adat di Kabupaten Kutai Barat sangat beragam sekali, ada beberapa kawasan yang sudah mengalami banyak percampuran etnis dan ada beberapa kawasan wilayah adat yang masih sangat homogen atau mayoritas penduduknya berasal dari satu etnis saja, dengan latar belakang sejarahnya masing masing. Dengan demikian “penduduk asli” Kalimantan Timur bukan saja orang dayak seperti yang selama ini diketahui, melainkan juga suku Kutai. Orang Kutai tersebar disepanjang Sungai Mahakam dan merupakan orang-orang yang dahulunya patuh dan taat kepada Sultan Kutai. Mengenai sebagian besar suku bugis dan banjar untuk daerah Kalimantan Timur sangat sulir untuk disebut sebagai “pendatang” mengingat keberadaan mereka yang telah ada di daerah Kalimantan Timur sejak lama. Keberadaan kedua suku tersebut sudah hampir ratusan tahun di Kalimantan Timur dan mereka sudah banyak memiliki lahan secara pribadi di berbagai tempat. Migrasi suku Banjar dan Bugis diperkirakan sejak abat 17 – 18 lalu, migrasi mereka karena motivasi usaha berdagang, penyedia jasa, ada pula yang bertani dan sebagainya (Abdurrahman H. SH, MM & Wentzel Sondra Dr, SFMP Document No. 11, 1997). Keragaman etnis dalam Masyarakat Adat bukanlah sebagai halangan atau penghambat tumbuh kembangnya hukum adat yang telah berlaku secara turun-temurun. Justru kehadiran beragam etnis di dalam masyarakat adat di satu wilayah adat dapat menambah hasanah dan kajian hukum adat yang lebih baik lagi karena adanya masukan-masukan dari berbagai pihak (etnis) untuk kebaikan bersama. BAB V PEMBAHASAN Dalam terminologi hukum tanah nasional, sebagaimana diatur dalam PMNA No. 5 tahun 1999, pengertian Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakayt hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Kriteria penentu eksistensi hak ulayat didasarkan pada tiga unsur, yaitu (1) subyek hak ulayat, terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukm adatnya sebagai warga bersama suatau persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari, (2) obyek hak ulayat, terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan (3) terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguaasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. Selanjutnya ditegaskan bahwa pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat tidak dapat lagi dilakukan terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkannya Peraturan Daerah : a. sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria; b. merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku. Dalam tataran teori , Ter Haar mengenai hubungan masyarakat dengan tanah, membagi hubungan antara masyarakat dengan tanah baik keluar maupun kedalam, dan hubungan perseorangan dengan tanah. Berdasarkan atas berlakunya ke luar maka masyarakat sebagai kesatuan, berkuasa memungut hasil dari tanah, dan menolak lainlain orang diluar masyarakat tersebut berbuat sedemikian itu, sebagai kesatuan juga bertanggung jawab terhadap orang-orang luaran masyarakat itu. Hak masyarakat atas tanah disebut “Hak yayasan komunaal”. Van Vallenhoeven mengemukakan cici-ciri keberadaan tanah ulayat sebagai berikut) : a) hanya persekutuan hukum yang bersangkutan dan para anggotanya yang dapat bebas mengerjakan tanah yang belum dijamah oleh orang lain untuk macam-macam keperluan, boleh membuka tanah untuk pertanian (clearing it for agricultural), mendirikan kampung(founding a village), dan mengambil hasil hutan(gathering forest produce or toexploit any virgin land); b) orang boleh melakukan hal tersebut, hanya dengan ijin persekutuan; c) orang luar dan kadang-kadang para anggota persekutuan harus membayar sewa bumi, supaya diberi izin melakukan tindakan tersebut (rekcoqnisi); d) persekutuan hukum adat tetap mempunyai hak pengawasan terhadap cultivated lands; e) persekutuan bertanggung jawab dalam hal unaccountable delict within the area (misalnya yang bersalah tidak diketahui atau tidak dapat ditangkap); f) hak ulayat can not be permanently alienated atau tidak dapat dilepaskan untuk selama-lamanya. Uraian di atas, menunjukkan bahwa penentuan karakteristik hak ulayat (das solen) masyarakat atas tanahsangat bergantung kepada: a) Obyek, dengan tanda-tanda/ciri-ciri khas keberadaan tanah ulayat (Voorkeursrecht), penguasaan fisik (Ontginningsrecht), pemanfaatan tanah dengan cara memungut hasil (Genon recht); b) Subyek (Gemeenschapen) yang terdiri dari struktur masyarakat hukum adat didasari hubungan kekerabadan (genologis), prinsip teritorial dan gabungan antara 1 dan 2; dan c) Struktur Lembaga Hukum Adat dan Perangkat Tatanan Hukum dan Anggota Masyarakat Ada. Sementara itu, Van Dijk membagi tiga bentuk hak-hak atas tanah adat , yaitu hak persekutuan atau pertuanan, hak perorangan, dan hak memungut hasil tanah. 1. Hak persekutuan/pertuanan atas tanah adat mempunyai akibat keluar dan kedalam. Hak persekutuan yang mempunyai akibat ke dalam antara lain : a. Memperbolehkan kepada anggota persekutuan untuk menarik keuntungan dari tanah dan segala yang ada di atasnya. b. Mendirikan tempat kediaman c. Menggembalakan ternak dan berburu ternak. Hak persekutuan yang berakibat keluar ialah: a. Larangan terhadap orang luar untuk menarik keuntungan dari tanah ulayat, kecuali setelah mendapat izin dan sesudah membayar uang pengakuan (recognitie). b. Larangan pembatasan atau berbagai peraturan yang mengikat terhadap orang- orang untuk mendapatkan hak-hak perorangan atas tanah pertanian. 2. Hak perorangan atas tanah adat terdiri dari hak milik adat (inland bezitrecht) adalah, hak perorangan atas tanah, di mana yang bersangkutan tenaga dan usahanya telah terus menerus ditanamnya pada tanah tersebut, sehingga kekuatannya semakin nyata dan diakui oleh anggota, di sini dibatasi hak untuk menarik keuntungan dari tanah adat dan hanya diperbolehkan sekedar dipergunakan untuk keperluan hidup keluarga dan diri sendiri, jadi hak yang melampaui batas terhadap tanah adat tidak diakui sepanjang bertujuan untuk persediaan bagi usaha perdagangan lainnya, dan kekuasaan kaum/persekutuan semakin menipis, dan kekuasaan perorangan semakin kuat. Hak milik ini walaupun telah kokoh dan sempurna namun dapat dibatalkan kembali bila: a) Tidak diusahakan terus menerus, sehingga telah hilang bekas-bekas atau tanda-tanda itu dan tanah itu kembali menjadi belukar, b) Tidak ada yang berhak atas tanah, karena pemiliknya pergi meninggalkan tanah tersebut, c) Tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan persekutuan hukum. 3. Hak memungut hasil tanah (genotrecht) dan hak menarik hasil. Hak memungut hasil tanah ialah, suatu hak pribadi yang mempunyai kekuatan tertentu, yaitu tentang menikmati hasil tanah saja, sedangkan kekuasaan atas tanah yang berada pada persekutuan, hak ini mempunyai kekuatan sementara. Sedangkan Hak menarik hasil ialah, suatu hak yang diperdapat dengan suatu persetujuan para pemimpin persekutuan dengan orang yang mengelola sebidang tanah untuk satu atau dua kali panen. Hak menarik hasil ini juga berakhir apabila a) Tanah itu diolah lebih sempurna, sehingga dapat diperoleh hak milik atas tanah tersebut, b) Habis waktunya, jika diberikan jangka waktu tertentu, c) Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh persekutuan. Masyarakat hukum adat di Kalimantan memahami hak ulayat sebagai tanah adat. konsepsi tanah adat dipahami sebagai tanah yang tunduk kepada ketentuan hukum adat. tanah adat ini terdiri dari tiga bagian penting dalam hubungan dengan penguasaannya, yakni pertama tanah adat yang dikuasai secara komunal oleh masyarakat hukum adat, tanah ini dikuasai oleh masyarakat secara bersama-sama, dijaga, dipelihara dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, misalnya kawasan hutan adat yang merupakan wilayah untuk konservasi karena merupakan sumber air bersih dan hutan adat, tempat keramat yang merupakan tempat bersemayamnya roh-roh para leluhur suku Dayak, dan sebagainya. Kedua, tanah adat yang dikuasai oleh sebuah keluarga besar, contohnya tembawang (kebun bermacam ragam buah-buahan). Tembawang ini memiliki makna sosial, cultural, ekologis dan ekonomis. Pada mulanya, tembawang ini dimiliki oleh satu keluarga kecil, akan tetapi lama-kelamaan keluarga kecilnya ini menjadi keluarga besar yang mendiami suatu kampung tertentu karena mereka telah beranak-cucu. Ketiga, tanah yang dikuasai secara individual, tanah inilah yang nantinya menjadi cikal bakal menjadi tanah hak milik, berupa bawas (bekas ladang tanah kering), kebun karet, dan sebagainya. Realitas tanah adat tersebut memberikan suatu penjelasan bahwa hak individual diliputi oleh hak komunal. Dan jika terjadi persinggungan kepentingan antara hak komunal dan individual, maka hak individual dapat dikesampingkan. Akan tetapi, kondisi ini dipengaruhi oleh kemampuan menebal menipis dari tanah adat tersebut. Artinya, bila hak komunal menguat, maka hak individual menipis, sebaliknya jika hak indivual menguat, maka hak komunal menipis. Keberadaan tanah adat ini berada dalam suatu wilayah adat yang disebut binua (untuk Dayak Kanayatn, Bidayuh, Iban dan Bekati), kampung/laman (untuk Dayak Tarakng (Mali, Keneles, Pruna dan Taba). Setiap wilayah binua dikepalai oleh kepala binua yang yang disebut temenggung, sedangkan untuk kampung dikepalai oleh kepala kampung. Untuk menjaga keutuhan, keamanan tanah adat dari gangguan pihak persekutuan dan luar persekutuan, maka petugas adat (secara hierarkial : pesirah, pangaraga, temenggung) dan masyarakat adat melakukan tindakan pencegahan dan tindakan penjatuhan sanksi adat. Hukum adat inilah yang menjaga, mengatur tata kehidupan masyarakat hukum adat, termasuk dalam hal menjaga keutuhan dan keamanan tanah adat supaya tetap terjaga keberadaannya. Mayoritas Masyarakat Hukum Adat di wilayah Kalimantan yang menjadi sampel penelitian menghendaki adanya pengakuan terhadap wilayah adat terutama terhadap Hutan yang menjadi sumber kehidupan, sumber ekonomi sekaligus juga merupakan tempat atau situs keagamaan dan dianggap sebagai tempat keramat, kemudian tanah adat yang dikuasai oleh sebuah keluarga besar, contohnya tembawang (kebun bermacam ragam buah-buahan). Tembawang ini memiliki makna sosial, cultural, ekologis dan ekonomis. 5.1. Menetapkan karakteristik keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Kalimantan Rekam jejak istilah Dayak bukanlah sebuah realitas obyektif yang kuno, melainkan sebuah konstruksi yang relative modern. Kalangan ilmuwan dan antropolog, telah memberikan kontribusi yang berarti dalam pembentukan identitas Dayak, baik pada masa kolonial, maupun pasca-kolonial. Beragam pendapat dan istilah Dayak, sebagai bentuk konstruksi identitas etnik. Sebagaian menyebutkan bahwa ke-dayak-an seseorang dikaitkan dengan agama Kristen dan agama Islam, agama yang dominan di Kalimantan Barat. Bila seorang dayak masuk Islam, mereka tidak dianggap lagi sebagai seoarng Dayak, tetapi justru menjadi seorang Melayu. Dikalangan masyarakat Dayak di Kabupaten Sanggau, biasanya menjadi muslim berarti tidak lagi menjadi melayu istilah Dayak menunjukan kepada orang-orang non muslim. Leteratur antropologi klasik cenderung memotret dayak sebagai kelompok yang eksotik dan unik, yang bercirikan kebiasaaan berburu kepala, tinggal dirumah panjang, animisme dan bergaya hidup nomodik. Gambaran tentang dayak sebagai entitas lain yang terasing, tak tersentuh peradaban dan kebal dari perubahan, yang membedakan mereka dari orang-orang luar (Eropah) yang disebut pelaku sejarah yang aktif tetapi akhir-akhir ini para antropolog mulai menyadari bahwa penanda-penanda identitas tersebut di atas selalu mengalami perubahan (Yekti Maunati, 2004: 61). Dahulu pada umumnya Dayak dianggap sebagai sebuah fungsi animisme. Agar dianggap Dayak, seseorang harus menjadi penganut animisme. Agama dianggap sebagai aspek kunci dalam kajian antropolgis suku Dayak. Dimasa lalu, hampir semua orang Dayak adalah orang-orang yang mempraktekkan animisme. Menyusul berlangsungnya kristenisasi massal tahun 1960-an, sekarang masyarakat Dayak pun diidentikkan dengan agama Kristen (Yekti Maunati, 2004:80). Upacara kunci dalam upacara animistic konon adalah ritual perburuan kepala, sehingga citra orang Dayak dikaiteratkan dengan ritual tersebut. Animisme di Kalimantan pada umumnya bercirikan kepercayaan supernatural, ritual-ritual, dan praktisasi-praktisasi supernatural tertentu. Menurut John Tondowidjojo kepercayaan animisme adalah kepercayaan terhadap jiwa-jiwa dan roh-roh nenek moyang atau kepala suku yang memiliki kesaktian atau ilmu yang tinggi sehingga selamanya roh mereka dihormati dan apabila ada upacara selamatan nama-nama mereka selalu disebut sebagai roh yang dihormati (1992:91). Tujuan utama pelaksanaan upacara keagamaan kelompok-kelompok Dayak adalah untuk menjamin keberlangsungan hidup mereka dari satu generasi ke generasi selanjutnya (Yekti Maunati, 2004:82). Banyak orang yang sekarang dianggap orang Melayu, dulunya dianggap sebagai orang “Dayak” (Yekti Maunati, 2004:61). Menurut Ave dan King, mereka beranggapan bahwa mayoritas orang Melayu sebenarnya adalah orang Dayak yang kemudian masuk Islam (Commans,1987; Selato, 1989; Gerke, 1997). Sejalan dengan perubahan tersebut, ke-Dayak-an mereka dipertanyakan dan kemudian berangsur-angsur lenyap. Jadi, antara Dayak dan Melayu merupakan batas yang sifatnya arbitrer dan agak ambigu. Penjelasan mengenai asal-usul suku Dayak masih terjadi perbedaan pendapat di berbagai kalangan. Ada yang mengatakan bahwa suku Dayak berasal dari langit ketujuh (menurut tetek tatum), dan ada juga pendapat yang mengatakan bahwa suku Dayak berasal dari Proto Melayu. Penyelidikannya sendiri tentang suku ini mengalami kesulitan karena sangat sedikitnya sumber-sumber tertulis, yang ada hanya sumber-sumber lisan, padahal sumber-sumber lisan. padahal penggalian sejarah yang memakai sumber lisan banyak mempunyai kelemahan terutama tentang keutuhan dan akurasi informasi yang diberikan atau didapat. Problem lainnya adalah penggalian sejarah dari mite asal usul. Mite yang tidak dapat dijadikan sumber sejarah karena mite bukan menceritakan kronologis suatu peristiwa, tetapi mencerita tantang kejadian mitis. Dari sudut sejarah untuk mencari kepastian asal usul manusia Dayak sangat sulit melacaknya. Sumber lisan yang ada bersifat simpang siur. Para ahli berpendapat bahwa suku bangsa dayak berasal dari Yunan di Cina Selatan. Ada beberapa rute yang ditempuh para imigran itu Pertama mereka mengembara melalui Indo Cina ke Jazirah Malaysia. Dari Malaysia masuk kepulau-pulau yang ada di Indonesia terutama kepulau Kalimantan. Ada pula kelompok lain yang memilih batu loncatan melalui Hainan, Taiwan dan Philipina. Coomans (1987: 231) memperkirakan bahwa kelompok pertama yang masuk ke pulau Kalimantan adalah kelompok Negrid dan Weddid. Setelah gelombang imigrasi pertama masuk, menyusul kelompok lain yang disebut proto melayu (Melayu Tua). Perpindahan ini terjadi antara tahun 3000–1500 SM. Tjilik Riwut memperkirakan bahwa imigran dari Cina Selatan yang pertama masuk ke Kalimantan adalah bangsa Negrito dan Weda, setelah itu masuk pula bangsa Melayu Tua yang mendiami daerah pesisir pantai. Namun Melayu Tua tersebut terdesak oleh Melayu Muda yang menyusul kemudian, sehingga Melayu Tua masuk ke pedalaman. Perpindahan atau imigran besar-besaran ini terjadi kira-kira 200 tahun SM. Arti kata dayak di kalangan para ahli dan orang dayak itu sendiri banyak diperdebatkan. Kata “Dayak” berarti manusia, ada pengarang lain yang menyatakan kata itu berarti pedalaman. Mengatakan arti yang paling tepat adalah orang tinggal dihulu sungai. Sedang Lahajir,dkk (1998:234) mengatakan bahwa orang-orang Iban mempergunakan istilah Dayak dengan arti manusia, sementara orang Dayak Tunjung dan Dayak Benuaq mengartikan istilah Dayak sebagai hulu sungai. Mereka juga menyatakan bahwa sebagaian orang mengklaim bahwa istilah Dayak menunjuk pada karakteristik personal tertentu yang diakui oleh orang-orang Kalimantan, yiatu: kuat, gagah, berani dan ulet. Lahajir, dkk mencatat bahwa setidaknya ada 4 (empat istilah untuk penduduk asli Kalimantan menggunakan istilah tersebut, yaitu: Daya, Dyak, Daya dan Dayak.Oleh, R. Masri Sareb Putra, Kata “Dayak” berarti : orang udik yang tinggal di pedalaman. Perbedaan penulisan nama suku tersebut, walaupun hanya satu huruf tambahan ( huruf “k” ), bagi suku Dayak sangat bararti. Dan menurutnya mengucapnya “Dayak” bagi suku asli pulau Kalimantan ini akan merasa terhina. Kemudian Masri Sareb mencoba berbagi pengetahuan mengenai tata bahasa Belanda yang menyisipkan konsonan diantara dua vokal untuk membentuk kata benda. Misalnya: Java menjadi Javanees, Bali menjadi Balinees, sedangkan Daya menjadi Dayaker. Namun demikian Masri Sareb menegaskan dalam literature Belanda istilah Dayaker tidak pernah digunakan, tetapi yang kerapkali digunakan ialah Dayak. Keberadaan tanah adat ini senyatanya memang masih tetap hidup dan ada, baik yang dimiliki secara komunal, kelompok (keluarga besar) maupun individual. Dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sebagai salah satu landasan konstitusionalmasyarakat adat menyatakan pengakuan secara deklaratif bahwa Negara mengakui dan menghormati keberadaan dan hak-hak masyarakat adat.Namun pengakuan tersebut memberikan batasan-batasan atau persyaratan agar suatu komunitas dapat diakui keberadaan sebagai masyarakat adat. Ada empat persyaratan keberadaan masyarakat adat menurut Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 antara lain: a. Sepanjang masih hidup b. Sesuai dengan perkembangan masyarakat c. Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia d. Diatur dalam undang-undang. Pada tingkatan Undang-Undang, UUPA No. 5/1960 adalah produk hukum yang pertama kali menegaskan pengakuannya atas hukum adat. Ketentuan ini bisa dilihat pada pasal 5 yang menyebutkan bahwa: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang didasarkan atas persatuan bangsa”. Sejumlah Undang-Undang telah dikeluarkan menyertai UUPA, seperti Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang HAM, yang menegaskan bahwa hak-hak masyarakat hukum adat sebagai bagian dari Hak Asazi Manusia. Pasal 6 UU No.39/1999, menyebutkan: (1) Dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah. (2) Indentitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan jaman. Penjelasan pasal 6 ayat (1) UU ini menyatakan bahwa “hak adat” yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan perundangan-undangan. Sedangkan penjelasan untuk ayat (2) dinyatakan bahwa dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas hukum negara yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Lebih jauh, pasal 6 UU HAM ini sesungguhnya menegaskan pula keharusan bagi hukum, masyarakat dan pemerintah untuk menghargai kemajemukan identitas dan nilai-nilai budaya yang berlaku pada komunitas adat setempat. Pengingkaran terhadap kemajemukan tersebut, misalnya melakukan penyeragaman (uniformitas) nilai terhadap mereka merupakan suatu pelanggaran HAM, apalagi jika pengingkaran tersebut disertai tindakan-tindakan pelecehan, kekerasan atau paksaan. Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 5/1999 yang berisi Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Masyarakat Hukum Adat antara lain mengatur bahwa penetapan apakah sesuatu wilayah merupakan tanah ulayat atau bukan, dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Proses identifikasi terhadap masyarakat adat dapat dilihat dengan berkaca pada identifikasi KAT yang dilakukan oleh Kementerian Sosial.Kementerian Sosial melalui dinas sosial di daerah-daerah melakukanidentifikasi terhadap KAT dengan tahapan sebagai berikut: a. Penjajagan awal yaitu suatu studi awal dengan melibatkan stake holder lain, antara lain dinas transmigrasi dan akademisi. Dalam tahap ini dilihat apakah daerah tersebut layak disebut daerah terpencil, yang dapat dilihat dari infrastruktur, akses terhadap air bersih, dan akses terhadap sarana prasarana lain (misal: informasi dan komunikasi). b. Studi kelayakan yaitu studi lanjutan dari penjajagan awal, yang biasanya dilakukansetahun setelah tahap penjajagan awal. Dalam tahap ini juga melibatkan stake holder terkait, biasanya dilakukan dengan mendata penduduk yang tinggal dalam KAT. Kemudian dinas sosial dan stake holder bersama-sama dengan penduduk KAT merencanakan relokasi ke depan supaya penduduk mendapatkan akses, sarana, dan prasarana menuju kehidupan yang lebih baik. c. Pemberian bantuan yaitu tahap untuk merealisasikan program pemberdayaan KAT. Dalam tahap ini Dinas Sosial membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam KAT tersebut sesuai dengan rencana dalam studi kelayakan tadi, antara lain: perumahan,jalan, dan sarana air bersih. Selanjutnya penduduk yang ada di dalam KAT direlokasi ke daerah yang baru, namun tetap mencirikan daerah KAT yang sebelumnya. Tanah masyarakat adat di Kalimantan menghadapi persoalan besar yang dapat mengancam eksistensinya oleh karena beberapa faktor. Pertama, faktor konflik kehutanan struktural (penetapan pejabat publik kehutanan), kedua, faktor lajunya investasi yang mendesak bahkan menghilangkan sebagian kawasan hutan adat masyarakat hukum adat, ketiga, individualisasi tanah-tanah adat oleh warga persekutuan dan warga diluar persekutuan. Di sisi lain, kebijakan pemerintah daerah yang belum memadai dalam memberi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat semakin mengancam eksistensi masyarakat hukum adat beserta hak-hak yang melekat pada mereka. Kalimantan Tengah telah mengeluarkan Perda No 16 tahun 2008 (direvisi dengan Perda No. 1 tahun 2010) tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah, dinyatakan bahwa Dayak adalah rumpun atau himpunan suku penduduk asli Kalimantan Tengah yang mempunyai hak-hak adat, kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat dan hukum adat yang diakui sebagai wujud dari ke-Bineka Tunggal Ika-an, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan Tanah adat adalah tanah beserta isinya yang berada di wilayah Kedamangan dan atau di wilayah desa/kelurahan yang dikuasai berdasarkan hukum adat, baik berupa hutan maupun bukan hutan dengan luas dan batas-batas yang jelas, baik milik perorangan maupun milik bersama yang keberadaannya diakui oleh Damang Kepala Adat. Adapun Wilayah adat adalah wilayah satuan budaya tempat adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan hukum adat Dayak itu tumbuh, berkembang dan berlaku sehingga menjadi penyangga untuk memperkokoh keberadaan Masyarakat Adat Dayak bersangkutan. Sedangkan Kelembagaan Adat Dayak adalah organisasi kemasyarakatan, baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang bersamaan dengan sejarah Masyarakat Adat Dayak dengan wilayah hukum adatnya, serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan dengan mengacu kepada adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan hukum adat Dayak. Dalam Perda ini yang diikuti dengan Pergub hanya mengatur mengenai definisi dayak, hak adat, adat istiadat dayak, tanah adat milik bersama dan perorangan, wilayah adat dan kademangan. Belum ditentukan karakteristik wilayah yang dapat menjadi wilayah adat, siapa yang dapat disebut masyarakat adat, tatanan hukum dalam rangka pemilikan, penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Gambar 9. SKTA Baik Perda No. 16 Tahun 2008 maupun Pergub No. 13 Tahun 2009 belum menjawab terhadap implementasi Putusan MK 35 karena putusan MK menghendaki pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 UU Kehutanan. Di dalam Pasal 67 ayat (2) UU kehutanan menyebutkan bahwa Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Di dalam penjelasan disebutkan bahwa: Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain: a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap); b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c. ada wilayah hukum adat yang jelas; d. ada pranata hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam pelaksanaannya, Peraturan Gubernur ini mengalami berbagai kendala, antara lain: konflik Kehutanan struktural (permenhut yang menetapkan 80% wilayah Kalimantan Tengah merupakan kawasan hutan) kondisi ini. Untuk menelusuri “gambar besar” konflik kehutanan struktural tersebut harus diletakkan pada etika tata ruang dan konsep tata ruang yang berkeadilan untuk menyelesaikan “gambar besar” tersebut, karena persoalan tata ruang dan keadilan tata ruang memiliki akar yang sistemik dan struktural. Persoalan krusial dan prinsipil dari persoalan ini adalah keadilan tata ruang bagi masyarakat hukum adat. Ada tiga aksioma dalam menjelaskan esensi landasan keadilan tata ruang tersebut, yakni : keadilan memberi dan menerima sesuatu yang layak baginya, keadilan terletak pada hak-hak untuk dihormati, dan keadilan mensyaratkan bahwa kebutuhan masing-masing orang dipenuhi dengan melalui kontribusi masing-masing. Selain itu Peraturan Gubernur mengakibatkan persoalan baru karena diterbitkannya SKTA oleh para damang terhadap bidang tanah dengan luasan besar dan tanah tersebut ada yang sebagian sudah bersertifikat. Gambar 10. Komunitas Adat Tumbang Bahanei Pada masyarakat hukum adat Dayak di Kalimantan Tengah ditemukan suatu ciri tanah adat yang sama dengan hak ulayat, yakni berupa hak pemanfaatan dan memunggut hasil atas hutan (himba) seperti kayu untuk membuat rumah, madu hutan, rotan, dll di atas tanah adat sebatas kebutuhan saja, bukan ditujukan untuk kepentingan komersil. Itu berarti bahwa pemamfaatan terhadap atas segala yang tumbuh dan ada di atas tanah adat tersebut harus memperhatikan kesejahteraan dan keberlangsungan ekologis, karena tidak semua kayu bisa di ambil di atas tanah adat, hanya kayu yang memenuhi kriteria tertentu (ukuran, populasi) yang dapat dimanfaatkan untuk membuat rumah atau keperluan lainnya bagi masyarakat adat. Di Kalimantan Barat, tiga kabupaten yang dijadikan sampel penelitian yakni Kabupaten Bengkayang, Landak dan Sanggau, belum ada satupun regulasi di tingkat daerah yang memberi penegasan yang jelas terkait dengan keberadaan masyarakat adat maupun peraturan yang mengatur tentang hak mereka terkait dengan hutan adat (skema putusan MK 35 tahun 2012). Akan tetapi secara de facto bahwa keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayat senyatanya memang ada, hal ini dibuktikan dengan adanya : 1). Wilayah adat yang merupakan teritori yang berdimensi sosial dan politis yang dinamakan binua (sebutan wilayah adat bagi suku Dayak yang ada di Kabupaten Bengkayang dan Landak) dan kampung (sebutan bagi sub suku Dayak yang ada di Kabupaten Sanggau ( Dayak Tarangk). 2). Adanya masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat yang mendiami wilayah binua atau kampung merupakan masyarakat yang terikat dengan adat dan hukum adat dalam mengatur pola hubungan sosial, mengatur pola tingkah laku dan interaksi diantara para warga persekutuan tersebut. Keterikatan yang kuat terhadap adat dan hukum adat memiliki arti bahwa tertib sosial, keberlangsungan kehidupan dan kesejahteraan terletak pada bagaimana sikap dan cara mereka mentaati adat dan hukum adat yang menjadi pedoman bagi mereka dalam menata kehidupan sosial dan kepercayaan mereka. 3). Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan wilayahnya dalam hal pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayatnya (baca: tanah adat) diatur berdasarkan ketentuan hukum adat, termasuk didalamnya mengatur tentang pelanggaran terhadap hak ulayat tersebut . Masyarakat adat dayak selama ini berusaha menjaga aktifitas dari orang luar terhadap kawasan hutan yang menjadi wilayah hukum adat mereka untuk pelestarian hutan dan menjaga ekosistem lingkungan mereka dimana sumber penghidupan masyarakat adat berada. Pada masyarakat adat Dayak Tobak, ada beberapa pola penguasaan kepemilikan tanah oleh masyarakat, antara lain sebagai berikut : a. Sistem pembukaan lahan oleh masyarakat setempat, berupa pembukaan hutan primer yang dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat kampung tersebut bagi kepentingan pendirian kampung, pendirian rumah betang/rumah tunggal, dan sebagainya. Kegiatan ini dilakukan secara gotong-royong oleh seluruh warga kampung. b. Pembelian. Pola penguasaan kepemilikan tanah oleh masyarakat dapat pula dilakukan melalui jual-beli tanah yang dilakukan secara adat atau juga jual-beli secara nyata. Belakangan/saat ini, jual-beli secara nyata dilakukan secara tertulis untuk menjamin adanya kepastian hukum. c. Tukar-menukar sebidang tanah yang dilakukan secara adat atau secara nyata dengan menunjukkan para saksi untuk menyatakan sahnya perjanjian jual-beli tersebut. Proses tukar-menukar yang dilakukan dengan menafsirkan nilai tanah masing-masing, dan biasanya tanah yang ditukar para pihak tanpa atau dengan menambah harga tanah yang ditukar tersebut. d. Pewarisan. Pola penguasaan kepemilikan tanah juga dapat terjadi karena adanya pewarisan yang dilakukanoleh pewaris kepada ahli waris yang dilakukan secara adat dan diketahui oleh pengurus adat. Dengan lahirnyaPutusan MK No. 35 tahun 2012 maka Masyarakat Hukum Adat yang wilayah adatnya dikategorikan sebagai kawasan hutan mengklaim wilayahnya sebagai hutan adat, antara lain Komunitas Dayak Ngaju Tumbang Bahanei yang berada dalam wilayah kabupaten Gunung Mas kecamatan Rungan Barat, menuntut pengakuan atas wilayah adat nya.Untuk itu mereka telah melakukan pemetaan wilayah adat secara partisipatif yang dituangkan dalam peta skala 1 : 18.000. Wilayah Adat tersebut luasnya 8.888 ha terbagi atas pemukiman seluas 12 ha dan hutan adat seluas 8876 ha. Di wilayah adat ini selain pemukiman terdapat juga tempat-tempat keramat seperti : a. Tajahan, merupakan suatu lokasi yang dikeramatkan oleh Suku Dayak yang beragama Kaharingan, dilokasi tajahan didirikan rumah berukuran kecil sebagai tempat untuk menaruh sesajen tanda persembahan kepada roh-roh halus yang bersemayam di tempat itu. Rumah kecil tersebut biasanya disertai dengan beberapa patung kecil yang merupakan symbol atau replica dari anggota keluarga yang sudah meninggal. Lokasi tajahan pada kawasan hutan lebat dimana pada lokasi itu dilarang menebang hutan, berburu dsb. b. Kaleka, merupakan daerah peninggalan nenek moyang suku Dayak yang ditandai dengan bekas tiang-tiang rumah betang/rumah panggung, pohon besar seperti durian, langsat, dsb. Lokasi tersebut dipelihara dan dilindungi pihak keluarga secar turun temurun sebagai harta waris yang peruntukan dan pemanfaatannya (seperti mengambil buah-buahan untuk kepentingan bersama. c. Sepan pahewan, merupakan tempat sumber mata air asin dimana binatang-binatang seperti rusa, kijang, kancil dll meminum air asin sebagai sumber mineral. Lokasi ini merupakan tempat perburuan suku dayak untuk memenuhi kebutuhan hewani oleh karenanya diperlihara dan dilindungi d. Pukung Himba, merupakan bagian dari kawasan hutan rimba yang dicadangkan untuk tidak ditebang karena fungsinya untuk pemindahan roh-roh halus(Gana) dari kawasan yang akan dijadikan ladang. Ciri-ciri daerah pukung himba umumnya wilayah yang berhutan lebat dan berumur tua dengan diameter vegetasi kayu berukuran relative besar, belum banyak terjamah oleh manusia dan banyak dihuni oleh satwa liar. Gambar.11 Wilayah Adat Komunitas Tumbang Bahanei Mencermati tuntutan pengakuan wilayah adat masyarakat adat Tumbang Bahanei, maka beberapa hal perlu menjadi perhatian, yaitu bagaimana dengan tanah milik perorangan yang ada di atasnya beberapa diantaranya sudah bersertipikat yang berada di pemukiman, apakah akan tetap masuk dalam wilayah adat tersebut atau akan di enclave, atau tanah milik perorangan tetap berada dalam wilayah adat tersebut. Apakah diperbolehkan individu yang merupakan anggota dari masyarakat hukum adat untuk melakukan pensertipikatan hak atas tanahnyake Kantor Pertanahan setempat, kondisi ini dikuatirkan akan menghilangkan sifat kebersamaan dari kepemilikan tanah adat dan wilayah adat. Konteks Hubungan hokum antara masyarakat adat dengan tanahnya ini dimaknai secara berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat lain, berbeda antara Papua, Sumatra Barat, Dayak dan Baduy. Pada masyarakat Baduy dibuat ketentuan larangan untuk mensertipikatkan tanah ulayat menjadi tanah milik individu. Di Sumatra Barat, tanah ulayat nagari dapat didaftarkan menjadi hak guna usaha, hak pakai atau hak pengelolaan. Sementara itu tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum dapat didaftarkan menjadi hak milik dengan pemegang atas nama penghulu suku atau mamak kepala waris. Sedangkan di Kalimantan Tengah berdasarkan Perda No. 16 Tahun 2008 dan Pergub No. 13 Tahun 2013, diperbolehkan untuk mendaftarkan tanah-tanah adat individu yang telah memiliki SKTA untuk didaftarkan menjadi hak milik kepada Kantor Pertanahan Persoalan di atas akan banyak ditemukan karena adanya prinsip pemanfaatan ruang dalam suku dayak yang mengenal system kamar atau zonasi, dimana pembagian wilayah adat selain sebagai sumber kehidupan dan tempat keramat atau situs, juga digunakan sebagai tempat pemukiman.Dalam wilayah adat tersebut, ada kemungkinan telah terjadi jual beli dengan warga di luar masyarakat adat, tentunya hak komunal dan hak-hak perorangan harus berjalan seimbang dan selaras sehingga tidak menimbulkan konflik antar warga masyarakat hokum adat atau antara masyarakat hukum adat dengan warga disekitarnya. Keberadaan tanah ulayat di wilayah penelitian secara normative sudah memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan berdasarkan PMNA Nomor 5 tahun 1999 kecuali mengenai keharusan adanya PERDA Penetapan wilayah tanah ulayat. Fakta lapangan menemukan adanya masyarakat hukum adat yang telah lama eksis, ada wilayah yang jelas mereka kuasai secara turun temurun sebagai sumber kehidupan dan tempat pemukiman, kemudian ada tatanan hukum adat mengenai mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. Pada masyarakat Dayak, tanah tidak hanya berfungsi sebagai benda ekonomis belaka, tetapi merupakan basis politik, sosial, budaya dan spritual. Pada sub suku Dayak Kanayatn (sebagian besar di Kalbar), tanah kesatuan hukum adat disebut sebagai “Binua”. Konsep “kabinuaan” merupakan konsep geo-politik, yang didalamnya terdapat rakyat yang memiliki seperangkat aturan (hukum) dan individu-individu yang diangkat oleh rakyat untuk menegakkan aturan tersebut. Penataan ruang binua merupakan suatu land use management yang diadaptasikan terhadap sistem pertanian asli terpadu (indigenous integrated farming system). Di dalamnya sekurangnya terdapat tujuh komponen (Djuweng, 1996), di antaranya adalah: kawasan hutan untuk cadangan masa depan, tanah yang ditanami pohon buah-buahan (tembawang), tanah yang ditanami tanaman keras, tanah pertanian (yang sedang dikerjakan dan sedang diistirahatkan), tanah pekuburan dan keramat, perkampungan dan pekarangan, serta sungai dan danau untuk perikanan. Hak milik atas tanah menurut adat Dayak dikenal sebagai “hak milik adat turun temurun” yang mencakup hak mengelola dan mengusahakan segala sesuatu baik yang berada di dalam maupun di atasnya. Konsep “ hutan adat” pada Dayak Kanayatn disebut dengan Palasar Palaya, yang memadukan tanah dengan fungsi-fungsinya bagi kehidupan manusia. Ada batas-batas teritorial pengelolaan sumberdaya alam pada satu kampung (ampu sakampongan). Berbagai fungsi yang dikenal adalah tanah keramat (panyugu, padagi, pantulak, dll), tempat berburu dan tempat berladang (balubutatu, bawas), tanah bersawah (tawakng, bancah), perkebunan rakyat (kabon gatah, kampokng buah), dan cagar budaya (timawakng). Selain itu, juga ada tanah colap tornat pusaka (tanah yang dingin), yaitu tanah perjanjian adat yang turun temurun harus tetap diabadikan (pusaka). Pihak luar dapat saja memanfaatkan tanah-tanah milik ulayat Dayak, karena dimungkinkan dalam aturan mereka. Pendatang dapat mengolah tanah Suku Dayak dan Melayu dengan meminta izin menggarap. Sebagian dari mereka ada yang memperoleh hak penggarapan dengan meminjam (mungkin tanah saradangan dan binua), namun sering juga diberikan kepada pendatang secara cuma-Cuma. Di Suku Dayak di Kalimantan Barat, diakui oleh berbagai nara sumber bahwa memang tanah sesungguhnya tidak dapat diperjual belikan, meskipun hal ini tidak lagi dipatuhi secara baik. Bahkan, jika sebagian besar anggota keluarga telah meninggalkan kampung, maka salah seorang (biasanya anak tertua) bertanggung jawab untuk mengelola dan menjaga seluruh tanah keluarga tersebut, namun tidak dapat menjualnya kepihak lain. Adapun kelembagaan adat di akui dan dihormati oleh warga masyarakat hokum adat, jika terjadi pelanggaran terhadap hukum adat maka warga masyarakat hokum adat akan dikenakan sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran yang telah dilakukan. Istilah kelembagaan adat berbeda-beda di tiap wilayah, di Kalimantan Tengah semenjak 1938 lembaga kedemangan dikenal sebagai lembaga yang bersifat semi formal. Dikatakan demikian oleh karena pada suatu pihak lembaga kedemangan diakui oleh warga sebagai lembaga adat, sedangkan dilain pihak pemerintah mengakui lembaga ini sebagai perpanjangan tangan dari lembaga pemerintah. Tjilik Riwut, dalam tulisannya menyatakan bahwa Damang Kepala Adat yang dilahirkan pada tahun 1938 sebagai tebusan pengganti pejabat kepala adat zaman purba, oleh masyarakat suku Dayak dipandang sebagai rehabilitasi yang diberikan kepada perasaan mereka sebagai pengakuan adat istiadat leluhur mereka. Dengan PERDA N0. 16 tahun 2008 dinyatakan bahwa Damang Kepala Adat adalah pimpinan adat dan Ketua Kerapatan Mantir Perdamaian Adat tingkat kecamatan yang berwenang menegakkan hukum adat Dayak dalam suatu wilayah adat yang pengangkatannya berdasarkan hasil pemilihan oleh para kepala desa/kelurahan, para ketua Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan, para Mantir Adat Kecamatan, para Ketua Kerapatan Mantir Adat Perdamaian desa/kelurahan yang termasuk dalam wilayah Kedamangan tersebut. Tindak lanjut dari Putusan MA No. 35/PUU-X/2012, maka diterbitkan Peraturan Bersama Mendagri, Menteri Kehutanan, Menteri PU dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 79 tahun 2014 , Nomor PB 3/ Menhut-11/2014, No. 17/Prt/M/2014, N0. 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah Yang Berada Di dalam Kawasan Hutan. Dalam konsiderans menimbang huruf e dinyatakan bahwa dalam rangka menyelesaikan hak-hak masyarakat dalam kawasan hutan sepanjang masih menguasai tanah di kawasan hutan serta sesuai prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat. Selanjutnya dalam Pasal 3 Peraturan ini menginstruksikan bahwa dalam rangka penyelesaian hak ulayat dan penguasaan tanah yang berada dalam kawasan hutan yang terletak lintas kabupaten/kota, Gubernur membentuk Tim IP4T. Tugas dari Tim IP4T antara lain adalah a) menerima pendaftaran permohonan IP4T, b) melakukan verifikasi permohonan, c) melaksanakan pendataan lapangan, d) melakukan analisa data yuridis dan data fisik bidang-bidang tanah dalam kawasan hutan. Kemudian dalam ketentuan peralihan pasal 22 dinyatakan bahwa terhadap hak atas tanah yang telah diterbitkan tanda bukti haknya secara sporadic kepada orang perorangan, badan social/keagamaan dan instansi pemerintah sesuai ketentuan di bidang pertanahan yang berlaku di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya peraturan ini dinyatakan tetap berlaku. Identifikasi karakteristik Hak Ulayat di Kalimantan Wilayah Sampel Sub suku Wilayah Administrasi Penguasaan Pemilikan Penggunaan Pemanfaatan Bekatik Perorangan dan adat Kampong bersama sama Sawah, perkampungan Tanaman padi kering Dayak di Provinsi Kalimantan Barat bedayuh Perorangan dan adat Individu dan sebagian kelompok Sawah dan Kebun Tanaman padi dan tanaman buah Kanayatn Perorangan dan adat Individu dan sebagian kelompok Kebun buah dan karet Buah dan karet Toba Perorangan dan adat Individu dan sebagian kelompok Kebun dan sawah Padi dan buah Bentiant Perorangan dan adat Individu Kebun Kebun campuran berumur pendek Tarank Perorangan dan adat Kelompok Kebun Buah Dayak Ngaju Di Tumbang Bahanei Kelompok adat Kelompok Kebun, hutan dan sawah Tanaman padi, Karet Dayak di Provinsi Kalimantan Tengah Maanyan Perorangan dan adat Individu dan sebagian kelompok Kebun buah dan karet Buah dan karet Bentian Kelompok dan individu Individu dan sebagian kelompok Kebun , sawah dan tegalan Kebun buah, padi dan kacang-kacangan Dayak di Provinsi Kalimantan Timur Tunjung Kelompok dan individu Individu dan sebagian kelompok Kebun, sawah Padi dan karet Benuaq Kelompok dan individu Individu dan sebagian kelompok Kebun Buah, kelapadan karet Catatan: konsepsi penguasaan tanah dan kelompok di masyarakat dayak disebut berhimpitan dimana biasanya memerlukan ijin kepala suku, kepala adat dan atau temenggung dimana hasilnya ada yang digunakan untuk pribadi ada pula yang dipergunakan secara bersama-sama Identifikasi Karakteristik Struktur Adat di Kalimantan Wilayah Sampel Sub Suku Pemimpin Tertinggi Pembantu Pemimpin Sistem Kekerabatan Sistem Pewarisan Pengaturan Ulayat Sanggau Bekatik Temenggung Pangaraga dan Pesirah Patrilineal Kolektif Pengaturan berdasarkan Kesepakatan para tetua adat Bengkayang bedayuh Temenggung Pangaraga dan Pesirah Patrilineal Kolektif Pengaturan berdasarkan Kesepakatan para tetua adat Bengkayang Sanggau Kanayatn Temenggung Pangaraga dan Pesirah Patrilineal Kolektif Pengaturan berdasarkan Kesepakatan para tetua adat Sanggau Toba Temenggung Pangaraga dan Pesirah Patrilineal Kolektif Pengaturan berdasarkan Kesepakatan para tetua adat Landak Bentiant Temenggung Pangaraga dan Pesirah Patrilineal Kolektif Pengaturan berdasarkan Kesepakatan para tetua adat Sanggau Tarank Temenggung Pangaraga dan Pesirah Patrilineal Kolektif Pengaturan berdasarkan Kesepakatan para tetua adat Gunung Mas Dayak Ngaju Di Tumbang Bahanei Kepala Adat Mantir Adat Patrilineal Kolektif Ada dalam Perda No 16 tahun 2008 Seruyan Maanyan Kepala Adat Mantir Adat Patrilineal Kolektif Ada dalam Perda No 16 tahun 2008 Kutai barat Bentian Kepala Adat Pamane Patrilineal Kolektif Kesepakatan bersama warga kampong Kutai barat Tunjung Kepala Adat Pamane Patrilineal Kolektif Kesepakatan bersama warga kampong Kutai barat Benuaq Kepala Adat Pamane Patrilineal Kolektif Kesepakatan bersama warga kampong 5.2. Tata Administrasi Pertanahan Untuk menentukan keberadaan tanah ulayat atau wilayah adat maka perlu dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan, apabila memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah. Batas merupakan hal yang sangat penting terkait pengakuan suatu wilayah kekuasaan dalam hal ini wilayah adat. Batas dapat juga didefinisikan dari segi hokum yaitu garis khayal yang menghubungkan dua wilayah yang bersebelahan (Dale dan Mc Laughlin, 1999). Umumnya suatu batas dipresentasikan dalam suatu obyek fisik yang menggambarkan garis khayal tersebut, misalnya suatu persil yang dibatasi dengan pagar atau pembatas lain yang menggambarkan bahwa persil tersebut sudah dimiliki oleh seseorang. Selama ini sudah banyak dilakukan pemetaan partisipatif di wilayah masyarakat adat yang diinisiasi oleh Dewan Adat Dayak dan AMAN. Konsep pemetaan partispatif merupakan suatu pemetaandengan melibatkan anggota masyarakat hukum adat sebagai yang paling berperan dalam mengexplore riwayat data pisik dan data yuridis tentang penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah ulayat dimaksud. Dalam pemetaan partisipatif masyarakat menentukan sendiri topik pemetaan dan tujuannya untuk kepentingan masyarakat, masyarakat menentukan sendiri proses yang berlangsung dan penggunaan peta yang dihasilkan. Hasil pemetaan data partisipatif terdiri dari data spasial meliputi batas-batas wilayah dalam satuan wilayah adat atau wilayah administrasi, penggunaan lahan, bentang alam, tempat-tempat penting, data dan informasi social meliputi sejarah keberadaan komunitas dan wilayahnya, bahasa dan kebudayaan, kelembagaan dan norma yang berlaku di wilayah yang dipetakan, system tenurial, juga fitur-fitur penting dan nama tempat yang berasal dari komunitas sebagai Informasi Geospasial Dasar untuk dipakai pada peta dasar skala menengah atau besar . Secara formal, Baik Perda Kalimantan Tengah maupun Pergub No.13/2009 tidak mencantumkan batasan luasan tentang tanah adat agar tanah tersebut mempunyai batas-batas yang jelas dan mudah untuk dilakukan indentifikasi. Di realitas sosisal di budaya masyarakat adat dayak dikenal dengan tanah ayungku dimana disitu disebut dengan tanah adat dan luasanya berdasarkan arah telunjuk. sedangkan di pengaturan lain ada yang mengatakan bahwa luas tanah masyarakat adat itu, sepanjang masih terdengarnya bunyi gong, sepanjang bunyi kokok ayam dan dibatasi dengan sungai. Ciri-ciri batas wilayah adat di kal teng dikenal tanaman penanda ada empat macam, yaitu karet, padi, rotan dan kayu panting sebagai penanda territorial, patok – patok ditancapkan di setiap sudut petak tanah untuk menunjukan batas – batasnya. Tanda pengusaan tanah yang umum adalah adanya pondok,pohon-pohon,buah-buahan, dan pohon-pohon kayu keras.Demikian halnya di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, demi menjaga keutuhan wilayah adat, warga persekutuan membuat batasan-batasan wilayah adat dan juga tanah adat sebagai wilayah kekuasaan dengan tanda-tanda alam berupa batang pohon tertentu (pohon buah-buahan, tapang, ulin, dsb), rumpun bambu, sungai, perbukitan, dsb. Pemberian tanda tersebut menunjuk pada batas teritori, kekuasaan politis, dan ekonomis serta tempat bersemayamnya roh leluhur atas suatu wilayah adat. Dengan demikian, pemberian tanda tersebut meliputi pula seluruh objek dari tanah adat antara lain tanah berupa daratan, danau, sungai, tumbuh-tumbuhan, hewan buruan, kayu, dan sebagainya. Untuk menyelesaikan hak-hak masyarakat dalam kawasan hutan sepanjang masih mempunyai tanah dikawasan hutan maka perlu diberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat. Untuk itu berdasarkan SKB 3 Menteri dan Kepala BPN maka dilakukan kegiatan Inventarisasi Penguasaan Pemilikan Penggunaan Pemanfaatan Tanah (IP4T) yang diolah dengan sistem informasi geografis sehingga menghasilkan peta dan informasi mengenai penguasaan tanah oleh pemohon. Hasil pendataan IP4T akan menghasilkan peta dengan skala paling besar 1 : 10.000 untuk perkotaan dan 1 : 1.000 untuk pedesaan dengan menggunakan peta rupa bumi yang dikeluarkan oleh Badan Informasi Geospasial sebagai peta dasar. Didalam peta penggunaan tanah dibuatkan batas administrasi desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten. Hasil pengolahan data yuridis dan data fisik bidang-bidang tanah maka Tim IP4T akan memutuskan terhadap tanah yang dikuasai selama 20 tahun berturut-turut atau lebih dapat diajukan permohonan penegasan hak sedangkan yang penguasaannya kurang dari 20 tahun dapat diberikan hak atas tanah dalam rangka reforma agraria. Pemohon menunjukkan langsung bidang tanah yang dimohon dan disetujui oleh pihak yang berbatasan, kemudian diperkuat dengan surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah (SPPFBT) yang dibuat oleh yang bersangkutan dan keterangan yang dapat dipercaya dari sekurang-kurangnya 2 saksi dari lingkungan masyarakat setempat yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengan yang bersangkutan sampai derajat kedua baik dalam kekerabatan vertikal maupun horizontal yang menyatakan bahwa yang bersangkutan adalah benar pemilik bidang tanah tersebut dan diketahui oleh Kepala Desa/Lurah atau sebutan lain yang disamakan dengan itu. Peruntukan penggunaan pemanfaatan tanah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota. Peta tersebut harus memuat data subyek (Pemilik, Penguasa dan Pemakai/pemanfaat) terdiri dari: Sistem Kekerabatan, Struktur kemasyarakatan (keluarga/marga/ suku, Struktur Kepemimpinan (tingkat kekuasan/ kewenangan); dan data obyek (jenis/tingkatan hak ulayat) , Penggunaan Tanah (Pemukiman, untuk mata pencarian, berburu,dsb). 5.3. Kearifan lokal Peradilan Masyarakat Dayak Fakta di lapangan banyak dijumpai bahwa yurisdiksi peradilan adat memilikikarakter tersendiri yang membedakannya dengan peradilan nasional, karena peradilan adat bisa mencakup publik, privat, dan atau kombinasi keduanya dalam satu persidangan. Dalam prakteknya, bisa berlangsung sangat informal, cukup dengan mekanisme mediasi, dengan kemungkinan ruang negosiasi atas prosesnya. Dalam praktek peradilan adat yang terkait dengan fungsinya, maka peradilan adat terkait dengan tiga persoalan, yakni pada tataran praktis, bahwa peradilan adat merupakan lembaga peradilan yang bertugas menyelesaikan masalah-masalah yang menganggu ketentraman dan keharmonisan komunitas masyarakat adat seperti persoalan batas tanah/kebun, perzinahan, warisan, perkawinan, ternak yang menganggu pekarangan atau kebun, dan pelanggaran-pelanggarana lainnya yang menyangkut anggota suatu komunitas adat dengan sesamanya dan dengan pihak lainnya diluar komunitasnya. Pandangan terhadap penyelesaiaan ini bersifat sosiologis dibandingkan tindakan-tindakan bersifat hukum sebagaimana dipahami dalam hukum modern. Hal ini tercermin dari ungkapan yang sangat umum “upaya penyelesaian secara kekeluargaan”. Ungkapan ini memiliki arti bahwa setiap anggota komunitas merupakan satu keluarga atau rumah tangga. Oleh karenanya, maka setiap persoalan yang menyangkut urusan keluarga dan karenanya harus diselesaikan di dalam keluarga sendiri. Dan peranan dari lembaga adat serta kepala adat hanaya mendamaikan saja pihak yang bersengketa. Unsur terpenting dalam penyelesaian secara kekeluargaan terletak pada cara membatasi cakupan kasus, tidak memperluas pihak yang terlibat dan unsur ”maaf” menjadi unsur penghubung dan pendamai para pihak yang bersengketa. Bilamana upaya penyelesaian secara kekeluargaan tidak dapat dilaksanakan atau menemui kegagalan, maka ditempuh upaya penyelesaian melalui peradilan adat. Di Kalimantan Barat umumnya penyelesaian melalui peradilan adat dilakukan secara berjenjang, mulai dari tingkat peradiilan terendah sampai pada tingkat peradilan tertinggi. Pada tataran konseptual bahwa upaya-upaya menyelesaikana sengketa melalui hukum adat dan peradilan adat dipandang sebagai upaya menggapai otonomi masyarakat adat. Peluang ini muncul sejalan dengan adanya otonomi daerah dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap peradilan negara yang tidak memberikan kepada masyarakat pencari keadilan, sehingga masyarakat lebih mempercayai peradilan adat yang dapat memberikan rasa keadilan kepada masyarakkat. Untuk itu, upaya menghidupkan kembali peradilan adat dilihat sebagai upaya menggembangkan ”kedaulatan” hukum masyarakat adat. Selanjutnya pada tataran ideologis, bahwa sistem hukum adat menyangkut aspek mental dan spiritual. Aspek ini menyangkut sistem nilai yang dianut pada suatu komunitas masyarakat adat, nilai-nilai tersebut dipengaruhi pula oleh dinamika sosial politik dan ekonomi masyarakat adat. Di Kalimantan Barat, keyakinan tentang asal-usul orang Dayak sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, yaitu alam roh, lingkungan sekitar termasuk hewan dan tumbuhan dan manusia banyak mempengaruhi gerak langkah orang Dayak dalam berhubungan dengan lingkungan hidupnya maupun dengan kelompok masyarakat lain. Pada posisi ini yang terpenting adalah bagaimana menduduk-letakkan sistem peradilan adat khususnya dan komunitas masyarakat adat pada umumnya secara lebih proposional terhadap keberadaan kelompok masyarakat lain sekaligus negara sebagai suatu sistem payung bagi semua kelompok masyarakat. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka fungsi dan peranan peradilan adat memiliki arti penting dalam penyelesaian perkara di masyarakat adat. Menurut Matt, ada beberapa alasan yang menyebabkan masyarakat lebih memilih penyelesaian sengketa secara informal. Peradilan non-negara lebih dipilih karena mudah diakses, cepat dan murah. Matt memberikan contoh bagaimana kasus pembunuhan di Palangkaraya bisa diselesaikan dalam tiga minggu. Kalau lewat pengadilan negara bisa bertahun-tahun. Disamping itu, peradilan non-formal lebih felksibel. Gambar 12. Ketua Dewan Adat Dayak Kalimantan Tengah Maksudnya, struktur dan norma yang berlaku di sama bersifat longgar untuk menyelesaikan dengan perubahan sosial. Sedangkan Harifin melihat keberadaan lembaga yang dapat menyelesaikan perselisihan kecil diantara para warga desa sesuai dengan sistem peradilan yang berkembang di negara modern yang bertujuan mewujudkana keadilan restoratif, dimana suatu konflik atau kejahatan harus dilihat bukan semata-maata sebagai pelanggaran hukum negara, tetapi konflik tersebut merepresentasikan terputusnya dan terpecahnya relasi antara dua atau lebih orang dalam masyarakat. Prof. Dr. Thumbun Anyang, SH pada semiloka Hukum Adat di Sanggau menyatakan bahwa di kalangan masyarakat Dayak, biasanya suatu sengketa tidak langsung digelar perkara dihadapan umum melalui peradilan adat untuk meminta penyelesaian kepada ketua adat dana para tetua adat setempat, melainkan melalui beberapa tahapan. Sangat jarang suatu penyelesaian diminta langsung ke Temanggung, kecuali penganiayaan berat atau pembunuhan. Tahapan pertama, sengketa diselesaikan secara kekeluargaan. Tahapan kedua, bila sengketa tidak dapat diselesaikan pada tahapan pertama, barulah sengketa diminta penyelesaian pada ketua adat kampung bersama para tetua adat setempat melalui peradilan adat. Tahapan ketiga, sekiranya belum juga selesai pada tahapan sebelumnya, maka diminta penyelesaian pada Temenggung bersama tetua adat sekampung dan biasanya mengundangg beberap atetua adat terkenal dari kampung lain yang warganya tidak terlibat dalam sengketa itu. Penyelesaian perkara mengacu hukum adat melalui peradilan adat adalah kebutuhan bersifat mutlak (conditio sine qua non) bagi masyarakat adat Dayak. Guru Fakultas Humum Universitas Tanjungpura, Prof. Dr YC Thambun Anyang, SH, berpendapat, kebutuhan itu disebabkan masih kuatnya alam pikiran religio magis dan perasaan kebersamaan di kalangan etnis Dayak. Peradilan adat menjadi alternatif terbaik penyelesaian perkara, karena lettak kampung mereka jauh dari ibu kota. Untuk berperkara di peradilan negara di kota, mereka harus menempuh jalan darat yang buruk. Karena itulah, peradilan tetap bertahan hingga sekarang. ”Peradilan adat dirasakan cepat, murah, sederhana, dan tepat. ”Ujar Thambun Anyang. Adat malu masih cukup kuat dianut masyarakat Dayak. Mereka umumnya merasa sangat malu apabila harus bersengketa, apalagi berperkara di muka umum. Sengketa maupun perselisihan perkara tidak disukai warga etnis Dayak sehingga sedapat mungkin dihindari. Peradilan adat tidak secara sekonyong-konyong dilakukan untuk menyelesaikan perkara. Sengketa biasanya diselesaikan dulu melalui musyawarah secara kekeluargaan tanpa mengabaikan penerapan adat serta hukum adat. ”Peradiilan adat baru dilakukan apabila penyelesaian secara kekeluargaan tidak berhasil”. Thambun Anyang menambahkan. Asas kerukunan, kepatutan, dan keselarasan dipertimbangkan dalam upaya penyelesaian perkara oleh para ketua adat maupun tetua adat. Diharapkan perkaara bisa diselesaikan secara tuntas, tanpa perasaan dendam. Pelaku maupun korban dapat saling memaafkan, serta melannjutkan kembali kehidupan secara damai. Kompetensi para tetua adat yang memimpin sidang peradilan adat sangat diperlukan, agar bisa diperoleh penyelesaian perkara terbaik mengacu pada asas kerukunan, kepatutan, dan keselarasan. Sanksi atau denda adat yang diputuskan dan diterima kedua belah pihak selanjutnya harus dibayar. Terkadang orang-orang yang berperkara tidak puas atas putusan peradilan adat. Ketika sanksi adat dirasakan tidak cukup adil, mereka mengajukan gugatan memakai hukum formal. Terkait dengan fungsi peradilan adat tersebut, Irene A. Muslim menegaskan bahwa fungsinya adalah fokus melaksanakan hukum adat berupa lembaga penegak hukum, melakukan tindakan menuntut, mengadili dan menjatuhkan sanksi hukum kepada pelanggar norma-norma yang berlaku pada pranata-pranata yang ada. Norma-norma yang berlaku pada pranata masyarakat tersebut berkaitan satu sama lainnya, sehingga menjadi suatu sistem norma yang luas. Oleh karena itu, maka sistem norma tersebut dikenal sebagai ”ahli adat” . Ahli adat ini menjelma menjadi fungsionaris adat atau petugas adat. Para ahli adat ini mempunyai kedudukan sebagai Pemuka Adat, Temanggung, Kepala Adat, Kepala Kampung atau Kabayan. Adapun tugas dari petugas adat atau fungsionaris adat tersebut meliputi : 1) Memberikan pedoan kepada anggota masyarakat, bagaimana seharusnya bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat. Dan merupakan dasar dari tingkah laku tersebut adalah kebiasaan yang bersifat normatif yaitu adat dan hukum adat. 2) Menjaga keutuhan persekutuan dalam masyarakat, supaya persekutuan tersebut tetap terpelihara dan dapat dirasakan sebagai tindakan anggota masyarakat yang tidak sesuai dengan adat dan hukum adat. 3) Memberi pegangan kepada anggota masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial. Pengendalian sosial tersebut lebih bersifat pengawasan terhadap tingkah laku masyarakat sehingga hidup persekutuan dapat dipertahankan dengan sebaik-baiknya 4) Memperhatikan setiap keputusan-keputusan yang telah ditetapkan oleh hukum adat, sehingga keputusan tersebut mempunyai wibawa dan dapat memberikan kepastian hukum yang mengikat semua anggota masyarakat. 5) Merupakan tempat bersandarnya anggota masyarakat untuk menyelesaikan, melindungi dan menjamin ketentraman, maka kepala adat adalah satu-satunya tempat anggota masyarakat bersaandar untuk menyelesaikan masalahnya. 6) Sebagai tempat anggota masyarakat menanyakan segala sesuatu yang berhubungan dengan pengetahuan dan hukum adat. Hal ini sangat penting sebab tidak semua anggota masyarakat mengetahui, mengerti dan memaahami tentang seluk-beluk adat dan hukum adat. Dengan fungsinya yang demikian, maka kepala adat boleh dikatakan sebagai media informasi adat dan hukum adat dalam masyarakat. 7) Sebagai tempat anggota masyarakat menyelesaikan segala masalah, baik yang menyangkut urusan hidup maupun urusan yang berkaitan dengan kematian. Fungsi tersebut sanagat penting karena tidak semua anggota masyarakat menyelesaikan masalahnya sendiri, kecuali meminta keterlibatan kepala adat untuk menyelesaikannya. 8) Sebagai bapak masyarakat yang mengepalai persekutuan, dimana fungsi tersebut lebih memperlihatkan kepemimpinan yang dapat menjadi teladan dalam pergaulan di tengah masyarakat. Adapun peran strategis yang ”dimainkan” oleh kepala adat dalam penyelesaian sengketa atau perselisihan di masyarakat adat tersebut, antara lain sebagai berikut : 1. Mengenakan sanksi terhadap anggota masyarakat yang telah melakukan pelanggaran adat. Pengenaan sanksi tersebut hanya menyangkut satu bidang pelanggaran saja, tetapi menyangkut semua pelanggaran keseimbangan hukum adat. 2. sebagai pelaksana hukum adat dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini mempunyaia maksud supaya hukum adat yang telah berlaku tersebut dipertahankan keutuhannya dengan cara menyelesaiakan segala bentuk pelanggaran adat. Dengan menyelesaikan segala sengketa yang timbul dalam masyarakat berarti ada upaya untuk menegakkan hukum adat, untuk meemberitahu hukum adat yang berlaku dalam masyarakat, sebab tidak semua anggota masyarakat mengetahui dan memahami tenetang hukum adat. Oleh karena itu kepala adat disini berperan sebagai media informasi yang cukup efektif memberitahu hukum adat kepada masyarakat. Dengan demikian, maka harus ada seseorang yang ditunjuk untuk menjaga keberlangsungan tanah adat tersebut juga bertindak sebagai hakim adat jika adat pelanggaran terhadap tanah adat tersebut. Pada masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah, hakim adat tersebut disebut dengan Damang. Damang ini juga merupakan kepala persekutuan adat yang bertugas mengadili pelanggaran terhadap hukum adat dan teritori adat (hierarki peradilan adat di Kalteng terdiri dari damang di tingkat kecamatan, desa dan kampung). Dalam Pasal 7 PERDA KALTENG No. 16 tahun 2008, Damang Kepala Adat berkedudukan di ibu kota kecamatan sebagaimitra Camat dan mitra Dewan Adat Dayak kecamatan, bertugas dalambidang pelestarian, pengembangan dan pemberdayaan, adat istiadat,kebiasaan-kebiasaan dan berfungsi sebagai penegak hukum adatDayak dalam wilayah Kedamangan bersangkutan. Sedangkan Fungsi Damang Kepala Adat adalaha. mengurus, melestarikan, memberdayakan dan mengembangkanadat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, hukum adat dan lembaga kedamangan yang dipimpinnya; b. menegakkan hukum adat dengan menangani kasus dan atau sengketa berdasarkan hukum adat dan merupakan peradilan adat tingkat terakhir; dan c. sebagai penengah dan pendamai atas sengketa yang timbul dalam masyarakat berdasarkan hukum adat. Selain fungsi di atas, Damang KepalaAdat juga mempunyai fungsi selaku inisiator untuk membawa penyelesaian terakhir sengketa antara para Damang terkait tugas dan fungsinya kepada Dewan Adat Dayak Kabupaten/Kota. Bentuk sanksi adat adalah jipen atau singer mempunyai peran dalam kehidupan masyarakat Dayak, setiap pelanggaran aturan adat harus diberi sanksi (jipen/singer) yang berfungsi sebagai sarana untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu. Sanksi jipen merupakan sanksi yang sangat ditakuti dalam masyarakat adat, namun akhir-akhir ini sanksi adat jipen banyak mendapat tanggapan antara pro dan kontra. Bahkan ada sebagian pihak yang menganggap sanksi jipen sudah tidak relevan . Menurut Nathan Ilun, sebagaimana dikutif oleh Herdiwang Tabat, menyatakan untuk saat ini sudah tidak tepat lagi menggunakan istilah jipen dan lebih tepat disebut singer. Sebenarnya istilah jipen dan singer mengandung pengertian yang sama yaitu sanksi adat. Berbagai jenis sanksi jipen/singer yang masih hidup di masyarakat dapat dikelompokan menjadi 3 kelompok, yaitu : 1). Mengganti kerugian dalam berbagai rupa, seperti pembayaran uang adat kepada orang yang terkena, menyerahkan barang adat seperti guci, gong, pisau mandau sebagai pengganti kerugian rohani. 2). Melaksanakan upacara adat (korban) untuk pembersihan batin si korban, membersihkan masyarakat dari segala aib, sebagai bentuk permohonan maaf si pelaku kepada para leluhur secara rohaniah. 3). Pengasingan (dikucilkan) dari masyarakat diluar tata hukum, bentuk pertangung jawaban secara batiniah si pelaku atas pelanggaran adat yang dilakukannya. Pada prinsipnya, penjatuhan sanksi adat jipen adalah sebagai tindakan hukum bukan ditujukan sebagai pembalasan atas tindakan pelanggar hukum adat, melainkan lebih ditujukan sebagai sarana untuk mengenbalikan suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat adat, baik dalam kehidupan duniawi nyata mapun dunia tidak nyata (gaib), baik secara batiniah maupun secara rohaniah sehingga perlu adanya pembersihan.Apabila suatu kasus sulit untuk dibuktikan, karena pihak yang disangkakan telah melakukan pelanggaran hukum adat tetapi tidak mau mengakuinya, maka Kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat dapat melakukan upaya terakhir dengan melaksanakan “Sumpah Adat” yang berlaku di wilayah kedamangan bersangkutan. Sumpah Adat adalah upaya terakhir yang dapat dilakukan oleh Damang beserta para Mantir Adat dalam menangani suatu perkara atau sengketa adat yang pembuktiannya menemui jalan buntu.Sumpah adat atau dapat juga disebut “Sumpah Pemutus” dilakukan menurut tata cara hukum adat setempat dengan penuh pertimbangan dan kehatihatian, hanya dilakukan sebagai upaya terakhir dan sangat terpaksa. Sedangkan di Kalimantan Barat, permasalahan yang ada biasanya tidak langsung diselesaikan timanggong. Sangat jarang suatuperkara langsung dimintakan penyelesaian kepada timanggong, kecuali penganiayaanberat dan pembunuhan. Untuk perkara-perkara ringan seperti pencurian, penipuan, bias diselesaikan dalam peradilan adat yang dipimpin kepala desa. Sebagai tahap awal, sengketa diselesaikan secara kekeluargaan. Meski digelar tertutup, peradilan adat tetapmengacu ketentuan hukum adat yang berlaku. Siapa yang dinyatakan bersalah dalamsidang itu, atau pun secara sukarela mengaku bersalah, tetap harus menjalani sanksiadat. Apabila sengketa tidak dapat diselesaikan, ketua adat kampung bersama para tetua adat setempat akan diminta ikut menyelesaikan perkara melalui peradilan adat. Biasanya tahapan ini belum melibatkan timanggong. Jika sengketa tetap belum bias diselesaikan ketua adat kampung, barulah perkara diselesaikan timanggong bersama para tetua adat sekampung. Sidang adat ikut dihadiri tetua adat dari kampung lain, meskipun sengketa yang disidangkan itu tidak melibatkan warga mereka.Sanksi adat biasanya berbentuk denda yang dibayar dengan benda-benda adat. Untukkasus pati nyawa yaitu pelanggaran besar yang mengakibatkan kematian secara tak disengaja, maupun pati delima yaitu pelanggaran besar yang mengakibatkan kematian secara sengaja atau terencana. Dalam kasus itu si pelaku harus membayar batang tubuh yang disimbolkan dengan barang-barang, misalnya tempayan tajau, tempayan biasa, molo (tutup tempayan), dan cangkul (besi), apabila sulit mendapatkan benda untuk sanksi adat tersebut maka dapat diganti dengan uang. 5.4 Welfare State Bagi Masyarakat Adat Amanat konstitusi di bidang pertanahan menuntut agar politik dan kebijakan pertanahan dapat memberikan kontribusi nyata dalam proses mewujudkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (sila kelima Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945) dan mewujudkan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945). Nilai-nilai dasar ini mensyaratkan dipenuhinya hak rakyat untuk dapat mengakses berbagai sumber kemakmuran, terutama tanah. Tanah adalah sesuatu yang sangat vital bagi sebagian besar rakyat Indonesia yang susunan masyarakat dan perekonomiannya bercorak agraris. Tanah adalah kehidupan. Dengan terbukanya akses rakyat kepada tanah dan dengan kuatnya hak rakyat atas tanah, maka kesempatan rakyat untuk memperbaiki sendiri, kesejahteraan sosial-ekonominya akan semakin besar, martabat sosialnya akan meningkat. Hak-hak dasarnya akan terpenuhi. Rasa keadilan rakyat sebagai warga negara akan tercukupi. Harmoni sosial akan tercipta. Kesemuanya ini akan menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Uraian di atas menunjukkan bahwa Indonesia menggunakan konsep negara kesejahteraan karena tujuan negara adalah untuk kesejahteraan umum; dan negara dipandang hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan bersama kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Pemerintah dalam negara kesejahteraan diberi tugas membangun kesejahteraan umum dalam berbagai lapangan (bestuurzorg) dengan konsekuensi pemberian kemerdekaan kepada administrasi negara dalam perjalanannya. Tugas pemerintah bukan hanya lagi sebagai penjaga malam (nachtwakkersstaat) dan tidak boleh berdiam diri secara pasif, tetapi harus turut serta secara aktif dalam kegiatan masyarakat sehingga kesejahteraan bagi semua orang dapat lebih terjamin. Langkah yang ditempuh Indonesia di bidang pertanahan adalah dengan melakukan kebijakan strategis BPN 2007-2009 di bidang hukum pertanahan ada sebelas agenda prioritas yaitu: 1. membangun kepercayaan masyarakat pada BPN; 2. meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran tanah, serta sertipikasi tanah secara menyeluruh di seluruh Indonesia; 3. memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah; 4. menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah-daerah korban bencana alam dan daerah-daerah konflik di seluruh tanah air; 5. membangun dan menyelesaikan perkara, masalah, sengketa dan konflik pertanahan di seluruh Indonesia secara sistematis, 6. membangun Sistem Informasi dan Manajemen Pertanahan Nasional (SIMTANAS) dan sistem pengamanan dokumen pertanahan di seluruh Indonesia; 7. menangani masalah KKN serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat; 8. membangun database penguasaan dan pemilikan tanah skala besar; 9. melaksanakan secara konsisten semua peraturan perundang-undangan pertanahan yang telah ditetapkan; 10. menata kelembagaan Badan Pertanahan Nasional; 11. mengembangkan dan memperbarui politik, hukum dan kebijakan pertanahan. Dalam rangka menjalankan 11 agenda prioritas tersebut, BPN RI harus menginternalisasikan empat prinsip berikut sebagai jiwa, semangat, dan acuan dari setiap kebijakan, program, dan proses pengelolaan pertanahan di seluruh tanah air. Empat prinsip tersebut Adalah: 1. pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat; 2. pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah; 3. pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi akan datang pada sumber-sumber ekonomi masyarakat dan; 4. pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan di seluruh tanah air dan menata sistem pengelolaan yang tidak lagi melahirkan sengketa dan konflik di kemudian hari. Pembaruan agraria diperlukan sebagai suatu agenda politik selama bagian terbesar penduduk tinggal di pedesaan dan pendapatannya tergantung pada kegiatan yang terkait dengan pertanian. Ketika ketimpangan dalam struktur pemilikan dan penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya masih terjadi, diperlukan upaya untuk merestrukturisasi hubungan yang tidak adil antara manusia dengan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya, maka diperlukan pembaruan agraria . TAP MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, 9 November 2001 Pasal 7 menetapkan: “Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia untuk segera melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan melaporkan pelaksanaannya pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawara- tan Rakyat Republik Indonesia”. 5.4.1 Peraturan Perundang-undangan yang Tidak Sinkron Di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 diberi tafsiran yang longgar berkenaan dengan konsep "hak menguasai negara" dan "sebesar-besamya kemakmuran rakyat", yang dalam operasionalisasinya diwujudkan dalam berbagai undang-undang organik (UUPA, undang-undang kehutanan, undang-undang pertambangan dan lain-lain) . Ketidaksinkronan antara berbagai undang-undang yang mengatur sumber daya agraria/sumber daya alam, walaupun sama-sama berpijak pada pasal di atas, namun karena egoisme sektoral yang begitu tinggi, masing-masing sektor merasa paling berkompeten mengatur tentang sumber daya alam. Walaupun disadari bahwa segenap unsur sumber daya agraria/sumber daya alam merupakan satu ekosistem, tetapi kesadaran masing-masing sektor hanya mengatur fungsi tertentu dari pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam sulit diwujudkan. Berbagai peraturan perundang-undangan di bidang sumber agraria/sumber daya alam yang tidak konsisten antara satu dan lainnya makin diperparah oleh inkonsistensi antara peraturan dan implementasinya. Unifikasi hukum yang diupayakan melalui berbagai peraturan perundang-undangan ternyata tidak mampu mengakomodasi keaneka- ragaman hukum yang masih berlaku di masyarakat. Pertanahan merupakan subsistem dari sumber daya agraria dan sumber daya alam. Diantara keduanya terdapat hubungan yang sangat erat, baik dalam kaitan hubungan subsistemnya maupun dalam kaitan hubungannya dengan manusia/ masyarakat dan negara; namun demikian, disisi lain peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya agraria dan sumber daya alam termasuk pertanahan belum terpadu bahkan dalam beberapa hal bertentangan. Keadaan ini sering menimbulkan konflik penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah . TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 Pasal 5 ayat (1) huruf a, menetapkan pengkajian ulang terhadap semua peraturan yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam termasuk pertanahan. Tujuannya agar terdapat sinkronisasi kebijakan antar sektor pembangunan dalam rangka prinsip-prinsip tersebut di atas. 1. Penerapan Hukum Pertanahan yang Disinkronisasi dan Inkonsisten Pemenuhan pemberian perlindungan hukum dalam suatu peraturan perundang-undangan merupakan sasaran yang akan dicapai dengan adanya kepastian hukum. Kepastian hukum akan tercapai apabila sesuatu peraturan dirumuskan secara jelas dan dapat menjadi pedoman untuk pelaksanaannya; dan peraturan yang ada dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang beragam . Disamping itu kepastian hukum akan tercapai apabila peraturan yang diterbitkan memenuhi persyaratan formal berkenaan dengan bentuk pengaturan sesuai tata urutan peraturan perundang-undangan, dan materi yang diatur secara substansial tidak tumpang tindih atau bahkan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. (dis-sinkronisasi secara vertikal), ataupun bertentangan dengan peraturan lain yang sejajar tingkatannya (disinkronisasi secara horisontal). Menurut Fuller, ada 8 (delapan) nilai-nilai yang harus diwujudkan oleh hukum. Kedelapan nilai-nilai tersebut dinamakan "delapan prinsip legalitas" yaitu: a. Harus ada peraturan-peraturan terlebih dahulu; bahwa tidak ada tempat bagi keputusan-keputusan secara ad-hoc, atau tindakan-tindakan yang bersifat arbitrer; b. Peraturan-peraturan itu harus diumumkan secara layak; c. Peraturan-peraturan itu tidak boleh berlaku surut; d. Perumusan peraturan-peraturan itu harus jelas dan terperinci, ia harus dapat dimengerti oleh rakyat; e. Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin; f. Sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain; g. Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah, h. Harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hukum dan peraturan-peraturan yang telah dibuat . Ketidaksinkronan pengaturan menimbulkan konflik kewenangan maupun konflik kepentingan. Seringkali hukum pertanahan kurang dapat diterapkan secara konsisten; keadaan ini berpengaruh terhadap kualitas jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukumnya. Di tengah-tengah era reformasi terlihat kurang adanya harmonisasi dalam rangka mewujudkan tuntutan reformasi, yaitu: supremasi hukum, keterbukaan dan keberpihakan pada kepentingan rakyat. Ketiga hal ini, tampaknya supremasi hukum kurang memperoleh perhatian yang seimbang dari segenap elemen bangsa. Hal ini terlihat dari seringnya penyelesaian masalah yang lebih menekankan pada power based baik melalui people-power, pengerahan masa dan sebagainya dari pada menggunakan rights-based yang menekankan pada aspek legalitas yuridis. Hukum dibentuk untuk kepentingan masyarakat.Eksistensi hukum dimaksudkan untuk menciptakan keadilan, memberikan manfaat bagi masyarakat, serta memberi jaminan kepastian hukum. Penegakan Hukum yang Belum Dapat Dilaksanakan Secara Konsekuen Penegakan hukum menjadi bagian penting untuk memberikan jaminan kepastian hukum. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu : a. hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang saja; b. penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum; c. sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; d. masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; e. kebudayaan, yakni hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Beranjak dari uraian di atas, terlihat bahwa dari faktor penegak hukum terlihat kurang adanya ketegasan dalam menerapkan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran di bidang pertanahan. Contoh banyaknya ijinlokasi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah di Kalimantan tidak sejalan dengan kearifan local yang ada dan muncul dimasyarakat dayak sendiri sehingga komunitas local dayak seakan terpinggirkan. Keadilan tenurial bagi masyarakat yang berdiam di sekitar kawasan hutan yang terkekang akibat regulasi yang sifatnya sektoral 5.4.2 Harmonisasi Kebijakan Pertanahan Pusat dan Daerah Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara mengenai aturan-aturan atau norma-norma tertentu yang sejiwa dengan asas dan nilai yang menjadi sumber norma-norma tersebut. Norma-norma atau aturan-aturan tersebut berkembang menjadi sistem hukum, meliputi hukum yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Sistem hukum nasional menganut asas, nilai-nilai yang bersumber pada pandangan hidup bangsa Indonesia dan merasakannya sebagai sistem hukum,yang selaras dan serasi dengan perasaan keadilan (sense of justice) dan cita hukum (rechtsidee), serta selaras dan serasi dengan anggapan dan pandangan masyarakat mengenai keadilan . Harmonisasi atau keselarasan dalam hukum di mulai dari konsep hukum sebagai sistem. Dalam hal ini, sistem di definisikan sebagai seperangkat unsur yang menempati relasi yang ketat satu sama lain dan relasi dengan lingkungannya. Sehingga, sebagai sistem, hukum seperti bagian dalam satu undang-undang maupun keseluruhan peraturan perundang-undangan merupakan satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain. Dalam rangka menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terintegrasi, penting dilakukan harmonisasi hukum dengan maksud melakukan penataan dan penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum nasional dengan meletakkan pola pikir yang melandasi penyusunan kerangka sistem hukum nasional yang dijiwai Pancasila dan bersumber pada UUD 1945. Dalam perspektif demikian, harmonisasi hukum dimaksud koheren dengan sasaran program pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu "terciptanya harmonisasi peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan". Merujuk uraian di atas, dalam hal penyelesaian sengketa pertanahan saat ini masih ditemukan disharmoni dalam kebijakan pertanahan, yaitu: 1. Perbedaan antara berbagai undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang terkait. 2. Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan kebijakan instansi Pemerintah (petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis dan lain lain). 3. Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan yurisprudensi. 4. Perbedaan Kebijakan instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 5. Benturan antara wewenang instansi-instansi pemerintah karena pembagian wewenang yang tidak sistematis dan jelas. Merujuk uraian di atas, harmonisasi kebijakan penting untuk di lakukan dalam penyelesaian sengketa pertanahan agar tidak terjadi tumpang tindih wewenang dan perbedaan mekanisme penyelesaian sengketa yang dilakukan. Sebagaimana diketemuikan di Kalimantan tengah 5.5 Pengaruh Sistem Religi Dayak terhadap Kehidupan Makna religi dari alam sekitar (termasuk dalam pembentukan aturan adat) dalam konsepsi masyarakat Dayak bermuara pada mite-mite tentang kejadian alam semesta dan manusia serta mite-mite lainnya yang menggambarkan keterikatan hakiki antara insan dengan alam sekitarnya (kosmos), antara manusia dan kosmos serta isinya sama-sama mempunyai daya hidup yang berasal dari Yang Ilahi. Dan karenanya, orang Dayak memperlakukan alam sekitarnya sebagai makhluk bernyawa sehingga mereka memperlakukan alam sekitarnya dengan rasa takut, khidmat dan rasa terima kasih. Demikian pula halnya tentang kisah penciptaan manusia dan alam semesta merupakan peristiwa yang tidak terlepas dari mite. Mite-mite ini dipercayai oleh orang Dayak secara turun-temurun. Walaupun mite bukan merupakan peristiwa sejarah yang menceritakan tentang kronologis suatu kejadian dan dapat dibuktikan, namun mite merupakan cerita sejarah yang dipercaya masyarakat sebagai suatu cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, banyak mengandung hal-hal yang ajaib, pada umumnya ditokohi dewa (istilah KBBI), telah menjadi landasan untuk menata kehidupan orang Dayak, yang memunculkan ketentuan seperti adat, ritus, kultus, dan kepercayaan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Van Peursen, yang memahami mite sebagai suatu cerita yang memberi pedoman dan arah tertentu kepada kelompok orang, termasuk masyarakat Dayak yang meyakini mite tersebut, sehingga mite memiliki fungsi : a. Sebagai sarana untuk menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib. Mite ini tidak memberi bahan informasi mengenai kekuatan-kekuatan tersebut, tetapi membantu manusia agar dapat menghayati daya-daya sebagai suatu kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai alam dan kehidupan sukunya. b. Untuk memberi jaminan bagi masa kini, G. Van der Leeuw menerangkan fungsi ini dengan contoh, misalnya ketika orang akan menggarap ladang dengan menceritakan dongeng atau memeragakan tarian. Ini merupakan suatu upaya untuk menghadirkan kembali suatu peristiwa yang dulunya pernah terjadi, sehingga dijamin keberhasiln usaha serupa dewasa ini. c. Untuk memberi pengetahuan tentang dunia. Mite dilihat sebagai suatu cara untuk memberi keterangan tentang terjadinya dunia, hubungan antara dewa-dewa, asal mula kejahatan. Dalam hal ini tidak dilihat apakah cerita tersebut bersifat spekulatif atau tidak, karena yang terpenting adalah bahwa cerita tersebut telah memberi pengetahuan kepada orang lain (pendengar) sehingga orang lain memiliki pengetahuan tentang apa yang telah didengarnya. Puncak dari pengalaman mitis hubungan antara manusia terhadap alam sekitarnya (kosmos), yakni ada sesuatu. Kenyataan tentang ada sesuatu tersebut baik berupa eksistensi dunia sekitarnya maupun eksistensi dirinya sendiri, pada suku Dayak merupakan suatu kekuatan yang mempesonakan pikiran dan perbuatannya. Pada akhirnya, bahwa kehidupan itu ada, ajaib dan berkuasa, penuh daya kekuatan karena pengalaman mitis dan cerita-cerita mitis yang bertalian dengan suku yang menyangkut kepemimpinan dan kerukunan suku tersebut. Untuk memaknai hubungan manusia Dayak dengan aturan dalam konteks mitologi adalah dengan berusaha Pertama menghubungkan apa yang terjadi di masa silam dengan apa yang terjadi saat ini sebagai satu rangkaian-rangkaian dan satu kesatuan, karena masa lalu menentukan masa kini dan masa kini adalah gambaran masa lalu sehingga menjadi masa kini. Itulah sebabnya kita menemukan kebanyakan ajaran-ajaran hukum para ahli adat mengakar pada cerita-cerita masa lalu yang berfungsi sebagai justifikasi bagi ketentuan-ketentuan dan institusi adat bersangkutan. Kedua adanya komitmen untuk saling menghormati satu sama lain dan hidup bersama dengan orang lain maupun dengan alam secara harmonis. Dengan demikian, hukuman yang keras dalam adat dipahami sebagai sarana yang diperlukan untuk memulihkan harmoni kehidupan yang dirusak oleh pelanggaran-pelanggaran tertentu. Harmoni kehidupan dalam adat tidak hanya dimonopoli oleh hubungan akrab sesama orang di dunia ini, tapi juga ditentukan oleh hubungan manusia dengan alam.Sebuah komunitas dilihat sebagai suatu keseluruhan, yang didalamnya manusia tidak hanya berada di dalam dan menyesuaikan diri dengan alam. Sebab itu sebuah komunitas tidak hanya dianggap sebagai gabungan individu-individu. Hubungan internal semua bagian komunitas lebih baik dipahami dengan pengertian hubungan organisasi “yang meluas sampai pada lingkungan yang di dalamnya serta darinya pula komunitas itu berasal”. Di sini penekanan diberikan pada tugas individu dalam hubungannya baik dengan alam maupun dengan sesama mereka. Para individu, terutama yang berkedudukan tinggi dalam komunitas, memiliki tugas khusus masing-masing yang dibebankan kepada mereka. Pendeknya, dunia natural dipahami sebagai lokus kekuatan supranatural yang dipenuhi oleh entitas impersonal atau roh leluhur namun pada saat bersamaan memiliki kekuatan besar. Kepercayaan terhadap kekuatan tersebut merupakan kebutuhan untuk mempertahankan keseimbangan dan harmoni agar agen materi dan immateri dalam kehidupan. Sebab itu apa yang kita pahami sebagai nilai saling timbal balik, keseimbangan dan kerukunan diterapkan dan dipertahankan dalam dunia material serta dalam dunia immaterial, karena ia adalah rumah bagi roh atau entitas natural. Jadi, komunitas lebih sekedar kumpulan manusia yang memiliki realitas fisik; komunitas mencakup kumpulan entitas non-fisik yang mengitari manusia atau bersemayam di dalam objek material. Keyakinan tentang tidak terpisahkannya dunia material dari dunia immaterial ini adalah sesuatu yang menyatu dengan adat, sehingga adat pada dasarnya mengakomodasi konsep “kesakralan”. Sifat sakral hukum adat itu sangat lazim diungkapkan dalam pengakuan terhadap sanksi yang bisa dijatuhkan oleh roh leluhur atau kekuatan supernatural. Namun dalam kenyataan, kesakralan tersebut merujuk pada kecenderungan hukum adat untuk menghindari sanksi kekerasan dan memberikan penekanan besar pada kekuatan moral-cerminan peran otoritas moral dalam mendukung insitutis hukum komunitas. Berbagai pertanda dan aktivitas yang bersifat magis bertujuan untuk mendukung aturan tertentu yang pada dasarnya berasal dari hubungan yang harmonis antara komunitas dengan alam dan dunia supernatural. Ancaman apapun terhadap keseimbangan dan ketentraman hubungan ini selalu dihindari, sebab ketika keseimbangan itu hilang, berbagai akibat yang berbahaya pasti muncul karena lepasnya kekuatan magis alam. Dan oleh karenanya, menurut Ter Haar keseimbangan tersebut harus dipulihkan kembali dengan jalan pembayaran pelanggaran berupa barang-barang atau uang. Sedangkan barang-barang atau uang tersebut bermakna simbolik yang memiliki arti magi. Ketiga melihat pola relasi manusia dengan lingkungan sekitar dalam kerangka struktur sejarah kebudayaan manusia, yang meliputi tahapan mitis, ontologis dan fungsional. Ketiganya tidak dilihat sebagai rangkaian anak tangga dalam posisi tinggi-rendah, akan tetapi dilihat sebaga suatu bangunan struktur. Pada tahap mitis, sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh keatan-kekuatan gaib sekitarnya, yakni kekuatan dewa-dewa, alam raya atau kesuburan, seperti yang dipentaskan dalam mitologi. Tahap kedua, sikap manusia yang tidak hidup lagi dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Pada tahap ketiga atau tahap fungsional, merupakan sikap manusia yang tidak terpesona lagi oleh lingkungannya dan tidak mengambil jarak dengan objek penelitiannya. Pola bangunan struktur membuka pintu hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya, dimana alam sekitarnya dilihat sebagai suatu realitas kehidupan yang sangat mempengaruhi pandangan suku terhadap lingkungan sekitarnya, berupa adanya kekuatan-kekuatan magis. Kekuatan-kekuatan magis yang melindungi, memberi kekuatan dan kesejahteraan kepada orang Dayak dilihat sebagai bagian dari suatu sistem kepercayaan suku. Dalam sistem kepercayaan suku Dayak ada dua faktor utama yang melahirkan sistem kepercayaan suku, yaitu : a. Pola relasi suku dalam hubungannya dengan roh-roh atau jiwa-jiwa yang melahirkan kepercayaan animisme. b. Pola relasi suku dalam hubungannya dengan kosmos/alam melahirkan kepercayaan dinamisme. Kedua sistem kepercayaan tersebut sangat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan suku Dayak dan selalu dilihat dalam kerangka tersebut karena seluruh kehidupan suku Dayak, kesejahteraan, kebahagiaan dan keberlangsungannya sangat bergantung pada persoalan bagaimana mereka menata kehidupannya dalam hubungan dengan kosmos dan roh-roh atau jiwa-jiwa. Demikian pula halnya dalam melakukan interaksi dengan dunia dalam suatu sistem sosial, bagaimana terbangunnya harmoni yang melandasi interaksi sosial. Filosofis tersebut terbangun dari cara pikir, pola tutur dalam kehidupan sosial, dari suatu realitas sosial budaya masyarakat lokal bahwa alam selalu berpasangan. Ini merupakan suatu dinamika yang bersifat kontekstual, yang bergantung pada nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Pemahaman tentang nilai, itu bergantung pada proses penilaian yang diperoleh dari resultante pasangan nilai, antara baik-buruk, luhur-terkutuk, indah-jelek. BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan 1. Masyarakat hukum adat di Kalimantan memahami hak ulayat sebagai tanah adat. konsepsi tanah adat dipahami sebagai tanah yang tunduk kepada ketentuan hukum adat. tanah adat ini terdiri dari tiga bagian penting dalam hubungan dengan penguasaannya, yakni pertama tanah adat yang dikuasai secara komunal oleh masyarakat hukum adat, tanah ini dikuasai oleh masyarakat secara bersama-sama, dijaga, dipelihara dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, misalnya kawasan hutan adat yang merupakan wilayah untuk konservasi karena merupakan sumber air bersih dan hutan adat, tempat keramat yang merupakan tempat bersemayamnya roh-roh para leluhur suku Dayak, dan sebagainya. Kedua, tanah adat yang dikuasai oleh sebuah keluarga besar, contohnya tembawang (kebun bermacam ragam buah-buahan). Tembawang ini memiliki makna sosial, cultural, ekologis dan ekonomis. Ketiga, tanah yang dikuasai secara individual, tanah inilah yang nantinya menjadi cikal bakal menjadi tanah hak milik, berupa bawas (bekas ladang tanah kering), kebun karet, dan sebagainya. Secara de facto bahwa keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayat senyatanya memang ada, hal ini dibuktikan dengan adanya 1). Wilayah adat yang merupakan teritori yang berdimensi sosial dan politis yang dinamakan binua, kampong atau komunitas, 2). Adanya masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat yang mendiami wilayah binua, kampung atau komunitas merupakan masyarakat yang terikat dengan adat dan hukum adat dalam mengatur pola hubungan sosial, mengatur pola tingkah laku dan interaksi diantara para warga persekutuan tersebut. Keterikatan yang kuat terhadap adat dan hukum adat memiliki arti bahwa tertib sosial, keberlangsungan kehidupan dan kesejahteraan terletak pada bagaimana sikap dan cara mereka mentaati adat dan hukum adat yang menjadi pedoman bagi mereka dalam menata kehidupan sosial dan kepercayaan mereka. 3). Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan wilayahnya dalam hal pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayatnya diatur berdasarkan ketentuan hukum adat, termasuk didalamnya mengatur tentang pelanggaran terhadap hak ulayat tersebut. 2. Prinsip pemanfaatan ruang dalam suku dayak mengenal system kamar atau zonasi, dimana pembagian wilayah adat selain sebagai sumber kehidupan dan tempat keramat atau situs, juga digunakan sebagai tempat pemukiman. kawasan hutan untuk cadangan masa depan, tanah yang ditanami pohon buah-buahan (tembawang), tanah yang ditanami tanaman keras, tanah pertanian (yang sedang dikerjakan dan sedang diistirahatkan), tanah pekuburan dan keramat, perkampungan dan pekarangan, serta sungai dan danau untuk perikanan. Berkaitan dengan prinsip tersebut, masyarakat adat membuat batasan-batasan wilayah adat dan juga tanah adat sebagai wilayah kekuasaan dengan tanda-tanda alam berupa batang pohon tertentu (pohon buah-buahan, tapang, ulin, dsb), rumpun bambu, sungai, perbukitan, dsb. Pemberian tanda tersebut menunjuk pada batas teritori, kekuasaan politis, dan ekonomis serta tempat bersemayamnya roh leluhur atas suatu wilayah adat. Dengan demikian, pemberian tanda tersebut meliputi pula seluruh objek dari tanah adat antara lain tanah berupa daratan, danau, sungai, tumbuh-tumbuhan, hewan buruan, kayu, dan sebagainya. Beberapa komunitas masyarakat adat sudah melakukan pemetaan partisipatif atas kerja sama dan inisiasi dengan Dewan Adat Dayak dan LSM. Dengan adanya SKB 3 Menteri dan Kepala BPN maka pendaftaran terhadap tanah masyarakat adat dapat dilakukan melalui kegiatan IP4T. 3. Penyelesaian perkara mengacu hukum adat melalui peradilan adat adalah kebutuhan bersifat mutlak (conditio sine qua non) bagi masyarakat adat Dayak. Pandangan terhadap penyelesaian ini bersifat sosiologis dibandingkan tindakan-tindakan bersifat hukum sebagaimana dipahami dalam hukum modern. Hal ini tercermin dari ungkapan yang sangat umum “upaya penyelesaian secara kekeluargaan”. Ungkapan ini memiliki arti bahwa setiap anggota komunitas merupakan satu keluarga atau rumah tangga. Oleh karenanya, maka setiap persoalan yang menyangkut urusan keluarga dan karenanya harus diselesaikan di dalam keluarga sendiri. Dan peranan dari lembaga adat serta kepala adat hanaya mendamaikan saja pihak yang bersengketa. B. Rekomendasi 1) Perlu diadakannya pemetaan partisipatif tanah adat yang melibatkan peranserta aktif masyarakat sehingga dengan kegiatan ini dapat di uraikan konflik penguasaan tanah antara masyarakat adat dan kepentingan lain atas tanah di Kalimantan. Kondisi faktual ini merupakan bentuk jaminan dan pengakuan Negara dalam melindungi kepemilikan tanah berbasis adat 2) Perlunya peninjauan kembali perda tanah adat di Kalimantan yang dapat menimbulkan kerancuan hokum dimana secara prinsip hokum perda tersebut bertentangan dengan undang-undang (peraturan yang lebih tinggi) 3) Perlunya kegiatan strategis BPN berupa pendaftaran tanah di wilayah adat masyarakat berdasarkan surat keputusan bersama menteri kehutanan, agrarian dan tata ruang dan kementerian dalam negeri. DAFTAR PUSTAKA Adat dan upacara perkawinan daerah Kalimantan Timur, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1984 Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004 Amich Alhumami, Negara Kesejahteraan (www.freelists.org. tanggal 26 Juni 2007). Ambar Teguh Sulistiyani, Kemitraan Dan Model-Model Pemberdayaan, Penerbit Gaya Media, Jakarta, 2001 Astim Riyanto, Teori Konstitusi, Penerbit Yapemdo, Bandung, 2000 Alloy, Sujarni,dkk. Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat, Institut Dayakologi, Pontianak, 2008 Baron de Montesquieu, L’Esprit des Lois, Book XXVI, Chapter 15, Oxford University Press, New York, 1784. Bernard L. Tanya, Meretas Integras Nasional Menuju Kemajuan Peradaban, Makalah disampaikan dalam Temu Antar Generasi Se-Jawa dan Bali di Surabaya, diselenggarakan oleh KNPI Jawa Timur, 2 Agustus 2002, Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Jakarta : Pradnya Paramita, 2003 CST Kansil dan Christine ST. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia (1), Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1997 . Christian P. Sidenden, Penantian Sebuah Sejarah Sosial Komunitas Dayak, Jurnal Borneo Institute Tahun I Nomor 1, 2013. Edi Suharto , “Peta dan Dinamika Welfare State di Beberapa Negara: Pelajaran Apa Yang Bisa Dipetik Untuk Membangun Indonesia, 2006 ------------------, Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan kebijakan Sosial, Alfabeta Bandung, 2005 Eddy Taufan D mahar, Kearifan Lokal Masyarakat dayak Kalimantan Tengah dalam Mengelola Sumber daya Alam, Jurnal Borneo Institute Tahun I Nomor 1, 2013. E Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cetakan ke 4. Penerbit Ichtiar Djakarta, 1960 Herdiwang Tabat,2008, Buku Hukum Adat Dayak Ngaju Kalimantan Tengah, tanpa penerbit, Panagkaraya, hal.04-05. I Gede A.B. Wiranata, Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya dari Masa ke Masa, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, Iman Sudiyat “Asas-asas Hukum Adat”, Liberty, Jakarta, 1981 Karl Polanyi, Origin of Our Times; The Great Transformation Konrad Zweigert dan Hein Kotz, Introduction to Comparative Law, Third Revised Edition, translated from the German by Tony Weir, Fellow of Trinity College, Cambridge, Oxford Clarendon Press, New York, 1987 Luthan, F., Organizational Behavior, New York: McGraw Hill Book Company, 1985 M. Mukhsin Jamil, Mengelola Konflik Membangun Damai Teori. Strategi, dan Implementasi Resolusi Konflik, Penerbit WMC, Semarang, 2007 Miles, Matthew B., dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, UI-Press, Jakarta, 1992. Nasikun, Sistem Sosial Indonesia RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007 Nurhadiantomo, Hukum Reintegrasi Sosial Konflik-Konflik Sosial Pri-Non Pri dan Hukum Keadilan Sosial, Penerbit Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2004. Paul Spickerl Poverty and the Welfare State: Dispelling the Myths, London: Catalyst, 2002. Rifai Lubis, Menemukan yang Hakiki dan Penyelesaian Sengketa Berbasis Lokal, Forum Keadilan Nomor 22, 24, September 2006. Syahyuti, Nilai-nilai Kearifan Pada Konsep Penguasaan Tanah Menurut Hukum Adat di Indonesia, Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 24 No. 1, Juli 2006. SF Marbun & Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta. 2000 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Edisi 1, Cet. V, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), Soerjono Soekanto, Hukum Adat di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1981 Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981. Sultan Takdir Alisjahbana, Antropologi Baru, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 1986. Sutoro Eko, Materi Diklat Pemberdayaan Masyarakat Desa, yang diselenggarakan Badan Diklat Provinsi Kaltim, Samarinda, Desember 2002 Pan Mohamad Faiz, Penafsiran Konsep Penguasaan Negara Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 dan Putusan MK, (http://www.jurnalhukum.blogspot.com), tanggal 22 September 2012). Prijono, Onny S, dan A.M.W. Pranarka (penyunting), Pemberdayaan : Konsep Kebijakan dan Implementasi, CSIS, Jakarta, 1996 Yudha Bhakti Ardhnvisastra, Immunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan Asing, Penerbit Alumni, Bandung, 2003 Yin, Robert. Studi Kasus, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000 Study of the Problem of Discrimination Against Indigenous Populations, Final report submitted by the Special Rapporteur, Mr. J. Martinez Cobo. E/CN.4/ Sub.2/1982 /2/Add.6.,di http://www.un.org/esa /socdev/ unpfii/en/ spdaip. html. Azmi Siradjudin, AR, Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Instrumen Hukum Nasional, dalam http://www.ymp.or.id/content/view/107/35. http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Landak http://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP INDIKATOR EKONOMI TANAH

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP INDIKATOR EKONOMI TANAH Trie Sakti, Suryalita dan Robin T.H. Sijabat [*] Abstrak Tanah merupakan sa...